I'm Friendzoned and I know it - chapter 7


Beberapa hari ini aku sulit tidur. Mungkin karena kenyataan di dunia lebih indah dari bunga tidurku. Sebelum tidur, aku meminta pada-NYA beberapa mimpi indah. Namun tidak ada jawaban. Lalu esok paginya, ketika aku bangun, kulihat ponselku. Ada SMS masuk.

“Selamat pagi,  lelaki yang banyak memberikan waktu dan kehadiran untuk perempuan yang tak tahu harus di mana mengadu. Jangan lupa sarapan, yaa..”

Tadi malam, kuminta pada-NYA beberapa mimpi indah. Namun, ia menjawabnya dengan kenyataan yang indah. Ia menjawabnya lewat Nia. Jika doaku didengar-NYA, ia ingin aku lebih mensyukuri hidup. Jika doaku tidak didengar-NYA, ia ingin aku lebih bersabar. Jika banyak dari doaku tidak juga didengar-NYA, ia punya rencana lain untukku. Di lengahmu, aku memandangimu. Di tengah doa pada Tuhanku, aku memintamu.

Sekarang, aku sedang dalam masalah besar. Harus bagaimana  mengucapkan terima kasih pada-NYA? Terima kasih secara sederhana? Atau lewat puisi? Sajak? kepada-NYA aku tersenyum.

Pesan sederhana yang-imbasnya-tidak-sederhana itu, menjelma layaknya mood booster di Senin pagi ini. Mungkin benar, orang yang jatuh cinta adalah orang yang tak pernah luput memberikan perhatian-perhatian kecil. Kelak, perhatian-perhatian kecil itulah yang membuat kangen. Aku ingin membangun rumah cinta yang besar bersamanya. Hari ini, aku belajar membangun fondasinya. Perhatian-perhatian kecil.

Membaca pesan sederhananya, lantas tak juga membuatku puas. Ia membangunkan seorang raksasa dari tidur panjangnya. Sekarang, raksasa itu haus. Ingin melepas dahaga dengan suaranya. Aku pun menelponnya. Belum tiga kali aku mendengarkan nada dering, panggilanku sudah dijawabnya.

“Terima kasih ya, kamu sudah membangunkanku.”

“Iya, aku kira kamu masih tidur, Don.”

“Ah, tidak. Sebenarnya aku terjaga sepanjang malam. Mungkin tubuhku merindukan pelukan kasur lebih lama lagi.”

“Lho, kamu begadang semalaman, Downy?”

“Sebenarnya sih, iya.”

“Kenapa?”

“Kemarin, aku terlalu banyak dihidangkan senyumanmu. Kepalaku adalah sebuah kamar, poster senyuman-senyumanmu tertempel di setiap sudut ruangan.”

“DOWNNYY.....”

“Kamu adalah kafein. Hatiku dibuatnya begadang hingga pagi menjelang.”

“DOWWNNYYYY.......”

“Nia, aku bukan pelembut pakaian.”

“Kamu ini.. sehari tak membuatku senyum-senyum sendiri, bisa?

“HEHEHEHE.”

“Ahihi.”

“Nia, aku mandi dulu ya. Aku ada kuliah pagi. Kamu tutup ya teleponnya.”

“Ahh, Downy saja yang tutup yaa..”

“Ahh, kamu sajalah yang menutupnya..”

“Ah, kamu saja.”

“Ah, kamu saja deh..”

“Downy.. kita tutup sama-sama ya..”

“Emm, oke, kita tutup sama-sama ya, Niaa..”

*Aku dan dirinya bicara bersamaan* “Satu.. Dua.. Tiga..”

...........

...........

“Ishhh, Downyyyy, teleponnya belumm ditutup..”

“Hehehe, iya yaa.. Kok belum ditutup ya teleponnya..”

“Aaahhh, Downy.. tutup gihh.”

“Iya-iya, aku tutup deh yaa. Dadaaaahh..”

..........

..........

..........

“Ini belum mati loh teleponnya, Downnyy..”

“Ya, ampun, Nia.. Tombol untuk mematikan teleponnya hilang entah kemana.”

“Ahhh, Downyy..”

“Ahhh, Niaa..”

Akhirnya baterai teleponku habis. Teleponnya mati. Pembicaraan kami usai. Aku terlambat kuliah. Aku kasmaran. Kemudian turun hujan. Aku benci hujan. Aku takut hujan turun menggenang. Satu per satu bayangnya muncul dalam tenang. Meminta untuk dikenang.

