Memusuhi kok ngajak-ngajak - part 2


Flashback ke masa SMA, gue dibesarkan di lingkungan yang keras. Medannya begitu terjal dan dipenuhi jalan berlubang. Senioritas merajalela. Apalagi waktu kelas 10, setiap hari setelah pulang sekolah, gue selalu dicegat di luar gerbang sekolah. Dipinggirkan dan dibawa ke gang-gang kecil, tempat para kakak-kakak kelas nongkrong. Di moment-moment itulah gue dipertemukan dengan yang namanya, tawuran.

Dari sana gue belajar bahwa orang-orang songong, belagu, banyak gaya, dan banyak bacot, hidupnya nggak akan lama. Ini terbukti saat beberapa teman sekelas gue dan beberapa yang berbeda kelas menjadi bulan-bulanan para senior. Terus gue kasian sama mereka?

Nggak.

Ya, mereka adalah contoh orang yang banyak gaya, belagu, dan sombong. Sifat-sifat seperti ini nampaknya nggak diberi kesempatan menghirup udara segar di sekolah gue. Dan hebatnya, kekompakan antar para senior dalam memusnahkan orang-orang belagu ini, membuat setiap aksi pengeroyokan nggak pernah ketahuan pihak sekolah.

Termasuk ketika gue digebukin sama para senior. Nggak ada yang tahu. Mau ngelapor, besoknya gue digebukin lagi. Ya, gue adalah salah satu dari orang yang memiliki sifat-sifat di atas. Terus gue mengasihani diri sendiri?

Nggak.

Awalnya, gue menganggap bahwa rentetan kejadian ini adalah tindakan premanisme dan pembully-an. Di tengah cenat-cenut memar dan rasa kedut-kedutan jahitan di pelipis, gue anggap ini adalah cara Tuhan untuk mengubah sifat gue. Api dibalas dengan api. Setahun pertama di sekolah itu membuat banyak perubahan dalam diri gue.

Pada tahun kedua, tepatnya kelas 11, gue baru merasakan maksud dari rentetan luka selama di kelas 10. Gue jadi punya banyak teman, terutama dengan para senior. Gue jadi lebih ramah, nada bicara udah nggak naik seperti dulu, dan satu hal yang paling gue syukuri adalah tempramen gue pun menurun. Dulu, ketika dibecandain dan gue nggak suka, pasti langsung ribut. Sekarang ketika dibecandain, suka nggak suka, gue malah ketawa. Entah kenapa, di saat yang bersamaan, gue menjadi lebih disukai oleh banyak orang. Lebih diterima.

Tiga tahun dibesarkan oleh kekerasan yang mengubah, membuat gue membenci sifat-sifat gue yang dulu. Iya, sifat yang dimiliki orang songong, belagu, banyak gaya, dan sombong. Sekarang, ketika ketemu sama orang macem di atas, gue lebih milih menghindar. Gue nggak mau terlibat lebih jauh dengan orang seperti itu. Sederhana, gue nggak mau kembali menjadi orang yang emosian. Karena ngeliat orang model begitu, gue bawaannya pengin ribut.

====

Kembali ke zaman kuliah, menjelang akhir semester tiga, di bangku perkuliahan, gue ketemu lagi sama orang model begini. Orangnya banyak gaya, gaya bicaranya songong, dan hal yang paling memperkeruh suasana adalah.. dia ngondek. Semua persyaratan untuk menjadi target bully, dilengkapi sama dia.

Sebut saja dia, Amir.

Di awal pertemuan, gue berusaha untuk berpikir positif karena gue sadar, gue udah jahat banget nge-judge dia dengan bawa-bawa masa lalu gue ke dalamnya. Saat itu gue juga sadar kalau gue udah subjektif banget.

Semua terasa baik-baik aja sampai gue terlibat pembicaraan dengannya malam itu.

“Don, ikut dugem lah.”

“Aduh, gue mau belajar nih, besok ada test lisan. Lain kali deh, Mir.”

“Halahh, lo mau belajar kayak apa juga, tetep aja IP lo segitu-gitu aja.”

*DHEG!*

“Iya tau dehh yang IP-nya tiga koma.”

“Yaelah, santai aja sih, mending dugem dulu. Rempong luh.”

