Long Distance Religionship - part 3
#3
If I am James Dean, will you’ll be my Audrey Hepburn?
“Dari malam hingga malam, pagi hingga pagi. Aku terus
memimpikanmu. Aku terlalu mendambamu. Aku hanya menikmatimu dari kejauhan.
Menikmati dimana aku berada di alam bawah sadar, dan bayanganmu yang
menyadarkan, menyisakan sebuah luka.
Kemana sosok yang kemarin aku lihat?
Aku kehilangan, dan kini aku
merindukan.”
“Beberapa hari kemudian, aku berusaha melupakanmu. Mungkin
kita hanya sebatas hujan. Mampu membasahi, tapi tak mampu memasuki. Mungkin
benar apa yang orang bilang. Kekasih orang, adalah seekor ikan Koi. Dapat
dinikmati keindahannya, tapi tak dapat di makan. Ya. Dia hanya ku dapat
kunikmati dari kejauhan, dengan kedua mataku. Aku mencoba untuk menggapaimu,
tapi tanganku terikat untuk bisa membelai pipimu. Aku terluka.”
Gue waktu itu mulai
menjauhinya karena doi nampaknya begitu menyayangi kekasihnya. Eh tunggu, ada sedikit harapan muncul.
“Di siang hari, lonceng makan pun berbunyi. Aku dengan
tubuhku yang sudah tak semangat lagi ini pergi ke ruang makan. Kulihat dia juga
turun untuk makan siang. Setelah kegiatan makan siang selesai, aku
dapat tugas piket untuk membersihkan ruang makan. Dan hari itu hari rabu, piketku
bersamaan dengan dia, juga sahabatnya. Saat membersihkan ruang makan, ica
mendatangiku dan berkata,
“Kamu sms-an sama dea ya?” (Ya, nama si doi adalah Dea)
“Apa? Enggak ada kok.”
Lalu aku pergi menjauhinya. Aku takut. Aku tidak ingin orang
lain tau tentang aku dan Dea. Aku hanya tidak mau persahabatanku hancur cuma
gara-gara seorang wanita.
Ica menghampiriku lagi, dan berkata..
“Kamu gak usah bohong deh, Dea sendiri yang cerita sama aku.”
“Aku
gak ada sms-an Ica. Aku gak pernah negur dia..”
“Tapi kamu pernah nyimpan rasa kan ke dia!”
“Aku..
Ah sudahlah ca. Aku tak mau mendengar namanya lagi.”
“Yasudah. FYI aja sih. Dia senang waktu kamu sms-in. Dia
senang. Senang sekali.”
….“Ceritakan
lebih tentangnya!”
“Katanya tadi gak mau dengar namanya lagi. Gimana sih?”
“Aku….. Oke. Sore ini kita bicarakan tentang dia di kantin
sekolah. Bisa kan?”
“Nah gitu dong. Oke aku bisa.”
Dan
pada sore hari, gue ketemuan sama Ica di sebuah kantin di sekolah. Untuk
membahas sebuah nama, yang buat gue penasaran tentang perasaanya. Ihik.
“Ca, dia ada cerita apa aja ke kamu?”
“Hmm. Dia itu sebenarnya lagi ‘Dingin-dingin’-an sama
pacarnya. Dia jenuh. Dan dia senang waktu kamu sms-in. dia juga suka sama kamu.
Setiap kali dia menerima sms darimu, dia kesenangan sendiri. Aku juga gatau itu
sms dari siapa. Dan ternyata itu sms dari kamu. Hahaha..”
“Emm. Seriusan ini? Kamu gak
bohongin aku kan?”
“Ya buat apa juga aku bohong? Aku cuma mau kamu, terus
dekatin dia. Aku senang liat dia senang. Dan dia senang saat kamu
menghubunginya.”
“Lalu bagaimana dengan Vino?” (Ini nama samaran. Soalnya
sahabat gue ngebet banget di panggil Vino. Pfft)
“Ya setauku sih, dia orangnya easy going. Yang berlalu ya
biarlah berlalu. Jadi kamu deketin aja si Dea. Lagian hubungannya lagi gak
baik.”
Gayung
bersambut jamban. Gue termakan hidup-hidup oleh omongan si Ica. Ter-ma-kan.
“Oke deh. Aku sms-in dia lagi.. tapi
benarkan, dia juga nyimpan rasa yang sama?”
“Please…
Mau aku bilang berapa kali?”
“Iya-iya..”
Malamnya, aku memberanikan diri
untuk menghubunginya lagi. Aku menyiapkan mental yang kuat kali ini. Seberapa pun hebatnya aku mengerti dan
memahaminya, aku tahu, hatiku tak akan pernah siap untuk patah hati. Aku
menyiapkan diri untuk terluka lagi, jika dia tidak membalas pesan singkatku.
