Long Distance Religionship - chapter 7


#7

Sebelum turun, gue sempatkan untuk sedikit lagi menulis di buku diary.  

“Kasih bukan hanya melengkapi kata terima. Tapi ia juga bergenggam erat dengan kata sayang. Saat aku datang, kau beri terima. Saat aku pergi, kau beri sayang. Terima kasih, atas segala kasih sayang.”



            Perjalanan panjang dari kota gue ke kota Dea telah sampai di ujung pemberhentian. Karena gue baru pertama kali ke sini, dan gue juga buta arah, iya-iya, gue juga mengalami keterbelakangan mental dalam pelajaran geografi, alhasil gue bingung. Gue merasa asing di tengah keramaian. Walaupun merasa tersesat, tapi hati berkata inilah jalan menuju pulang.

Ini di mana? Ini tempat apa?

Kok gue ada di sini?!

Pacarnya Raisa siapa?!!

Aku anak siapa?!

MAMAH AKUHH MANA MAMAH AKUHH?!!

AAAKKK.

MAMAHH.. AKU ANAK SIAPA?!!!!!

JANGAN-JANGAN AKU PUTRA YANG TERTUKAR?!!

TERUS AKU DIBESARIN SAMA HAJI SULAM?!!!

TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKK…

Oke, lupakan.

            Jadi, dari bus gue turun pelan-pelan. Pokoknya gue harus turun pakai kaki kiri dulu. Ingat kata kenek angkot kan? Kalau turun dari angkot harus pakai kaki kiri dulu. Pelan-pelan gue turun, secara seksama, dan ternyata.. GUE TURUN PAKAI KAKI KANAN!!

Gue terpukul.

Daripada gue diculik sama mamah-mamah muda, gue langsung buru-buru telfon Iman. Wes biasa, di jaman di mana malam minggu terasa begitu keras karena terasa tak berperikeasmaraan, orang imut seperti gue menjadi rentan. Dikit-dikit merasa khawatir. Dikit-dikit merasa cemas. Dan dikit-dikit bawaannya takut diculik! *kemudian poto pake satu tangan* *manyun-manyunin bibir*

Lupakan.

“Man, gue udah nyampe nih. Lu di mana? Jemput gue di bunderan. Badan gue udah mau patah nih. Cepetan ya!”

“Oke bro, tunggu di situ aja. Ini gue otw.”

Sepuluh menit kemudian, terdengar samar suara memanggil nama gue dari belakang.

“Irfan!”

Gue nengok belakang. Poni gue pun mengikuti pergerakan kepala gue. Mungkin inilah yang disebut polem. Poni lempar.

“Iman?!”

Muka Iman kesabet poni gue.

“Yoi bro.. Salam kenal. Ayo gue anter ke rumah. Biar lu bisa istirahat sekalian. Lagian udah jam 11 malem nih, gue takut diculik. NGGAK AMAN UNTUK ORANG SEIMUT GUE DI SINI.” Bisik Iman sambil megangin mata kanannya yang kelilipin gara-gara kesabet poni gue.

Ternyata Iman sama aja kayak gue.

*kemudian poto manyun berdua sama iman*

Lupakan.

….

….

LUPAKAN!


====


Beberapa menit kemudian, kami sampai di rumahnya Iman. Sebagai mantan personil anak rohis, di depan rumahnya gue sempatkan main rebana. Setelah hal nggak penting tadi selesai gue lakukan, gue membantu mencopot alas kaki Iman.

“Masuk aja Fan. Anggep aja rumah sendiri. Hehehe..” Kata Iman sambil mencopot alas kaki gue.

“Nggak papa nih, Man, gue nginep disini?”

“Nggak, nggak apa-apa. Gue udah bilang ke orang tua gue kok. Santai lah..”

“Oke-oke. Oh ya, gue minjem WC dong. Kebelet nih.”

“Tuh di belakang. Jangan dibawa pulang ya. Kalo minjem itu  dibiasakan untuk ngebalikin.”

Hening.

Adegan yang gue tunggu-tunggu pun terjadi. Iya, adegan tidur. Gue pengin banget rebahan.. pegel-pegel bro. Si Iman ini baik banget. Gue tidur di kamarnya, malah gue yang di ranjang, dia yang di bawah. Si Iman emang senengnya main di bawah. Ya, awalnya sih gue pura-pura sungkan gitu, tapi ya… kapan lagi gue nginep di sini kan ya? 

