"Musuhin orang kok ngajak-ngajak" part 1
Setelah
zaman “Yang nyakitin yang dipertahanin”, sebenarnya kita juga lagi hidup di
zaman “Ngajak teman sendiri untuk musuhin seseorang atau segelintir orang.” Beberapa
hari yang lalu, ada seorang cewek yang curhat ke email gue. Sebut saja, Cosette.
Dia
curhat kalau lagi crash sama salah
satu temannya, Epponine. Cosette sering bertengkar dengan Epponine karena
temannya ini adalah seorang cewek yang suka makan teman. Diam-diam, Epponine
merajut cinta beda agama dengan kekasih Cossete, Marius. Akhirnya setelah lama
memendam, Cossete terbakar api elpiji karena cemburu dan menyebut Epponine
cewek yang suka ngerebut pacar orang.
Masalahnya
semakin besar setelah Epponine mengambil sikap kurang terpuji. Epponine
melakukan tackling keras kepada Cossete
yang membuat Cossete harus dipinggirkan dari lapangan. Cedera hamstring. Ah,
bukan.
Akhirnya,
wasit memberikan kartu kuning kedua pada Epponine. Menang jumlah pemain, klub
Cossete berada di atas angin. Pertandingan yang berat sebelah pun terjadi. Ah,
bukan. Bukan begitu ceritanya.
Epponine
yang nggak terima disebut tukang ngerebut pacar orang, menghasut teman-teman
yang lain untuk memusuhi Cossete. Perang twitwar nomention dan baku hantam saling menyindir pun tak lagi dapat
dihindari. Akhirnya, ketika Cossete memilih untuk menjauhi Epponine, mau nggak
mau Cossete juga harus dijauhi oleh teman-teman Epponine yang sebenarnya juga adalah
teman dia sendiri.
Memusuhi
orang kok ngajak-ngajak..
Curhatan
Cossete yang miris ini mengingatkan gue ke masa itu, masa di mana gue pernah
melihat kejadian itu secara langsung, dan juga pernah berada di posisi itu.
===
Dulu,
gue adalah aktifis kampus. Benar-benar aktif. Bahkan, banyak waktu gue habiskan
di sekre Badan Eksekutif Mahasiswa. Barang-barang gue di kosan, satu per satu
gue bawa ke sekre. Bermula dari alat mandi, seterikaan, rice cooker, gantungan
baju, kipas angin, dan pacar. Di zaman itu, pacar adalah salah satu benda
kesayangan di kamar kosan.
Gue
juga membuat sekre itu ibarat rumah pertama, dan kosan adalah rumah kedua. Ini
berguna sebagai tempat pelarian dari kejaran bapak kosan di akhir bulan.
Rentetan-rentetan kisah mengharukan ini
adalah bukti totalitas gue sebagai aktifis kampus. Hidup terasa damai
sentosa, buang air lancar, dan bahtera organisasi pun terasa sakinah, mawaddah,
juga warrahmah sampai pada akhirnya tragedi ini terjadi..
Gue
punya teman seorang Presiden Mahasiswa. Buat gue, dia adalah buku primbon
berjalan. Pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangannya terhadap fondasi
kehidupan, banyak mengajarkan gue ilmu-ilmu baru dalam berkehidupan. Bahkan gue
juga belajar prinsip-prinsip supel dan the
art of dealing with woman darinya. Dasar-dasar pemikiran dan tehnik
ke-playboy-an dia pun juga sering menginspirasi gue.
Dia adalah seseorang yang memberikan pengaruh.
Jika dia menang dalam pemilihan mahasiswa raya, buat gue itu hal yang lumrah.
Dia mendominasi pemilihan suara. Namun, di tengah kesempurnaannya itu, dia
bukan tanpa cela. Dia punya kepercayaan diri yang luar biasa. Kepercayaan
dirinya itu sering membuatnya berada di puncak, dan juga membawanya ke banyak
masalah. Overly-man attached.
Ya,
dia adalah seseorang yang mengalahkan banyak calon presiden mahasiswa, termasuk
gue, di Pemilihan Mahasiswa Raya. Setelah itu, dia meminta gue untuk
membantunya dalam mengisi susunan kabinet. Dia meminta gue untuk menjadi
“tangan kanannya” selama masa jabatannya. Ya, di sanalah gue kenal dia makin
dekat hingga akhirnya menyebutnya sebagai buku primbon berjalan.
Sebut
saja dia, Raka.
Waktu itu ada agenda besar dalam masa
kepengurusannya sebagai Presiden Mahasiswa yaitu aksi sosial yang mengerahkan
banyak partisipan di dalamnya. Aksi sosial yang diprakarsai oleh Badan
Eksekutif Mahasiswa ini menyedot banyak perhatian sponsor untuk bisa ikut
“memasang iklan” sebagai timbal baliknya. Raka yang menjunjung tinggi panji
universitas, menolak adanya sponsor yang ingin memberikan “bantuan” tersebut.
Raka menilai dana yang didanai oleh universitas sudah cukup untuk
menyelenggarakan aksi sosial ini. Selain itu, Raka juga tau jika ia
mengikutsertakan sponsor yang nantinya akan memasang iklan di Aksi sosial, sama
saja dengan menjual nama universitas. Gue sebagai tangan kanannya, mendukung
keputusan Raka karena ini benar-benar aksi sosial dari universitas.