Aku kasmaran.

Cinta memang berlebihan. Ia sering berkamuflase di balik kata Sederhana. Cinta memang berlebihan. Ia sering muncul sebagai oase di tengah gurun Sahara. Cinta memang berlebihan. Mengangkat yang berkekurangan. Menerbangkan yang sudah berkelimpahan.

Cinta memang berlebihan.

Siangnya, aku menelponnya kembali. Aku ingin mengajaknya pergi saat siang dengan malam berpapasan. Saat senja. Dulu, ia pernah membicarakan tentang sisha. Ia suka sisha. Entah kenapa. Mungkin, sisha adalah bagian dari kenangan-kenangannya bersama Sakti. Entahlah. Maka dari itu, aku menelponnya untuk mengajaknya menghisap sisha di suatu tempat terbuka, langsung menatap atap dunia. Di suatu tempat seperti saung, menghembuskan asap sisha dengan kebersamaan paling raung. Sayup-sayup terdengar suara cinta begitu gaung. Suara aku dengan dirinya.

Ia tentu mengiyakan ajakanku. Ia ingin aku menjemputnya tepat setelah senja. Di saat senja tidak terlalu terang, dan tidak begitu gelap. Aku kembali menunggu di depan pintu gerbangnya. Kali ini tidak terbengkalai. Aku tidak sempat melihat angin menerbangkan temannya, dedaunan. Rambut hitam panjangnya kembali ia gerai. Kaosnya hitam. Jaketnya hitam. Jeans-nya hitam. Aku seperti diantarnya ke pemakaman. Aku berencana memakamkan kenangan-kenangannya di masa lalu. Mereinkarnasi harapannya ke hidup yang baru. Senja ini, kami berdua sangat bersinar. Ia bersinar dalam balutan hitam, aku bersinar---bersyukur dengan mata berbinar. Aku membukakan pintu gerbangnya, menyambut jemari ibunya untuk kudaratkan di keningku. Meminta izin untuk membahagiakan anaknya.

Saat duduk di atas motor, ia pun tak seperti dulu. Jika waktu pertama kali ia duduk dengan GAP yang cukup jauh antara punggungku dengan dadanya, sekarang tidak. Ia tidak lagi menjauh. Tangannya yang dulu memegang besi bagian belakang, sekarang tidak. Sesekali ia berani meletakkan lengannya di bahuku. Sedikit di pinggangku. Dan sedikit kusangka akan memelukku. Ah, nyaris saja.

Tidak lama kemudian, kami sampai di tempat yang telah kami sepakati sebelumnya. Saat itu pukul tujuh. Langit sudah terbilang cukup gelap untuk membuat kami menerka-nerka, membuat kami menunjuk-nunjuk, di mana letak bintangnya. Kami memesan seperangkat sisha, rasa anggur. Kami memilih tempat yang seperti saung, dan duduk lesehan. Mengepuskan asap sisha ke langit. Kami berdua memesan pancake. Ia suka pancake durian. Aku pancake coklat. Aku belum pernah mencicipi pancake durian. Aku berharap kalimat, “Kamu mau, Don?” terucap keluar melewati bibirnya. Aku ingin pancake duriannya. Ingin sekali. Mulutku membutuhkannya.

Ah, malam itu kurang beruntung. Kalimat yang kunanti tak kunjung datang. Rencananya, di saat ia lengah, akan aku rampas sepiring pancake-nya. Di saat-saat menanti kelengahannya, malah kalimat ini yang keluar melewati bibirnya.

“Downny, coba deh. Enak lohh..” Dia mengantarkan sesendok potongan pancake lengkap beserta sausnya ke mulutku.

Aku pasrah.

Akhirnya pancake durian itu berakhir di genggaman mulutku. Manis sekali.

“Manis yaa.” Aku mengucapkannya sesambil memandangi bibir Nia.

“Enak kann.. mau lagi?”

“Iya, mau.” Aku mengucapkannya sesambil memandangi bibir Nia.

“Ini..”

“Manis yaa.”

“Gimana? Mau lagi..”

“Iya, mau.”

“Hummph, beli sendiri yaa, Downyy..”

“Manis yaa..”

“Loh, kok manis sih? Ishh, gimana sih?

“EH, IYA APA TADI ? EMM, EUHH, TADI KAMU BILANG APA?”

