Lebih Baik Sendiri daripada Bersama Orang yang Salah?
Beberapa
minggu ini gue jadi sering ketemu dengan kalimat yang sebenarnya multitafsir,
dan nggak gue suka. Kalimat ini sering gue temukan dalam bentuk percakapan
orang-orang maupun dalam bentuk twit di timeline. Kalimatnya, menurut gue, udah
semacam ideologi atau prinsip gitu. Kalimatnya kayak gini,
“Lebih baik sendiri daripada
bersama orang yang salah.”
Atau,
“Lebih baik menunggu orang yang tepat
daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah.”
Nggak
ada yang salah kan?
Oh
tentu, tentu saja nggak salah, lha wong
mendapat ritwit lebih dari dua ratus orang dan terus bertambah setiap jamnya.
Walau jumlah ritwit kepada sebuah twit tidak menjamin keabsahan atau kebenaran
dari twit itu sendiri, setidaknya, kalimat itu diamini banyak orang. Ada banyak
orang yang setuju dengan kalimat itu.
Gue
juga meyakini bahwa tidak ada yang salah ketika membahas semua hal tentang
cinta. Sebab cinta, menurut gue, adalah semacam argumen dan nggak pernah ada
teori yang saklek tentang cinta. Toh, teori-teori yang dikeluarkan para pakar cinta di seminar-seminar yang mereka adakan, tak selalu diiyakan orang-orang.
Nggak semua cewek bakal takluk dengan teori A, nggak semua cowok bisa melakukan
teori A dan sebaliknya. Intinya ya argumen, selama bisa mempertahankan argumen
itu, ya bisa dianggap benar. Ada yang setuju, ada yang nggak setuju, dan ada
yang bilang sok tau. Semua bebas berpendapat.
Oke,
kembali ke kalimat “Lebih baik sendiri daripada bersama orang yang salah.”
PERTAMA.
Pertanyaan
sederhana gue yang pertama adalah, “Kita ini bisa berhasil pada berapa kali
percobaan, sih?” Dan tentu aja sangat mudah untuk dijawab dengan, nggak tau. Ya jelas nggak ada yang tau
pasti seseorang bakal sukses atau berhasil lewat berapa kali percobaan. Contoh
sederhananya adalah penulis terkenal J.K Rowling. Semuanya tau kalau penulis
heptalogi Harry Potter ini begitu terkenal dan sukses. Bahkan menjadi salah
satu penulis tertajir. Tapi mungkin hanya sedikit yang tau berapa kali J.K
Rowling ditolak oleh penerbit sebelum akhirnya melegenda. Jangan googling, kamu
pasti akan tercengang. Pokoknya jangan..
Begitu
juga urusan cinta.
Siapa
yang langsung tau siapa cinta sejati kita di hidup ini? Siapa yang bisa
langsung menemukan orang yang tepat di sekali kesempatan? Siapa cowok yang bisa
langsung dapet cewek di sekali sepikan? Nggak ada yang tau. Ada yang langsung
berhasil menemukan di sekali pacaran, ada yang dua kali, ada yang berkali-kali.
Bahkan yang udah menikah aja masih ada yang merasa bahwa suami atau istrinya sebenarnya
bukan cinta sejati, bukan orang yang tepat.
Kalimat
“lebih baik sendiri daripada bersama
orang yang salah”, dan “Lebih baik
menunggu orang yang tepat daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah”
di mata gue adalah kalimat pemalas,
kalimat yang nggak mau susah, kalimat yang egois. Ketika di luar sana ada
banyak orang harus berkali-kali jatuh bangun untuk menemukan seseorang yang tepat di hatinya, lha kalimat
bercetak miring di atas kemudian datang seolah-olah tidak ingin merasakan
gagalnya jatuh cinta. Nggak fair.
Buat
gue, orang yang nggak mau gagal dalam sesuatu dan hanya maunya sukses, nggak
layak mendapat kesuksesan. Padahal, kata orang-orang bijak jaman dulu, kini, hingga
yang akan datang, gagal adalah kesuksesan yang buffering. Kalau mau sabar dan perbaiki koneksi, ya bisa lancar
lagi. Atau terinspirasi dari mbah Agus Hadi Sujiwo atau yang akrab dipanggil
Sujiwotejo, “Gagal hanyalah sesuatu yang berjalan tidak sesuai keinginanmu,
namun sesuai dengan kehendak-Nya.”