Tapi tuhan berkata lain. Dia membalas pesanku. Pesan balasannya penuh dengan
harapan. Harapan ingin memilikiku. Dia begitu merespon. Aku memecahkan semua
kodenya. Aku menjadi penerima kode yang baik malam itu. Dan dia bahagia. Aku
tau, dia bahagia sekali.
Di sana.
Semangat
gue timbul lagi sejak malam itu. Sebagai
seseorang yang menyelamatkan hubungan mereka yang rusak karena jenuh. In the other words, gue menikung dengan
tujuan yang tepat. Benar-benar tepat.
Aku tidak merusak hubungan orang
lain. Aku hanya menyelamatkannya, dari rasa jenuh..
Hari demi hari berlalu, dan semakin banyak
kali matahari terbit dan tenggelam, semakin aku menerbitkan rasa sayangku
padanya, dan menenggelamkan tentang masa lalu yang kelam bersamanya.
Jika aku hilang ingatan, hal yang pertama
kali aku lupakan adalah kenangan buruk di masa lalu bersamanya.
Aku mulai membayangkan, untuk
memilikinya bukan hanya sebatas pesan singkat. Aku membayangkan, kelak dia akan
terus bersamaku.
Malamku adalah malamnya. Saat aku
berpapasan dengannya, aku merasa seperti De Javu. Oh iya, aku baru ingat. Aku selalu
memimpikannya.
Dan
setelah melalui masa-masa kasmaran ini, tibalah di mana hari dia menjadi milik
gue. Walau belum sepenuhnya, di hari ulang tahunnya Vino.
Sebenarnya gue masih rada berat
nyebut namanya Vino. Iya, Vino Bastian. Mirip helai rambutnya aja kagak. Tapi sebagai tanda maaf karena tengah menikung, gue
sebut deh dia Vino.
Yaudahsih-able banget. Huft.
Vino merencanakan ulang tahun nya dengan
cara gathering terus makan-makan karokean seangkatan. Ya Vino emang orang yang
‘berduit’.
Enak
situ berduit. Lah gue? Ganteng doang. Oke kembali ke diary..
“Hari itu, aku sedang mengetik
perijinan untuk ultahnya Vino. Semua ini kulakukan agar aku bisa berada jarak
yang dekat dengan Dea, dan tak ada satupun yang akan curiga. Dia sekarang tepat
berada di depanku. Sangat dekat sekali. Mungkin sekarang aku sudah sangat dekat
dengan kebahagiaan.
Tanganku menulis tentang perih,
hatiku menulis tentang cinta. Menulis namanya.
Sore itu, koridor sekolah sudah
sepi. Semua sudah pulang ke rebahannya masing-masing. Semua sudah pulang. Matahari
juga ingin pulang. Meminta pangkuan senja. Dan sekarang, tinggal aku dan
dirinya. Aku pun menoleh padanya, memulangkan beberapa kalimat untuknya.
“Aku udah selesai nih, kamu gak
pulang?”
“Ah..
Iya ini pulang kok..”
“Aku anterin ya?”
“Eum..
boleh deh..”
“Tapi aku haus. Kita beli minuman
dulu yuk.”
“Serah
kamu aja, aku ngikut”
Kalo aku bawa ke penghulu, kamu mau ikut?
Heuheuheu. Si doi merespon banget waktu itu. Menaruh harapan yang besar. Sangat
besar.
“Kamu mau minum apa?”
“Aku
gak deh, kamu aja..”
“Beneran nih? Aku bayarin loh..”
“Hehehe..
iya aku gak minum.. kamu aja.”
“Oke deh..”
Akhirnya,
gue beli Kiranti. Ah bukan. Gue beli Indomilk rasa coklat. Sebenarnya, kalo pas
gue tawarin beliin minum, terus dia bilang “mau”, gue bakal beliin dia Aqua gelas dingin 2 biji.
Pffffttt.
Lah, sampai di mana diary gue tadi?
“Setelah selesai minum, aku
mengantarnya pulang ke asrama. Tapi tak sampai tujuan. Aku memisahkan diri
dengannya di lapangan sekolah, agar tidak ada yang curiga. Kami berjalan
beriringan. Sesekali kulihat wajahnya, dia hanya membalas tertunduk dengan malu.
Dan aku pun tersenyum pilu.
“Aku anterin sampe di sini aja ya?
Gak enak sama yg lain”
“Iya
gapapa kok..”
“Hati-hati ya dijalan.. banyak
aspalnya..”
“……….”
“hehe.”
“Daahh..
kamu juga hati-hati ya..”
“Iya aku hati-hati..”
Aku pun
pulang dengan hati-hati. Ya, aku takut terjatuh. Aku takut senyumannya muncul
kapan saja lalu menabrak pandanganku di saat aku lengah. Dan begitu aku
tersadar, aku tengah terkapar.
