Changing Room


"Akan tiba saatnya ketika hanya ada aku, kamu, dan waktu yang tepat".


Di jaman yang nggak harus bertatap muka seperti sekarang, kayaknya semua bakal jadi lebih mudah.

Dulu, untuk dapat membeli sayur, seseorang harus pergi ke pasar dan melakukan transaksi. Atau minimal dia wajib mencegat seseorang yang berteriak “yuurr.. yuurrr.. sayuuur..” di depan pagar rumahnya.  Alhasil, orang yang dicegat oleh ibu-ibu berdaster di depan pagar rumah, mau nggak mau dikenal sebagai lelaki yang membawa gerobak berisi sayur. Namun seiring berjalannya waktu, ia lebih akrab disebut tukang sayur.

Itu kan dulu.

Sekarang, ibunya Sobirin, teman gue, belanja sayur udah nggak pada tempatnya. Ibunya Sobirin juga nggak ketemu sama tukang sayurnya. Dia bahkan membeli sayur cukup menggunakan telunjuknya. Dia belanja sayur online.

Tepuk tangan.

Teman gue, Gladis, ujian masuk perguruan tinggi tanpa harus beradu tatap dengan pengawas ujian. Nggak seperti gue yang SNMPTN mesti dikawal banyak orang, dipasangi kamera CCTV di beberapa sudut ruangan, kepala gue dipasangi helm yang ada kameranya, kemudian diberi snack dan lilin. Belum selesai ujian, gue udah melambaikan tangan ke kamera. Usut punya usut, Gladis ini ujian melalui situs web universitas. Ya, ujian online. Begitu gue tanya, “Gimana soalnya, susah nggak?” “Nggak kok, gue ngerjain bareng guru les gue.” Jawab dia datar.

Sementara itu, Renaldi, adalah mahasiswa yang jarang ngampus. Kerjaannya cuma di rebahan di kasur menatap langit-langit sambil nyanyi-nyanyi lagunya Cakra Khan. Yang bikin sebel, IPK-nya cumlaude. Gue yang rajin ngampus dan IPK gue termasuk standar, standard drop out, cuma bisa menatap dia dengki dan keji. Sebelum gue melaporkan hal ini ke Komnas PMRNTSDNJ - Komisi Nasional Perlindungan Mahasiswa Rajin Ngampus Tapi Selalu Dapat Nilai Jelek, ternyata Renaldi ini diberi mata kuliah secara online, tugas-tugas juga sering diberi secara online, dan dikumpulnya pun juga online. Dia mahasiswa Fakultas Ekonomi kelas internasional. Akhirnya, gue pun mengurungkan niat untuk nelfon Kak Seto.

Kalau semua online dan nggak perlu bertatap muka seperti ini, kayaknya sih bakal mudah ya.

Tapi kalau cinta?

Ya, inilah yang terjadi di keseharian hidup gue. LDR atau yang sering gue sebut  pacaran online. Pacaran yang mengandalkan penginderaan jauh ini membuat gue beradaptasi dengan gaya baru dalam membangun mahligai percintaan. Jika cinta adalah sebuah bangunan, maka yang gue lakukan hari ini adalah membangun fondasinya.

====


Kalau pacaran jarak dekat “cintaku berat di ongkos”, maka pacaran jarak jauh berarti “cintaku berat di ongkos, di pulsa, di kangen, di godaan-godaan, dan di segala-galanya.” Selain pulsa yang jor-joran untuk menelpon, LDR ini juga mengharuskan gue untuk hijrah ke kota kekasih. Sejak itu, gue berusaha untuk nggak ngeluh soal biaya komunikasi atau biaya ketemuan. Sekali mengeluhkan soal ini, gue one step closer kandas di tepi jalan. Sesuai dengan quote seseorang yang menjadi favorit gue,

Cinta bukan pengorbanan.. Jika kau merasa berkorban, saat itu cintamu mulai pudar.

Selain itu, LDR juga mengajarkan gue apa makna berpikir positif. Waktu Gaby seharian nggak ngasih kabar, gue tetap berpikir positif. Mungkin dia lagi jongkok di parkiran Indomaret, memandangi jalan raya dengan tatapan berkaca-kaca setelah dicerca dosen pembimbing skripsinya.