“Lo ajak yang lain ajalah.”

“Ah cupu lo. Belajar gaul lah sama gue.”

*DHEG!!*

Gue besar di ibukota, gue dibesarin dari SMA tawuran, memar dan luka jahitan sering bersarang di muka. Dan dia bilang gue cupu.

“Mir, bokaplu tu guru SD, minggu lalu kan dia dateng ke sini, lo disuru belajar yang rajin, jangan ngambur-ngamburin duit aja kerjaannya. Lo nggak kasian sama bokaplo?”

Semenjak percakapan kami malam itu, pertemanan kami retak.

Ingnoring each other is the perfect way.

Cuma kalimat itu yang bisa gue ucapin sambil menahan kepalan tangan supaya nggak naik dan memukul. Sampai sekarang gue masih nggak ngerti sama orang yang kebelet gaul dengan menghalalkan segala cara. Selain banyak gaya, high profile, dia ini ngondek. Gue yakin, nggak ada cowok yang nggak emosi ketika dinyolotin sama cowok ngondek. Kalau udah ngondek, mbok yang rendah hati gitu lho.

=====

Beberapa bulan kemudian, gue nggak sengaja dipertemukan dengan seorang cewek di XXI. Adegan dalam cerita ini ini benar-benar sungguh FTV. Ya, waktu itu kami melakukan hal yang sama. Kami sama-sama memegang tiket “The Avengers” dan sama-sama menunggu seseorang di depan pintu masuk studio 2.

Pemutaran film jam 19.45, kami sudah berdiri tepat di depan studio 2 sejak jam 19.20. Kami cuma sibuk dengan telfon masing-masing. Beberapa kali kami terlihat sibuk menghubungi pasangan masing-masing.

Jam 19.35, raut kegelisahan sudah tak mampu lagi kami sembunyikan. Gue terlihat jalan kesana-kemari di depan studio sambil menempelkan telfon di dekat telinga. Cewek itu juga mulai menyibak rambut belah tengahnya, diiringi muka bete gegara batal makan sushi.

Announcement kalau pintu studio 2 telah dibuka, berkumandang. Satu persatu para couple dan anak nonton memasuki studio 2 lalu menyerahkan tiketnya di untuk disobek gitu aja sama mbak-mbak embem. Tapi nggak untuk kami. Kami masih di luar. Sama-sama memandangi layar telfon. Sama-sama berwajah kesel.

Tiba-tiba mbak-mbak embem di depan pintu masuk memanggil gue.

“Mas, itu tiket The Avengers di studio  2 kan?”

“Iya, mbak.”

“Lho, udah mulai filmnya. Itu pacarnya nggak diajak masuk?”

Gue nengok ke cewek itu.

Cewek itu nengok ke gue.

“Bu-bukan mbak, dia bukan pacar saya. Cowok saya nggak seganteng ini.” bales cewek itu.

“Bu-bukan mbak, dia bukan gebetan saya. Gebetan saya nggak se-aduhai ini.” bales gue.

Oh, bukan. Bukan begitu percakapannya, bukan.

Akhirnya kami jadi penonton yang terakhir kali masuk ke studio itu. Dengan muka gondok, gue nonton sendirian. Udah capek-capek gue beliin tiket, eh sang gebetan malah nggak bisa dihubungi menjelang film dimulai. Ya begitulah,  dunia pedekate memang kejam.

Dan.. ternyata seat kami bersebelahan. Ada dua seat kosong di antara kami. Siapa lagi kalau bukan diisi oleh partner nonton kami. Dia sama cowoknya dan gue sama gebetan. Tapi mereka nggak ada. Studio sore itu penuh, namun menyisakan 2 seat kosong yang memisahkan duduk kami.

Saat itu gue ngerti kalau nonton sendirian garing abis, nyet.

Di sela-sela nonton, gue sempetin ngeliat wajah cewek itu. Mukanya bete mampus. Palingan diceng-cengin dikit lagi juga nangis. Makanya gue suka heran aja kalau ada cowok tega mukulin ceweknya sampe nangis, padahal.. cewek diduain atau nggak dikasi kabar dikit aja udah nangis.