“Isshh, kamu lagi melihat apa, sih?”

Saat itu kedua mataku tertuju pada bibirnya. Persetan dengan pancake-pancake ini. Persetan. Nia lebih manis dari yang aku bayangkan. Sudah sedekat ini. Aku tersesat dalam tatapannya. Terkulai lemah di depan senyumannya. Membujur kaku di dekat bibirnya. Matilah sudah.

“Eh Nia, apa tidak jadi masalah jika kamu pergi kemana-mana bersamaku seperti ini?”

“Masalah? Lho, memangnya kenapa?”

“Kamu bisa bertengkar dengannya, jika ia melihatmu bersamaku seperti ini?”

“Siapa? Sakti?”

“Iya, Nia. Sakti.”

Ia kembali muram.

“Sudahlah, coba ceritakan padaku tentangnya, Nia.”

Dengan muram, ia menceritakan awal pertemuannya dengan Sakti. Ia bertemu Sakti lewat Facebook. Bukan sebuah rahasia lagi jika seseorang bisa menjatuhkan cintanya lewat jejaring sosial, seperti Facebook. Aku juga pernah melakukannya. Tidak hanya sekali. Jika kamu punya waktu, datanglah sesekali menyekar di kuburan hatiku. Banyak para mendiang kenangan dimakamkan di sana.

Keisengan yang dibuat mereka di awal cerita, berakhir serius. Mulai terpercik api-api cinta di tiap kalimat yang berbenturan di kedua mata mereka. Cinta yang timbul dan muncul via aksara di Facebook itu berujung dengan pertukaran nomor telepon. Saat itu, mereka tidak hanya dipertemukan lewat untaian aksara. Setiap aksara adalah lisan yang dibaca. Setiap lisan adalah aksara yang didengar.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan akhirnya genap setahun. Nia mengutarakannya dengan suara pelan. “Kami belum pernah bertemu.” Ia hanya mencintai Sakti dari sebuah telepon selular. Ia hanya menerka-nerka, berimajinasi, dan berfantasi tentang Sakti dari profil picture Facebook-nya. Aku hanya diam dengan membiarkan pikiranku menganga lebar. Bagaimana mungkin cinta hadir di situasi seperti itu. Sepertinya benar. Cinta datang, menjelang, dan berkumandang, bahkan di tempat-tempat tergelap yang tidak pernah kita sadari.

Aku tetap termangu. Mendekatkan tatapanku. Juga badanku. Ke setiap pembicaraannya.

Nia sering sekali meminta Sakti untuk datang ke kotanya. Ia ingin mengetahui apakah Sakti semanis di dunia maya mereka. Namun, Sakti selalu berhasil membuat harapan-harapan semu. Membuatnya terus menunggu. Tanpa jemu. Tak menentu. Menyeretnya ke curahan-curahan hati yang tak pernah terungkap. Saat itu, aku berhasil mengungkapnya. Aku memberikan kehadiran. Memberikan dada terlapang. Bahu paling tegar. Aku berniat memakamkan Sakti, menguburnya dalam-dalam. Kemudian, membangkitkannya lagi dalam bentuk aku.

“Kenapa bukan kamu yang menghampirinya, Nia?”

“Apa? Kalau dia cinta aku, harusnya dia yang berinisiatif menemuiku, Don.”

“Humm, iya ya. Apa kamu masih mencintainya?”

“Entahlah. Aku bingung bagaimana menceritakannya, Don.”

“Lantas bagaimana kelangsungan hubungan kalian? Apa masih sehangat dulu?”

“Entahlah.”

“Hmmm, aku mau kok membantu kamu menemukan kembali kehangatan bersama Sakti.”

“Maksudnya?”

“Sini, aku pinjam teleponmu. Akan kutelepon Sakti. Akan kubujuk agar lekas menemuimu.”

“Lho, jangan! Buat apa, Don?”

“Kupikir, siluet muram di wajahmu akan pergi jika kalian sudah bertemu.”

“Tapi, Don.. Kenapa kamu ingin aku kembali ke Sakti?”

“Kalau dengan itu bisa membuatmu tersenyum, tentu akan kulakukan.”


“Andai saja Sakti itu sepertimu..”






...Ini salah satu kalimat yang kutunggu-tunggu. Menikung tahap pertama, sepertinya membuahkan hasil.


--To be continue--


From Don Juan





Share:

0 Komentar