Begitu
juga soal cinta, bagaimana cara menuju bahagia jika hanya mau mencari baiknya
namun tidak mau menerima buruknya? Padahal, di depan cinta, baik dengan buruk cuma
sedekat jantung dengan detaknya.
KEDUA.
Pertanyaan
kedua gue yang tak kalah sederhana adalah, “Mengapa kita bisa berkata bahwa
orang yang sedang bersama kita adalah orang yang salah atau tidak tepat?” Apa
karena dia melakukan perbuatan yang melukai hati kita? Seperti selingkuh,
misalnya? Apa karena dia adalah orang yang egois? Apa karena dia bukan orang
yang membuat nyaman? Apa karena dia bukan dari keluarga yang mapan? Apa karena
dia pacar orang? Apa karena dia nggak
bisa lupain mantannya? Apa karena dia nggak mau bayarin SPP dan nggak mau
bayarin tagihan kartu kredit seperti apa yang biasa dilakukan om-om kepada cewek-cewek sosialita simpenannya?
Jadi, apa karena itu dia dianggap salah dan tidak tepat?
“Orang
yang salah” di sini benar-benar multitafsir dan rawan disalahartikan. Kenapa nggak pernah ada kalimat, “Lebih baik kamu sendiri daripada bersama
aku yang salah”? Apakah manusia adalah hakim yang adil untuk diri sendiri,
namun tidak kepada orang lain? Apakah kesalahan dalam suatu hubungan selalu
mutlak berada pada orang lain, bukan berasal dari diri sendiri?
Jika
ada dua orang yang berpacaran dan esok masing-masing dari mereka beranggapan,
“Lebih baik sendiri daripada bersama orang yang salah”, berarti dua orang
tersebut saling menyalahkan satu sama lain. Mereka berdua berpendapat bahwa
orang yang tengah mereka pacari adalah orang yang salah.
Tapi
tidak satupun dari mereka yang merasa bahwa dirinyalah yang salah.
Iya
kalau dia adalah orang yang salah, kalau bukan?
Kalau
ternyata dia adalah orang yang benar dan tepat, tapi cara kita melihatnya yang
selalu salah, gimana?
=====
Gue
jadi teringat dengan cerita seorang lelaki yang berdoa pada Tuhannya tentang
perempuan yang tepat. Lelaki itu selalu berbincang pada Tuhan tentang perempuan
yang diinginkannya, di sela-sela percakapannya, ia selalu meminta agar Tuhan
mengabulkan doanya.
Tidak
lama kemudian, lelaki itu merajut cinta dengan seorang perempuan yang berbeda
kota. Sang perempuan menerima lelaki itu dengan segala kondisinya, dan dengan
segala jarak yang merentang di tengah-tengah mereka.
Lelaki
itu merasa kesepian, kadang ia sering merasa jauh dengan kekasihnya. Ia seperti
harus membayar mahal kepada jarak untuk cinta yang kata orang-orang happens effortly. Lantas lelaki itu
kembali berbincang dengan Tuhan, ia bertanya apakah perempuan yang tepat
untuknya harus berada jauh di luar jangkauannya. Namun Tuhan tak menjawab,
Tuhan hanya diam dan tersenyum.
Beberapa
minggu kemudian, lelaki itu bertemu dengan seorang perempuan lain yang mirip
kekasihnya. Lelaki itu melihat wajah kekasihnya yang jauh di sana sedang
tersenyum kepadanya lewat perempuan itu. Perempuan itu putih mulus dan lebih
seksi dari kekasihnya yang jauh di sana. Lelaki itu sempat beranggapan bahwa
cinta adalah ketika kuat ia rasakan bibir kekasihnya di bibir kekasih orang
lain. Lelaki itu menemukan seseorang yang mampu mengisi kekosongan ruang yang
jarak jauh telah ciptakan. Tak butuh waktu lama untuk membuat seseorang berpaling.
Kali pertama lelaki itu menatap perempuan lain layaknya ia menatap kekasihnya,
sebenarnya ia telah berpaling.
Setelah
tidak menjalin asmara dengan perempuan yang jauh di sana, lelaki itu mantap
menjalani hari bersama perempuan baru yang ia temui dan jatuh cintai pada
pandangan pertama itu. Hubungan mereka berdua tampak bahagia seperti pasangan yang
baru mendapat mobil dari kuis super deal dua milyar. Semua baik-baik saja
sampai akhirnya batu kerikil dan jalan berlubang mewarnai perjalanan mereka.
Biduk rumah tangga pacaran mereka seperti membuka tirai di kuis super deal dua
milyar, terus isinya zonk. Uya Kuya
ketawa puas.