Keesokan harinya, Ulang Tahun Vino
pun di mulai. Seluruh angkatan kami pergi ke sebuah tempat karaoke. Aku hancur
sekali. Kapal besarku menabrak gunung es. Lalu karam. Aku melihat dia
berpegangan tangan dengan Vino. Tapi tatapan matanya menuju kepadaku. Jemarinya
ada di genggaman yang lain, matanya ada di genggaman mataku.. Aku mencoba
mendekatinya dengan membawa sebuah kamera. Aku mengambil gambar mereka berdua.
Mata Dea tidak menatap pada lensa kamera. Ia menatap mataku. Maafkan aku
sahabatku, wujudmu tak ada lagi di dalam tatapannya.
Setelah dari tempat karaoke, kami
menuju sebuah cafe, dimana aku duduk semeja dengan mereka berdua. Lagi-lagi aku
hancur. Melihat Dea menyuap romantis Vino di hadapanku. Tapi di selah
keromantisannya, dia sering sekali melihatku. Aku menikmatinya. Aku pun
memungut kembali serpihan hati yang tadi hancur. Malam ini semua rasa
bercampur. Aku bingung, harus seperti apa aku lantunkan puisi malam ini.
Dan ternyata, puisi terbentuk
keesokan harinya. Setelah ultahnya selesai, keesokan harinya aku meminta sebuah
pertemuan dengan Dea. Dan dia menyanggupinya. Kami bertemu di sekolah pada sore
hari. Kali ini dia bersama sahabatnya, ya Ica. Kami berjalan bertiga, kemudian
duduk di sebuah koridor. Dan Ica memecahkan keheningan di antara kami.
“Dea, aku ke toilet dulu ya.. Perut
aku sakit”
“Ah?
Iya ca. cepet balik ya..”
Namun, hingga lebih setengah jam,
Ica tak juga kunjung kembali. Suasana menjadi awkward. Aku melihatnya, dan
untuk ke sekian kalinya aku menawarkan pembicaraan ringan.
“Ica mana, ya? Udah setengah jam gak
balik..”
“Iya
nih.. Dari tadi gak balik-balik..”
“Mungkin sengaja kali, biar kita
bisa berduaan. Hehe..”
“ah
kamu. Tapi.. mungkin sih..”
“Gimana kalau kita keliling-keliling
aja dulu?”
“Hemm.. ayok aja..”
Kami pun berbincang hangat. Matanya memeluk
dengan hebat. Seperti menyambut kebahagiaan yang berjalan mendekat.
Kami berkeliling, memutari area
sekolah, tapi hatiku mengelilingi senyumannya.
Apa? Biarkan ‘mengalir’ katamu? Apakah kau tahu, aku telah ‘hanyut’ karenamu.
Kami memutuskan untuk duduk di
sebuah tangga, suasana begitu sepi. Sore itu sangat sejuk, seakan senja tak mau
muncul untuk membuat kami terpisah. Aku duduk tepat di sebelahnya. Sangat
dekat. Aku menatap wajahnya, dan dia hanya tertunduk. Dia tak berani menatap
mataku. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku begitu mencintainya? Aku sangat
menyayanginya. Seakan tak mau senja muncul dan memisahkan aku dengan dirinya.
Aku menatap matanya dalam, dan
berkata..
“De. Kamu lebih milih aku atau
Vino?”
Dia hanya diam. Dia hanya tertunduk,
dia tak menjawab. Dan aku tanyakan lagi..
“De. Kamu lebih sayang sama aku atau
Vino?”
Dia tetap diam.
Dia hanya diam. Aku kecewa sekali.
Aku memalingkan hadapanku, jauh meninggalkan kedua matanya. Dan di dalam
berpalingku, dia memelukku dari belakang dan berkata..
“Aku lebih milih kamu. Aku sayang sama kamu daripada dia..”
Sejenak kami terdiam. Suasana
menjadi begitu hening.. Aku tersentuh. Di dalam pelukannya, aku tertunduk pada
kedua matanya. Aku melihat dia dengan jarak yang sangat dekat. Di dalam
pelukannya, kami bertatapan. Lalu dia menunduk. Aku melihatnya lebih dalam, dan
dia juga melihatku. Kami benar-benar tersesat saat itu. Aku mendekatinya.. pelukannya
semakin erat, dan aku menggenggam erat tangannya. Terasa sekali degub
jantungnya di dadaku. Seakan kami mempunyai jantung yang satu. Yang sama. Sama
seperti rasa di antara kami berdua..
Di dalam sebuah pelukan. Di eratnya gengganman. Di terikatnya
tatapan.
Aku..
Dan..
Kami..
….
We’ve kissed.
- to be continue –
From @Irfannyhanif
Tags:
The Playboy Stories
1 Komentar
wah parah bikin penasaran aja ini cerita
BalasHapus