Beberapa Peribahasa yang Harusnya Direvisi
Kayaknya
nggak ada deh yang nggak suka sama quotation
atau kalimat mutiara atau peribahasa. Bahkan, kalimat-kalimat yang bagus ini
udah jadi sasaran empuk kena retweet
di Twitter. Coba dipikir-pikir sekali lagi, akun Twitter mana yang nggak pernah
ngetwit kalimat-kalimat mutiara dari seorang tokoh atau publik figur? Minimal
dalam sehari, pasti ada satu atau lebih twit berisi quotation / peribahasa. Atau nggak, minimal di ngeritwit akun yang
khusus ngetwit peribahasa atau quote.
Makanya nggak heran, akun yang khusus ngetwit kalimat-kalimat bagus ini
followernya pasti nggak sedikit.
Tapi
buat gue, nggak semua peribahasa atau quote ini dapat terus digunakan. Ada
beberapa peribahasa atau quote yang
harus direvisi seiring berjalannya timeline Twitter. Berikut adalah beberapa
contohnya.
“Don’t
Judge a Book by It’s Cover”
Semua
orang yang pernah muda dan semua orang yang telah menjadi orang tua, pasti udah
ngerti banget peribahasa di atas. Sampai sekarang pun, gue masih nggak tau
siapa pencetus peribahasa di atas yang artinya “Jangan menilai seseorang dari
penampilan luarnya saja”. Nah, di sela-sela kesibukan gue sebagai seorang
playboy, iya, playboy yang sering dikucilkan dari lingkungan sekitar gara-gara
ketidakhobiannya memainkan wanita, gue sering mikir dan mencari di mana letak
keabsahan peribahasa ini.
Di
jaman “yang nyakitin yang dipertahanin” atau di jaman semua bisa dilakukan
secara online, bahkan pacaran pun
bisa online (LDR), peribahasa ini benar-benar menjadi ganjalan besar. Setelah
mengalami jatuh bangun di tiga generasi jejaring sosial seperti Friendster,
Facebook, dan Twitter, dan sempet baca-baca buku psikologi juga, gue melihat
bahwa human was born to judge.
STORY 1
Setelah
pisah sama teman SMA karena kami udah memilih kampusnya masing-masing, pasti
nanti ada yang namanya reuni, atau temu kangen, atau ngumpul-ngumpul lucu. Nah,
selama rentang waktu yang lama itu, aktivitas komunikasi antar teman SMA kebanyakan
berlangsung di BBM atau jejaring sosial.
Lama
nggak ketemu, tentu banyak perubahan yang berubah dari diri masing-masing.
Sebut saja Mariska. Dia adalah temen cewek gue waktu SMA yang sampai sekarang
cuma menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan. Walau sudah berpisah dia di
mana gue di mana, kami tetep komunikasi via jejaring sosial. Facebook, Twitter,
dan BBM. Di status FB, Mariska ini kerjaannya ngeluh. Di Twitter, Mariska
kerjaannya ngomel-ngomel dan nyeritain masalah. Di Status BBM, dia nyinyir atau
nyumpain orang. Hebatnya, ini dia lakukan setiap hari. Gue pun mikir kalau
setiap hari hidupnya ini isinya cuma masalah. Nah, sifat manusiawi gue muncul.
Gue nge-judge Mariska. Gue nge-judge Mariska adalah cewek ababil. Dia
berubah, nggak kayak waktu SMA dulu. Gue nge-judge Mariska dari status jejaring sosialnya.
Awal
tahun kemarin, gue reunian sama temen SMA. Dan tentu aja banyak yang pangling
dengan perubahan yang terjadi pada diri gue. Beberapa teman gue ada yang
teriak, “Dude!! Dude Herlino!! Aaaakkkkk...” lalu orang yang ada di sebelahnya
langsung ngerukiah temen-temen gue itu. Ada juga yang teriak “Tsaelah apa kabar
lo, gan?” Gue disangka Afgan. Eh, taunya dia anak kaskus. Semua orang dipanggil
“Gan” sama dia.