Filmnya udah mulai dari tadi, tapi dia masih aja sibuk dengan telfon genggamnya. Sayang sekali, dia punya jemari yang lembut untuk menggenggam sebuah telapak tangan, tapi jemarinya habis digunakan untuk menggenggam henfonnya. Dia bete tingkat dua minggu nggak dibayarin makan sushi.

Terus apa bedanya sama gue, udah nelfon dari pagi dan dijawab iya sama gebetan, udah gue beliin tiket nonton, dan itu hari sabtu (kamu tau sendiri kan kalau harga tiket hari sabtu itu nggak bersahabat), tapi nggak dateng. Mending ngasi kabar, lha ini nggak sama sekali. Ditelfon juga nggak dibales, di-SMS pun nggak diangkat.

Anjis curhat banget, Setan.

Di tengah kegelapan ruangan itu, gue cobak menegurnya.

“Kamu kenapa, pacarmu nggak dateng, ya?”

Dia nengok, “Iya nih, kamu juga?”

“Oh, hehe dia belum pacar, masih pedekate aja sih, hehe.” Gue cengegesan dalam kegelapan.

“Kamu nggak jemput dia?” Bales cewek itu.

“Ngg.. aku nggak tau di mana kosannya.”

“Dasar cowok, biasain sih kalau mau ngajak jalan ya musti tau di mana domisili ceweknya dong.”

Gue diem.

Dalem.

“Ngg.. lha kamu nggak dijemput pacarmu? Kok kamu yg malah nungguin dia di XXI?”

“Aku yang beliin tiketnya, dia nanti nyusul. Tapi malah nggak dateng. Eman-eman kan udah beli 2 tiket gini malah nggak ditonton. Ya, udah nonton sendiri deh.” Bales dia dengan suara terseret-seret.

“Cowokmu kok jahat?”

“Iya, nggak tau kenapa nih.”

Yes, terusin Don terusin.. bikin dia curhat, Don!!

“Kamu mau tau nggak dia ke mana sekarang?”

“Ke mana? SMS ku nggak diangkat, telfonku nggak dibales.”

“Dia lagi main futsal, terus pacar barunya nontonin dia main, ngasi semangat dari luar lapangan.” Bales gue.

“AH NGGAK MUNGKIN!! NGGAK MUNGKIN!!”

“SSSTTTTTT.. WOY JANGAN BERISIK, KAMPRETTT!!!!” Suara dari penonton di belakang gue.

“Nggak mungkin tauk! Kamu nggak usah ngada-ngada gitu deh.” Bales cewek itu sambil pelanin suaranya.

“Yaudah gini, cowokmu hobinya apa cobak?”

“Ma-main futsal.”

“Tuh kan bener.”

“TIDAKKKKKKK..” Cewek itu kembali histeris.

“Terus aku harus gimana cobak??” tanya cewek itu.

“SSST, jangan keras-keras, nanti dimarahin orang belakang lagi.” Gue pindah ke seat sebelah. Sekarang, jarak gue dengannya cuma tinggal 1 seat.

(Pelanin suaranya lagi) “Ya terus aku harus gimana cobak?” tanya cewek itu lagi.

“Kamu samperin tempat dia biasa main futsalnya.”

“A-aku nggak tauuuu. Gimana dongg??”

“Tuh kan bener. Ya gimana kamu bisa tau, dia kan emang sengaja nggak bilang kalau mau main futsal. Soalnya dia bawa cewek lain.”

“KYAAAA TIDAKKKKKK..” Cewek itu menjerit sambil ngerapihin poninya.

“SSSTTT!! Jangan keras-keras, nanti dimarahin lagi sama orang sebelah dan belakang.” Bales gue.

“Ya, aku harus gimanaaaaahhh??” Dia pindah ke seat sebelahnya yang kosong. Dan sekarang, gue sebelah-sebelahan sama dia.

Yes. Strategi gue berhasil.

“Jadi gini, api dibalas api. Selingkuh dibalas selingkuh.” Bales gue pelan.
Dia menatap gue, tercengang.