Waktu dia bales SMS lama, gue lagi-lagi berpikir positif. Mungkin pulsanya habis. Terus pas mau beli pulsa, abang tukang pulsanya mendadak pingsan. Lalu dibawa ke rumah sakit. Habis itu dia nungguin abang pulsanya sampe siuman. Begitu siuman, baru deh terjadi transaksi pulsa. Akhirnya setelah delapan jam terkatung-katung tanpa balasan, barulah SMS gue dibales.

Ketika dia gue telfon nggak diangkat atau lama diangkatnya, gue tetap-masih-untuk-kesekian-kalinya berpikir positif. Mungkin hapenya di-silent dan ada di tas. Terus tasnya ketinggalan di kos-kosan yang belum dibayar 4 bulan. Jadi intinya dia nggak bisa ngambil hapenya yang kebetulan ada di tas, yang juga kebetulan ada di kamar kosnya yang masih nunggak 4 bulan. Dia menjadi buronan ibu kos.

Kemampuan berpikir positif yang luar biasa ini membuat gue nggak mudah untuk mendramatisir sesuatu. Walau gue terus memperbaiki fondasi hubungan jarak jauh ini, tetap aja ada retak-retaknya. Sesuai dengan perihbahasanya, tiada LDR yang tidak retak.

====

Semua yang ada kata ‘jatuh’-nya pasti nggak enak. Sudah jatuh tertimpa tangga, nggak enak. Sudah jatuh kegencet Adele, apalagi. Jatuh dari tempat tidur, juga nggak enak. Jatuh bangun aku mengejarmuuu, itu lagu dangdut.

Kalau jatuh cinta?

Iya, cuma hal ini yang menggunakan kata jatuh dan kita malah senyum-senyum sendiri dibuatnya. Jika jatuh adalah sebuah kecelakaan, maka jatuh cinta adalah kecelakaan paling indah.

====

 Waktu itu, sebelum gue pindah ke kos terkutuk itu, gue pernah jatuh sakit. Typus adalah penyakit jelek gue di awal-awal perkuliahan. Makan telat dikit, gue laper. Tidur kurang dikit, gue ngantuk. Ujian nggak belajar dikit, nilai ujian gue jelek. Rentetan-rentetan laper-ngantuk-nilai-ujian-jelek ini membuat gue terserang typus. Inilah diagnosa awal kenapa gue bisa sering kena typus. Wajar aja gue nggak keterima di kedokteran. Well, bukan itu yang jadi masalahnya.

Yang jadi masalah adalah gue ada yang ngerawat apa nggak. Ketika jatuh sakit, dan kekasih berada nun jauh di sana, dan ada cewek lain yang berusaha merawat tanpa pamrih, gue cuma bisa bilang “I love you, God!” Iya, dia adalah anak bapak kosan itu. Gara-gara dia, gue nggak sampai dirawat di rumah sakit. Yang jago ngasi perhatian dengan bilang “Get well soon dear, i love you” akan selalu kalah sama yang bikinin bubur, nyuapin, gantiin kompres dan beliin obat.

====

Waktu itu gue adalah seorang aktivis kampus (walau lebih cocok disebut dengan pasifis kampus). Gue yang ber-IQ mentimun, nggak sanggup membagi waktu antara organisasi dengan kuliah. IP gue langsung bungee jumping. Bukan karena IP jeblok yang membuat gue sedih, tapi ketika mata kuliah yang mendapat nilai jelek itu harus diulang. Diulang tahun depan. Dan itu malesnya bukan main. Nyesek.

Setelah tragedi itu gue menjadi seorang perenung. Setiap ada orang ngomongin nilai “A”, gue langsung menatap langit, memandangi burung-burung yang terbang dengan bebasnya. Setiap ada orang yang ngomongin, “IP lo semester kemarin gimana? Wah, gue turun drastis nih. Dari 3,95 jadi 3,90” gue langsung merenung di pojokan, madep tembok. Mengunci diri di dalam kamar dan membusuk dengan sendirinya.

Tapi Tuhan nggak tinggal diam. Monika datang, memberi pukpuk, menunggu gue bersandar, di bahunya yang tegar. Dia yang jago ngasi motivasi dari jauh, “Kamu pasti bisa melewati semua ini, sayang” bakal kalah sama dia yang hebat menemani, menyemangati bahwa kita nggak pernah sendirian dengan arti hadirnya.

====

Malam minggu. Ya, malam yang sering di-overrated banyak orang entah apa alasannya, udah bukan barang baru buat ceng-cengan di berbagai dunia maya. Rasanya, kalau malam minggu nggak dihabiskan bersama kekasih, itu sama aja kayak kuliah pagi tanpa bangun kesiangan.