Semua terasa damai dan nyaman sampai pada akhirnya Iman membuat suasana di kamar jadi mencekam.

“Lo yakin nggak mau gue temenin tidur di kasur?” Yakin?”

Gue pura-pura budek.

Sambil rebahan memandangi langit-langit kamarnya, Iman ngajak ngobrol lagi.

“Fan, lu nekat amat datengin si Dea sendirian gini. Gak takut nyesat lu?” Tanya iman heran.

“Ya.. Kalau masalah tersesat sih, gue udah biasa, Man. Bagaimana tidak, sejak awal ketemu Dea aja gue udah tersesat di dalam tatapannya.”

Iman loncat ke kasur. Mau meluk gue. Untung gue bisa menghindar.

“Widiiihhh..”

“Widih Vierra, Man?

“Itu WIDI.”

“Oiya lupa. Gue pikir Widi Aldiano.”

“Itu VIDI ! Yaelah bro. Eh, lu kok bisa sih jadian sama Dea. Lu nggak mikir tentang agama? Lu nggak seagama kan sama dia?”

“Ya.. Gue sih udah mikir man. Kalo gue jadian sama dia, sama artinya gue buat suatu rencana tentang kehilangan. Tapi gue udah sayang banget man sama dia. Namanya juga sayang. Mau beda agama kek, mau beda pulau kek. Tetep aja gue pacarin man. Lagian, dia juga punya rasa yang sama kek gue, Man.”

“Ohh.. Kok lu bisa suka sama dia sih?” Iman ngepoin gue lagi.

“Dia beda aja dari yang lainnya, Man. Maksudnya, dari cara dia natap mata gue aja beda, Man. Matanya menyala pas natap gue. Tatapannya dalam. Penuh makna. Dalam banyak arti. Ya, emang sih kalo dipikir rada aneh. Tapi ada satu hal yang gue rasain setiap tatapan mata sama dia. Mata kami, berbicara tentang masa depan.”

“…..”

“Man?”

“…..”

“MAN!”

Gue liat ke bawah.

Kampret ni orang. Pertanyaannya gue jawab panjang-panjang, dia malah tidur.

Gue kasmaran sendirian.

Sebelum benar-benar terpejam, gue sempatkan untuk menulis lagi di diary.




            “Lihat? Perjalanan ini melelahkan. Tapi sayangnya aku tak pernah lelah, untuk merindukanmu. Rindu membawa aku ke sini, bersama lelah yang sering kau beri.”

“Malam ini, aku cuma bisa menerka-nerka. Apa yang akan aku lakukan, saat mata kita berpelukan. Saat nafas kita bergenggaman. Aku pikir, aku buat saja sebuah kejutan untukmu. Ingat saat ini, bukan? Saat pertama kali aku memberikan kejutan kecil untukmu hingga sekarang. Tapi tetap saja, yang keluar dari mulut manismu, hanyalah aku yang berupa hambar. Tak pernah memberikan kasih seperti yang kau inginkan.”

         
            Kita tersusun rapi, tapi tak saling mengisi.
            Lambat baru aku sadari, aku kehilangan di suatu sisi.

            Kita tersusun rapi, tapi tak saling mengisi.
            Sejenak aku hayati, kaulah tujuanku mencari.

            Kita tersusun rapi, tapi tak saling mengisi.
            Saat merasa sendiri, rindulah yang membawa aku ke sini.

            Kita tersusun rapi, tapi tak saling mengisi.
            Seperti sajak mati, di paragraf dalam suatu puisi.

            Tapi, pernah kah kau sadari? Tanpamu, kita tak pernah tersusun rapi.
            Aku yang berantakan tanpa arti.
            Belakangan ini, aku mendengar kau telah berpijak kelain hati.
    Buat mulutku mengucap sajak-sajak mati.

Kita tersusun rapi, tapi kali ini kita saling mengisi.
Kau mengisi lain hati, aku mengisi senja-senja sepi.

Ya.
Kita tak pernah tersusun rapi.





From @irfannyhanif feat. Don Juan

Share:

0 Komentar