Lupakan.
Bukan itu inti ceritanya.
Begitu
ngumpul, Mariska langsung ngajak ngobrol gue. Ya, sebagai cowok yang punya
kemampuan basa-basi yang mumpuni, tentu aja gue nanya kabar dia. Dan.. ini
kesalahan besar gue. Begitu nanya kabar, dia langsung nyeritain banyak masalah
hidupnya. Dia pun ngeluh sama masalah kampusnya lah, pacarnya lah, mantannya
lah, duileee emak-emak berkonde rempong, cyin.
Gue
mundur perlahan.
Gue
nge-judge kalau Mariska ini ababil,
dan benar. Don’t judge book by it’s cover,
totally wrong.
STORY 2
Ini
terjadi di semester dua, ketika gue sedang gencar-gencarnya berniat punya pacar
dari Facebook. Temen gue, Reza, juga melakukan hal yang sama. Dia mengikuti
jejak gue. Tapi dia main YM. Dia chatting-chattingan. Reza menggunakan kalimat
yang bagus. Reza pandai menguntai kata. Menjalin cinta di jejaring sosial, di
mana kata-kata adalah hal yang vital, Reza ini dikategorikan serigala
berbahaya. Tapi sayangnya, di dunia nyata, Reza ini ibarat serigala berbulu
ketek. Kata-kata manisnya di Facebook nggak sesuai sama muka dan tingkahnya.
Tapi saat itu semua terasa lancar, sampai pada hari di mana Reza ngajak cewek
itu ketemuan membuat semuanya kacau. Balau.
Reza
gugup ketika cewek itu mau diajak ketemuan padahal cewek apes itu belum tau
begimana wajah Reza. Dan Reza juga nggak tau begimana wajah cewek itu. Yang
cewek itu tau, Reza ini manis. Seperti kata-katanya. Alhasil Reza ngebayarin
gue makan sebagai upah sogok. Gue dibayarin makan dua hari berturut-turut
supaya gue mau nemuin cewek itu. Kalau ceweknya jelek, gue harus ngegantiin dia
blind date jahanam itu. Kalau
ceweknya bening, gue harus edifikasi
Reza di depan cewek itu, lalu mempersilahkan Reza masuk dan gue harus segera
angkat kaki dari tempat itu. Karena tawaran menggiurkan itu, gue mau. Gue survive untuk dua hari ke depan.
Dugaan
gue benar. Cewek itu bening. BBM dari Reza pun masuk, dia yang ngeliat dari
kejauhan, langsung menginstruksi.
“Kampret,
cakep bener, Don! Jatah gue tu, lu puji-puji gue, kenalin gue dulu di situ,
abis itu cepet angkat kaki lu. Oke!”
Tapi
skenario nggak berjalan sesuai kehendak Reza.
Si
embem bening itu malah akrab sama gue. Karena kesel kelamaan nunggu nyaris satu
jam, Reza nyamperin meja kafe tempat gue sama si embem bening ngobrol.
“Oit,
what’s up bro?” Reza nepuk bahu gue, nongol gitu aja di meja kami.
“Reza,
dia siapa?” tanya si embem bening.
“Lah,
Reza siapa? Gue ini Reza. Gue yang sering chatting sama lo di YM. Hehe.” Reza
narik bangku dan duduk di meja gue dan si embem bening.
Gue
garuk-garuk kepala.
“Reza,
ini siapa sih? Teman kamu?” Si embem bening nanya lagi.
“Lho,
yang Reza itu gue? Kok malah jadi dia?” Sergah Reza.
“Jadi,
kalian ini dua-duanya Reza? Ini yang benar yang mana sih?” Si embem bening
makin bingung.
Gue
garuk-garuk kepala makin keras.
“Don,
jelasin ke dia dong! Lo ngapa garuk-garuk kepala doang, shampoan kagak sih lo?”