Perempuan
yang dicintainya mulai menunjukkan sifat asli yang awalnya tidak diketahui
olehnya. Ya, mabuk-mabukkan. Hidup di hingar-bingar dunia malam. Sering pulang
pagi, dan akrab dengan hangover.
Melihat kelakuan kekasihnya yang selalu mabuk-mabukkan diam-diam, lelaki itu
tentu berang. Entah sudah berapa tangan lelaki hinggap di paha mulus kekasihnya
itu yang suka berpakain seksi dan ketat, pikirnya. Masalah pun berlarut-larut,
lelaki itu kecewa pada perempuannya. Dan ia pun kembali berbincang pada Tuhan
tentang kekasihnya yang dianggapnya mudharat itu. Ia kembali bertanya pada
Tuhan apakah perempuan yang tepat baginya adalah perempuan yang tiap hari
pulang pagi dan tubuhnya dihinggapi banyak tangan lelaki. Namun Tuhan tak
menjawab. Tuhan hanya kembali diam dan tersenyum.
Di
sela karut-marut dan kalut hatinya, lelaki itu dipertemukan dengan seorang
gadis yang kebetulan berpapasan di kampus Hukum. Entah apa yang membawa lelaki
itu berkunjung ke kampus Hukum, tapi nyatanya ia berpapasan dengan perempuan
yang teduh sekali senyumnya. Tubuh mereka berjalan ke arah yang berbeda, namun
tatapan mereka searah. “Mungkin inilah jawaban Tuhan untukku.” bisik lelaki itu
dalam hati.
Mereka
berdua kembali dipertemukan dalam seminar yang diadakan di kampus perempuan
itu. Seminar nasional tentang Kedaulatan Negara. “Persetan dengan tema
seminarnya, yang penting hatiku dengan hatinya harus segera berdaulat.” Bisik
lelaki itu kepada hati kecilnya. Perempuan itu berbeda sekali dengan kekasihnya yang
dianggap mudharat itu. Senyumnya teduh, bicaranya sopan, dan tak kalah seksi
pula. Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk melangkahkan kaki
bersama. “Aku kaki kirimu, engkau kaki kananku.” Bisik lelaki itu tepat di
telinga kekasih barunya. Perempuan itu tersipu malu.
Lelaki
itu bahagia sekali, kekurangan-kekurangan mantannya di masa lalu, dipenuhi oleh
kekasihnya sekarang. Dekat di hati, bukan perempuan yang hidup di hingar-bingar
malam, dan hebatnya menerima apapun kondisi si lelaki itu. “Terimakasih Tuhan,
kau menjawab doaku, dialah perempuan yang benar dan tepat untukku!” Teriak lelaki itu keras-keras di dalam hati.
Belum
lama lelaki itu mengucap terimakasih kepada Tuhan akan kehadiran kekasih
barunya, lelaki itu kembali diguncang prahara. Sang perempuan tau jika
lelakinya berbeda agama, maka ia tak pernah memberitahu sosok lelakinya kepada
orang tuanya. Namun, sepandai-pandainya menutupi bau badan dengan deodorant,
jika jarang mandi, kelak akan tercium juga aroma kelek sopir taksinya.
Akhirnya, perbedaan agama antara lelaki dan perempuan itu ketahuan juga. Orang
tua sang perempuan berang. Lelaki itu diusir dari depan pagar ketika sedang
berkunjung menemui kekasihnya.
Lelaki
itu galau, hatinya hacep bor. Lelaki
itu pun langsung berlari dan mengetuk pintu di mana Tuhan bertempat tinggal, ya
hatinya. Ia bertanya, harus di mana ia menemukan perempuan yang tepat? Apakah
ia lebih baik sendiri daripada bersama orang yang salah?
“Tuhan hadirkan aku
perempuan yang tepat, aku suduh cukup menghadapi perempuan yang salah..” Pinta
lelaki itu.
“Aku
sudah menghadirkanmu tiga perempuan yang tepat, dan semuanya kau anggap salah?”
Tuhan tidak lagi diam, Ia kini menjawab.
Lelaki
itu menahan rasa herannya.
“Aku
hadirkan perempuan yang tepat namun jauh darimu agar kau belajar bagaimana
mengelola rasa rindu, agar kau tahu bahwa sesungguhnya jarak tidak diukur oleh
satuan kilometer, melainkan satuan kepercayaan.”
Lelaki
itu diam.