 Jika malem minggu ini dia ada di samping gue, berarti dia genap 65 hari berturut-turut menemani keseharian gue tanpa jeda. Kami belum jadian, tapi 65 hari yang dia pilih untuk dilewatkan bersama gue, udah gue anggap sebagai sebuah kode. Panggilan sayang gue ke dia, Nana. Sederhana, ini diambil dari kata Banana. Nana ini suka banget sama pisang. Dia udah jatuh cinta sama pisang sebelum akhirnya milih nemenin gue daripada nemenin pisang-pisangnya di rumah.

Tenang dulu. Tenang. Gue nggak selingkuh. Nana tau kalau gue punya pacar di Jakarta. Nana ini Duta LDR Indonesia. Berkali-kali hubungan jarak jauh yang dia bina harus berakhir di air mata yang salah. Karena itulah gue selalu bertanya-tanya padanya, perihal hubungan gue dengan Gaby yang penuh gejolak. Jawaban dan solusi yang Nana berikan sering menyelamatkan hubungan jarak jauh gue dengan Gaby.

Ketika hati udah nggak bisa menyembunyikan bahwa ia merasa nyaman, gue sadar jika telah melakukan sebuah kesalahan besar. Gue curhat kepada orang yang kurang tepat. Gue seperti menemukan kepingan yang hilang di antara kekosongan ruang, yang jarak jauh ciptakan. Cinta tumbuh di tiap kalimat curhat yang didengar dan direspon dengan baik.

Maksud hati ingin bertahan kepada yang jauh, namun apa daya cinta bersemi kepada ia yang dekat. Dia yang memberi kenyamanan dari jauh, lambat laun bisa menyerah kalah pada dia yang memberi kenyamanan di kekosongan ruang, yang jarak jauh ciptakan.

Ada ruang yang tak terisi, ruang di antara jarak, ruang di antara indera, ruang di mana cinta kita perlahan berubah tanpa kita sadari.

A changing room.

====

Yang dekat memberi perhatian. Yang jauh juga memberi perhatian. Tiba-tiba sayup-sayup bisikan terdengar “Ada yang mencintaimu dari dekat, mengapa kau pertahankan ia yang jauh dan yang hanya bisa kau terka-terka?”

“ITU SIAPA YANG NGOMONG BARUSAN!!” gue panik.

“Tidak. Ia mencintai aku, hanya aku yang ia cintai, dengan memilikiku, ia nyaris memiliki banyak hal indah di dunia ini.” gue coba ngebales suara sayup-sayup itu dengan bijak.

“Kau hanya mampu menerka, kau tak melihat apa yang ia lihat dan begitu sebaliknya. Kau hanya jarak yang ia terka, kau hanyalah jarak yang ia lipat menggunakan rasa.” Suara sayup-sayup itu membalas lagi.

“KELUAR LO KALO BERANI!! DI MANA LO SEKARANG!!” gue emosi-emosi ganteng.

 “Coba lihat lagi hubungan kalian, kau dan dirinya cuma bicara lewat telepon, ketika couple lain bicara lewat pelukan.” Sayup-sayup suara terdengar lagi.

Gue mulai hening.

“Coba lihat lagi hubungan kalian, kau dan dirinya cuma bisa mencium kening gagang telepon, ketika couple lain mencium dengan tatapan mata yang panjang.” Sayup-sayup suara yang bikin goyah kembali terdengar.

Gue hening cukup panjang.

“Coba lihat lagi hubungan kalian, kau dan dirinya cuma bisa bertengkar lewat telepon kemudian diam, ketika pasangan lain bertengkar lewat gestur tubuh  dan kemudian  berpelukan dalam diam.” Sayup-sayup suara terdengar dan menusuk punggung dari belakang.

Gue berada di puncak keheningan tertinggi.

“Ya sudah, ingat-ingat lagi hubungan kalian lebih dalam. Kau dan dirinya cuma bisa saling menerka-nerka, ketika pasangan lain saling menatap dan menemukan.”

KREK.

Hati gue retak.

Gue terjatuh, terhempas, terkulai lemas tak berdaya.

Di sela-sela keputus-asaan, sayup-sayup suara bedebah itu kembali terdengar.

“Udah, putusin aja.”




from Don Juan

Share:

0 Komentar