Reza nepuk bahu gue lagi.
“Nita,
jadi gini, yang namanya Reza itu dia, bukan aku. Nama aku, Don Juan.”
Nita
si cewek embem bening, ngeliatin Reza dari kepala sampe kaki, balik lagi ke
kepala, lalu turun lagi ke kaki. Reza datang cuma pake sandal, celana pendek,
sama kaos.
Lalu,
Nita ngeliatin gue dari kepala sampe kaki, balik lagi ke kepala, turun lagi ke
kaki. Gue pakai converse, jeans, dan kemeja biru dongker, gue tak lupa menyisir
rambut, performa mantap, akselerasi pun prima.
Awkward
moment pun terjadi.
“Hah,
serius kamu yang namanya Reza?” Tanya si Nita.
“Lha
iya, serius. Dia ini temen gue, Doni Tata.” Reza nepuk bahu gue lagi.
“WHAT?! Kok nggak kayak di chatting ya?!”
Nita memundurkan duduknya perlahan.
Gue
cuma nyengir.
“Pikirku,
Reza itu manis banget di chatting, jago bikin puisi, pasti cowok ini kalem.
Manis. Sopan. Kok malah jadi gini?” Nita mundurin duduknya nggak santai.
Reza
nutup kupingnya.
Reza
lari ke luar kafe. Jongkok di parkiran. Merenungi masa depan.
Nita
nge-judge Reza dari kata-kata lalu
diinterpretasikan ke dalam penampilan. Gue disangka seorang Reza oleh
Nita. Malam itu gue belajar, bahwa setiap dari kita pasti akan nge-judge seseorang dari penampilan. Percaya
nggak percaya, apalagi soal cinta dan kencan, penampilan adalah hal yang paling
pertama di-judge. Baru attitude mengikuti.
Selain penampilan, muka juga bakal di-judge.
Untungnya, muka gue saat itu lagi ganteng. Jadi gue nggak pulang malam itu. Gue
pun nggak perlu nyanyi save me Song.
(dikata X-Factor kali.)
Pertanyaan
terbesar gue saat itu adalah, apakah nge-judge
itu salah? Apakah nge-judge sesuatu
hal yang jelek itu salah? Pernah jatuh cinta, kan? Kamu sadar nggak, gara-gara
jatuh cinta, kita bisa nge-judge
semua hal adalah benar. Nggak ada hal yang salah di mata orang yang dimabuk
asmara. Right? Nge-judge itu seperti seorang ilmuwan yang
sedang membuat hipotesis pada suatu masalah. Bisa benar dan bisa salah.
Jika
hipotesis salah, maka kita akan menemukan suatu hal baru dan berbeda. Contohnya
seperti ini.
Waktu,
aku papasan sama kamu, aku nge-judge kalau
kamu ini cocok jadi pacarku. Hipotesis awalku, kamu ini cocok jadi pacarku.
Namun
aku salah, maka aku menemukan hal baru.
Aku
pun memacarimu, dan ternyata kamu ini nggak cocok jadi pacarku. Kamu ini
cocoknya jadi pendamping hidup aku.
Don’t judge book by it’s cover?
Oh please, we are judging each other..
“Just
Be Yourself”
Khusus
peribahasa ini, gue adalah seorang yang senang membuktikan kebenarannya. Ya, “Jadilah
diri sendiri” jauh lebih baik daripada berusaha menjadi orang lain. Sampai pada akhirnya gue menemukan sesuatu yang
lain di cerita-cerita di bawah ini.
STORY 1
Gue
adalah seorang yang pemalu. Itulah mengapa gue bersikukuh dan bersikeras ikut
mengambil bagian dalam organisasi kampus, walau hasilnya sering bersitegang. Saat
itu gue sadar, cuma sedikit – bahkan cuma hitungan jari, jumlah cewek yang
berani ngajak ngobrol cowok atau bahkan memulai sesuatu. Gue yang tingkat
kegantengannya di bawah rata-rata, tentu dirundung banyak masalah soal kisah
asmara.