=====


Setelah kejadian absurd itu, gue dengannya mulain menjalin kedekatan. Ternyata penggalauan massal gue di studio 2 itu bener. Tapi cowoknya nggak selingkuh di lapangan futsal. Cowoknya adalah seorang gamer. Cowoknya selingkuh sama cewek lain yang juga seorang gamer. Anjis, drama banget. Itu cowok biasa bohongin si cewek dengan alasan main futsal. Otomatis si cewek itu nyangka hobi cowoknya adalah main futsal. Hubungan si cewek itu pun kian menjauh. Gue sebagai striker oportunis, tentunya nggak menyia-nyiakan peluang emas ini.

Sebut saja si cewek itu, Marissa.

Selang beberapa minggu kemudian, gue ngajak Marissa nonton Dark Shadow – sebuah film drakula absurd yang diperakan oleh Johny Depp. Berawal dari studio lagi, gue mulai kenal lebih akrab dengan Marissa. Dia agak beda dari cewek-cewek yang gue kenal. Dia unyu. Juga garing. Kalau dia udah kumat, gue sering menyembah kegaringan Marissa. Di sela-sela film berlangsung, mata kami bertemu, terang-terangan menyangkal, namun diam-diam saling ingin memiliki.

Sampai akhirnya kejadian yang nggak diharapkan terjadi.

Marissa adalah termasuk cewek yang nge-gank. Dan seperti yang kita udah tau, di setiap gank cewek-cewek cakep, pasti bakal ada satu atau dua cowok kecewek-cewekan alias ngondek di dalamnya. Entah harus dengan hukum apa  menjelaskannya, pokoknya begitu. Kata orang-orang, cowok kecewek-cewekan alias ngondek ini adalah aset buat ngedeketin salah satu personil gank cewek cakep itu. Kalau bisa deket sama cowok ngondek ini, jalan gue masuk ke gank itu bakal mulus. Gue bakal dapat cewek cakep itu. Impian dapat tercapai. Status jomblo pun sirna.

Tapi sialnya nggak terjadi buat gue.

Cowok ngondek itu adalah Amir.

Dunia selebar daun kelor itu benar adanya.

Lebih sialnya lagi, gue dijelek-jelekin di depan Marissa. Siapa lagi kalau bukan ulah si Amir.

Hari itu gue belajar, dalam sebuah sistem pertemanan cewek kebanyakan, temen-temen dalam gank atau komunitas bersuara lebih nyaring ketimbang suara dari hati sendiri. Seperti pemukiman penduduk yang padat, api kebencian menyebar begitu cepat. Begitulah hidup, cinta berubah menjadi benci hanya dalam hitungan detik.

Marissa lebih mendengar masukan dari teman-teman gank-nya ketimbang kata hatinya sendiri. Konflik personal yang terjadi antara gue dengan Amir terdahulu menjadi bumerang bagi kisah gue hari itu.

Belum. Belum kelar sampai di situ. Temen-temen Marissa di gank-nya, juga ikut memusuhi gue. Padahal, kenal gue juga nggak. Mereka kenal gue cuma lewat Amir. Bermasalah dengan satu orang, malah membuat dijauhi banyak orang.

Dan yang paling menyedihkan, hari itu Marissa berubah total. Mungkin benar, melihatmu berubah adalah cara sederhana menyambut kehilangan.

Inilah yang disebut memusuhi kok ngajak-ngajak..



====

Setelah beberapa kasus di memusuhi kok ngajak-ngajak, gue nggak menyalahkan siapapun, termasuk diri sendiri. Kadang, ada beberapa masalah yang memang datang nggak untuk diselesaikan, tapi hanya datang gitu aja, kemudian menguap lagi. Ampasnya itu disebut pelajaran. Kalau aja gue nggak bermasalah sama Amir, mungkin ceritanya nggak jadi gini.

Amir nggak seratus persen salah. Saat itu gue juga berkaca pada diri sendiri. Harusnya, gue nggak ngebawa-bawa masa lalu gue ke hari itu, ke hari di mana gue ngebanding-bandingin Amir dengan sifat-sifat yang gue benci.

Tapi itulah sebuah ujian. Kita kerjain hari ini, hasilnya baru bisa kita liat di waktu yang akan datang. Dan sering berakhir dengan nilai jelek. Di saat itu juga kita nyesel, kenapa nggak belajar lebih rajin.

Tapi tenang, masih ada remedial..


Jatuh cintalah sekali lagi!


from Don Juan




Share:

0 Komentar