Tapi
tidak dengan divisi-divisi lainnya. Kadiv-kadiv (Kepala divisi) lain menganggap
hal ini sebuah aji mumpung. Jika
diterima, sponsor akan menambah daya finansial organisasi kami. Dan jika
nantinya dana itu berlebih, itu akan menjadi milik BEM, dengan kata lain setiap
anggota akan “kecipratan” dana tersebut. Awalnya, gue menganggap hal ini
sah-sah aja karena gue juga bisa
kecipratan dana segar itu. Mau nggak mau, siang itu terjadi rapat sengit antara
kubu Raka dan kubu dari kabinet yang disusunnya sendiri.
*BRAKKK!!*
Raka nebalikin meja.
“Nggak!
Nggak bisa!! Ini namanya praktik korupsi!!” Raka berang.
“Lho,
gimana sih, ada support dari orang kenapa nggak diterima?!!” Sergah Kadiv
Humas.
“Tapi
nggak gini caranya! Kemarin kita udah deal sama universitas kalau kita hanya
akan turun membantu di bawah nama universitas!”
“Bro,
kita ini kerja nggak digaji!! Sekali-kali dapet duit emang kenapa? Salah?!”
Bales Kadiv Kebijakan Internal.
“Dengan
melakukan ini, kita baru aja belajar korupsi kecil-kecilan!!” Raka masih
keukeuh dengan pendiriannya.
“Sob,
lo kolot banget. Kita butuh sponsor! Toh, dia cuman minta merek produknya
ditempel di baliho yang kita pasang. Sederhana banget, sob!! Ambil aja!!” Kadiv
Pengabdian Masyarakat ikut nimpalin.
*BRAKKK!!*
Raka ngebediriin meja, lalu ditebalikin lagi.
“NGGAK!!
NGGAK BISA!!”
===
Proposal
yang akan ditandatangani pihak rektorat universitas nggak akan bisa jalan tanpa
tanda tangan Presiden Mahasiswa, Raka. Akhirnya, mau nggak mau, Aksi sosial
yang besar ini berjalan tanpa sponsor. Sesuai dengan prinsip organisasi Raka.
Masalahnya
nggak berhenti di situ.
Semenjak
kejadian sederhana itu, Raka mulai nggak disukai karena sifat idealismenya.
Sebagai orang yang sepaham dengan Raka, gue juga sering terlibat perang urat
syaraf dengan para kadiv lain. Masalah semakin berlarut-larut..
Sampai
akhirnya Raka dikudeta oleh beberapa kadiv-nya sendiri. Aneh ya.
Raka
mengundurkan diri sebelum masa jabatannya habis. Dia mengaku banyak dimusuhi
oleh orang-orang di organisasi kampus itu. Sebelumnya, gue juga sempet ngasitau
Raka kalau dia dihujat di forum dan milis pribadi BEM kampus, Raka dihujat
secara nggak langsung. Beberapa orang yang nggak suka dengan kepemimpinan Raka
mengompori divisi lain dan anak kaki tangan lainnya. Akhirnya, orang-orang yang
tadinya nggak punya masalah pribadi dengan Raka, ujung-ujungnya memusuhi Raka.
Buat
gue, dia yang segala ngajak-ngajak orang untuk musuhin orang lain adalah
pecundang. Tapi orang yang terpengaruh sama ajakan pecundang tadi, lebih pecun.
dang.
Dari
kejadian sederhana ini gue juga belajar, bahwa orang baik dan bersih nggak
selamanya menang. Mungkin ini juga yang terjadi di sistem perpolitikan negeri
kita. Pejabat yang bersih akan disingkirin karena dinilai menghambat
rencana-rencana kotor penguasa yang lain. Orang yang nggak korupsi lebih
sedikit dari yang korupsi. Akhirnya yang nggak mau diajak korupsi bakal
disingkirin satu per satu. Kalau nggak mau disingkirin, maka pejabat bersih itu mau nggak mau ikutan korupsi juga.
Dan
terus begitu sampai kiamat.
====
Kembali
ke satu hari sebelum pengunduran diri Raka, dia meminta gue untuk meneruskan
kursi kepresidenan mahasiswa yang bakal dia tinggalkan. Lantas gue menolak.
Karena gue pada dasarnya sepaham dengan Raka, otomatis gue juga memilih
lengser.
Sore
itu Raka nanya ke gue,
“Kalau
lo nggak mau nerusin masa masa kepengurusan yang bakal gue tinggalin, lo mau
ngapain setelah ini, Don?”
“Gue
mau jadi satu-satunya playboy yang nggak mainin wanita tapi mainin Twitter.”
Jawab gue datar.
Raka
cuma nyengir.
Itulah
kejadian sederhana dari praktik ngajak-ngajak temen untuk musuhin orang lain.
Di cerita selanjutnya, gue mau cerita kejadian yang langsung gue alami sendiri.
Iya, ketika gue dimusuhin orang-orang karena orang yang gue nggak suka ngajak
temen-temennya untuk musuhin gue.
Bersambung..
from Don Juan
Tags:
The Playboy Stories
1 Komentar
sekarang ini mau jadi orang baik susah ya gan
BalasHapuspasti di jauhin, disingkirin pula
ujung ujungnya ikutan ancur
ditunggu kelanjutannya gan