Ya,
niat gue masuk ke organisasi itu sederhana. Gue pengin meningkatkan people skill supaya mudah masuk ke setiap perbincangan orang.
Namun,
nggak semudah itu. Gue yang sifatnya pemalu – bahkan cuek, punya kendala besar di
tengah kerumunan. Memulai suatu topik pembicaraan, saat itu, menjadi hal yang
menakutkan buat gue. Selalu terbersit di pikiran gue, “Kalau gue dikira sok akrab, gimana?”, “Kalau dia nggak suka ngobrol sama gue, gimana?” dan masih banyak
lagi. Untuk bisa melebur dan blend in the
crowd, gue harus belajar sesuatu yang bukanlah menjadi ciri khas gue.
Just be myself?
Gue
ini pemalu. Jika gue terus mempertahankan peribahasa di atas, gue nggak akan
jadi apa-apa. Dan kalau gue terus mempertahankan peribahasa di atas, gue nggak
pernah nulis postingan “The Handsomology”
yang menceritakan tentang mengapa harus
memulai duluan, dan attitude.
Dari
organisasi yang udah gue geluti semenjak awal semester perkuliahan inilah yang
membuat gue menemukan sifat alami sanguine yang terpendam. Ternyata pemalu yang
gue punya adalah ketraumaan gue terhadap penolakan. Gue minder karena takut
kehadiran gue nggak diterima di lingkungan tersebut.
Just be your self?
Kalau pemalu dan ngomong enak sama orang aja nggak bisa, gue lebih milih untuk nggak
jadi diri sendiri deh.
STORY 2
Sebenernya
gue udah pernah nyeritain maksud dari peribahasa ini di postingan “Beberapa pedekate yang sebaiknya jangan dilanjutin”. Walau isinya cuma kesedihan, gue sadar ada banyak ilmu yang
gue dapat dari sana. Iya, ketika gue berbulan-bulan pedekate sama seorang
cewek, bahkan di umur pedekate yang menginjak satu setengah tahun, gue masih
belum mampu mendapatkan hatinya. Dia nggak suka sama cowok periang, yang
meledak-ledak. Dia sukanya sama cowok cool, tenang, dan pembawaannya dingin.
Pertanyaannya,
kenapa masih terus gue kejar?
Di
saat gue mulai memutuskan untuk berhenti, justru gue dapat ilmunya. Pedekate yang
memakan banyak waktu tersebut, pelan-pelan mengubah dan memunculkan sifat baru
lagi dalam diri gue. Iya, sifat tenang dan diam. Usaha gue mendekati dia dengan
karakter gue sehari-hari nggak pernah mendapat tempat di hatinya.
Ketika
mulai fasih menggunakan sifat sanguine meledak-ledak dan sifat phlegmatis yang
cool, diam, dan pembawaannya tenang, justru gue mulai mendapat tempat di
hatinya. Secara nggak langsung, di akhir cerita, gue mengubah diri gue menjadi
karakter yang dia inginkan. Gue nggak menjadi diri sendiri.
Akhirnya
gue mendapatkannya, walau cuma sebentar.
Just be yourself itu
belum cukup dan belum lengkap. Menurut gue, peribahasa just be yourself lebih pada
upaya menyangkal atau denying
terhadap sesuatu. Kalau kamu punya masalah pada cara berkomunikasi atau cara
memahami orang lain, lalu dengan santai kamu menjawab “Yahh just be yourself ajalah”, kamu selangkah
menuju masalah besar.
Kalau
jati diri sendiri ternyata merugikan diri kita sendiri, kenapa masih just be yourself? Kenapa masih just be myself?
Mungkin
segitu dulu peribahasanya. Kalau kamu tau peribahasa yang menurutmu harus
direvisi, comment di box ya. Atau nggak, email aja. Hehe. (--,)7
0 Komentar