“Namun
kau anggap bahwa perempuan itu kurang tepat, maka aku hadirkan perempuan yang
dekat denganmu, yang akan mencintaimu dengan terlalu namun ia memiliki sifat
yang kau benci. Kubuat ia seperti itu agar kau tahu cara memaafkan seseorang. Untuk
melihat seberapa hebat kau mencintai perempuan itu, jika kau cinta, maka kau
akan bawa ia pada perubahan yang lebih baik, pada jalan yang lebih baik. Namun
kau anggap perempuan itu salah, tidak tepat. Kau tinggalkan ia yang menaruh harapan besar
padamu.” Jawab Tuhan kembali.
Lelaki
itu menelan bulat-bulat rasa bersalahnya.
“Dan
telah juga kau kupertemukan dengan perempuan yang baik hatinya, yang ketika kau
lihat senyumnya akan kau temukan Aku di sana. Namun kubuat ia berbeda
denganmu dan kubuat kau berbeda dengannya, agar kau tahu apa itu perbedaan. Agar
kau belajar bahwa cinta yang aku ajarkan ke dunia akan selalu mampu menyatukan
perbedaan. Akan selalu. Namun kau berhenti berjuang, kau terlalu takut
menghadapi perbedaan, dan apa yang membuatmu takut tidaklah dapat kausebut
cinta. Sebab, cinta yang kuberi hanya akan menguatkanmu, bukan sebalikya.”
Tuhan kembali melanjutkan.
Lelaki
itu terjatuh dan ia sadar, bahwa ia sebenarnya telah salah.
“Sayang,
tak akan cukup jika hidupmu digunakan untuk selalu mencari yang tepat. Sebab
yang tepat berada di dalam dirimu sendiri, di dalam cara berpikirmu, di dalam
sudut pandangmu.” Tuhan kembali menambahkan.
“Lalu
bagaimana cara untuk bisa bertemu dengan orang yang tepat, Tuhan?
Tuhan
hanya tersenyum.
Lelaki
itu akhirnya sadar, bahwa seseorang yang tepat tidaklah datang begitu saja,
tidak sekadar menunggu yang tepat saja, mungkin seseorang yang tepat adalah seseorang
yang awalnya dianggap salah, seseorang yang awalnya diragukan, namun seiring
kematangan berpikir dan berproses, kelak bisa menjadi orang yang tepat.
Atau
sesuai dengan kalimat yang akrab di telinga kita, “Daripada cuma menunggu orang
yang tepat, lebih baik memperbaiki diri untuk menjadi orang yang tepat.”
You are the anwer that i never questioned. |
Jadi,
yakin lebih baik sendiri dan menunggu
yang tepat daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah?
Nggak
mau introspeksi lagi?
Oh
iya, lelaki di atas adalah, gue.
(Disclaimer: Perbincangan dengan Tuhan pada cerita di atas hanyalah perumpamaan belaka, tidak ada maksud untuk sok tau ataupun menjelek-jelekkan.)
(Disclaimer: Perbincangan dengan Tuhan pada cerita di atas hanyalah perumpamaan belaka, tidak ada maksud untuk sok tau ataupun menjelek-jelekkan.)
Tags:
Filosofi kacang
9 Komentar
Bagus don..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAihhhh, bitch! Postingan macam apa ini? Premisnya itu doang. Tp bisa ngasilin pemikiran sekampret ini? Hmm gue mulai berpikir penerbit2 yg nolak naskah lo, mungkin cara mereka melihat yg selalu salah don. Keep writing! Gue suka bagian pas lelaki itu menjalin hubungan beda agama, spt sosok gue. Bedanya kita gak pacaran, gue ditolak. tp msh hubungan baik. Gue jg gak pernah di usir! Salah, benar, tepat menurut gue cuma masalah sudut pandang dan pemikiran org tsb. Jd gw setuju sm argumen lo "mungkin cara kita melihatnya yg selalu salah". Hahaha koment sbelumnya gw apus, takut doi baca ntar gmn2. Sialan gagal pertamax!
BalasHapusKereeeeeen bgt don!
BalasHapusgue langsung termenung 5 menit abis baca tulisan lo... bener banget pendapat lo tentang "orang yang tepat..." GOOD JOB DON, Thanks a lot... (h)
BalasHapusHacep don!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskeren,takjub,jdi mikir daleeemmm bgt.tp emng manusia tuh sllu takut,takut gagal,takut brsha,takut ditolak,takut g bsa bhgia.takut itu kdg lbh besar dr kbrnian mknya jdi sering negtif thinking ama org lain maupun dri sndiri. Great thing will come if we try to accept everything and learn from it.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus