I'm Friendzoned and i know it - chapter 6
Konon, ada sebuah kisah
puitis dari sepasang kekasih. Mereka tak pernah bersengketa. Mereka tak pernah
berseteru. Mereka tak pernah berdebat. Mereka tak pernah menyakiti satu sama
lain. Begitu membaca kisah mereka, aku sangat tertarik untuk menyibak kisah
mereka sampai di halaman terakhir. Apakah rahasia perihal keharmonisan hubungan
mereka?
Di akhir halaman kutemukan jawaban
yang tak memuaskan.
Ya, mereka sudah tak pernah berbicara lagi satu sama lain.
Akhirnya, dengan rasa
yang tak terpuaskan ini, aku menarik
kesimpulan. Mustahil aku dengan dirinya tak bersengketa. Mustahil aku dengan
dirinya tak berseteru. Mustahil aku dengan dirinya tak berdebat satu sama lain.
Dan selama aku masih berbicara dengan dirinya, mustahil aku tidak jatuh cinta
dengannya. Berarti akan selalu ada masalah selama aku terus berbicara dengan
dirinya. Dengan berbicara kita bisa bertengkar. Dengan berbicara kita bisa
menyelesaikan masalah. Mungkin benar, kita
tak diciptakan untuk saling membaca pikiran. Untuk itulah kita harus bicara.
Cinta adalah sebilah
pedang bermata dua. Semakin dibicarakan semakin membuat kangen. Semakin diingat
semakin membuat sakit. Begitulah yang terjadi di antara aku dengan dirinya.
Semakin intens pertemuan dan canda tawa yang terukir di senyuman, semakin terpampang
jelas rasa kangen yang dibuatnya. Namun semakin diingat, seperti ingin
mencabuti belati-belati yang menancap di ulu hati. Luka ini luka sederhana, sesederhana pembicaraan hangat kita, namun
semuanya tentang dia.
Sekarang hari Jumat. Besok
hari Sabtu. Besok, Sabtu pagi, Nia akan diwisuda. Ia diwisuda dari Akademi
Kebidanan. Jumat malamnya, aku sibuk menguntai kata untuk mengucap selamat
padanya. Jika sedang jatuh cinta, memberi ucapan selamat akan membutuhkan waktu
lebih lama dari biasanya. Jika aku memberi ucapan sederhana, lantas aku tak ada
bedanya aku dengan lelaki yang datang dan pergi di kehidupannya. Jika aku
memberi ucapan dengan euforia, sudah tentu aku tak bisa melakukannya. Aku belum
pernah merasakan euforia sebenarnya diwisuda. Jika aku mengucapkannya dengan
puisi, aku tahu ia tak suka puisi. Tapi satu hal yang harus ia sadari, ia
adalah penyair terhebat di tiap bait perih dan patah hati ini. Ia penyiar, aku penyair. Ia siarkan cinta di
tiap bait syair-syairku.
Paginya, setelah embun
telah jatuh dari dedaunan, pukul enam, aku mengirimkan satu pesan singkat.
Akhirnya aku memutuskan untuk memberinya ucapan selamat sederhana. Sampai pukul
enam lewat empat puluh menit, tak ada tanda-tanda kehidupan di ponselku. Ucapan
selamatku padanya tak berbalas. Nampaknya, aku telah salah dalam memberinya
ucapan sederhana. Harusnya aku memberi ucapan dengan euforia. Sepertinya aku
akan bernasib sama seperti lelaki-lelaki yang datang dan pergi di kehidupannya.
Pikirku, ah sudahlah. Aku
lebih baik mandi dan segera beranjak ke kampus. Ada kuliah pada pukul tujuh
lewat tiga puluh menit. Dengan nyawa yang belum lengkap terkumpul, aku menelusuri
lidah dari ujung sampai pangkalnya. Bermain di antar gusi dan gigi. Semenjak kehadirannya,
menggosok gigi tak pernah selama ini.
Di tengah kekhusukan
menggosok gigi, ponselku berbunyi. Lagu Butiran Debu begitu memekak
pendengaran. Ketika mendengarnya, aku seperti terjatuh dan tak bisa bangkit
lagi. Dengan terhuyung-huyung, aku merangkak dari kamar mandi menuju kamarku.
Mencari tahu siapa gerangan yang menghubungiku.
Kutatap nanar layar
ponselku. Ada tiga panggilan tak terjawab. Aku merasa bersalah. Harusnya
namanya terpampang di hatiku, bukan di panggilan tak terjawab ponselku. Maafkan
aku, Nia. Aku lekas membalas panggilan tak terjawabnya. Belum sempat kuraih
tombol call di ponselku, Nia kembali melakukan panggilan. Kali ini jemariku
berada di posisi yang tepat, di dekat tombol menjawab panggilan
.
“Iya, Halo, Nia. Maaf, tadi aku
sedang di kamar mandi. Eumm, selamat wisuda ya. Sukses selalu.”
“Donnn, aku butuh kamu!”
“Apa?! Itu tidak mungkin. Kebutuhanmu akanku tak pernah melebihi
kebutuhanku akanmu!” Ya, tentu saja itu tak keluar dari mulutku. “Kamu
butuh apa, Nia?”
“Kumohon, datanglah ke wisudaku.
Sakti tak jadi datang. Padahal kemarin pagi ia berjanji akan datang dan berniat
mengabadikan fotoku di moment yang cuma sekali ini! Aku kecewa sekali..”
Suaranya pelan. Seperti berusaha
menyembunyikan rasa tertekan. Seperti ingin mengucap perpisahan pada kenangan.
Kulihat jam, ini pukul
enam lewat lima puluh satu menit. Aku ada kuliah pukul tujuh lewat tiga puluh
menit. Ini lagi-lagi sebuah polemik. Kuliah pagi ini termasuk kuliah paling
sulit yang pernah aku temukan di kampus ini. Mata kuliah ini juga yang membuat
perbincanganku dengan IPK menjadi tidak menarik. Aku harus menjelaskan dengan
berat hati kepada Nia. Kali ini aku tidak bisa. Semoga ia mau mengerti.
“Oke, aku bisa. Acara wisudamu jam
berapa?” Jawabku mantap.
“Jam tujuh lewat tiga puluh menit,
Don. Kamu berangkat sekarang, ya.”
Aku tersedak. Sikat gigi yang masih
ada di mulutku terpelanting jauh sekali.
“A-apa?! Tempat wisudamu itu bukan
jarak yang dekat dari sini, Nia. Motorku tidak dirancang untuk melaju di atas
tiga ratus kilometer per jam!”
“Makanya, berangkat sekarang ya, Don.
Pakailah baju yang rapi, seperti yang kamu sering kenakan saat menjemputku
pergi.”
Iya, aku memang selalu
berpakaian rapi saat bertemu dengannya. Bahkan, sisir kecil selalu siaga satu
di saku celana, atau tas kecilku. Ibuku memang selalu mengajarkan cara
berpakaian rapi sejak tinggiku tidak lebih dari satu meter. Sejak kecil aku
sudah terbiasa mengenakan kemeja. Bahkan pernah, di sebuah pertemuan acara
keluarga, ibuku memakaikanku kemeja lengkap beserta dasinya. Alhasil, di pertemuan
keluarga itu, tubuh mungilku menjadi sasaran empuk untuk dipeluk para wanita
dewasa. Aku berpindah dari gendongan satu ke gendongan lainnya. Bahkan ketika
aku berada dalam gendongan seseorang wanita, ibuku datang dan menyisir kembali
rambutku yang telah bergeser sedikit dari orbitnya. Aku cuma bisa pasrah.
“O-oke, baiklah. Jika itu bisa
membuatmu tersenyum, aku akan berangkat ke sana sekarang.”
“Terimakasih, Don. Entahlah, aku seperti merasa kamu selalu ada
untukku.”
Kututup panggilannya.
Kuambil ancang-ancang, lalu berlari menuju kamar mandi. Nyawaku yang setiap
bangun pagi selalu terlambat berkumpul, kali ini mereka bersatu untuk satu
tujuan. Saat itu, di tengah deras kucuran shower, aku merasa bertenaga. Tanpa
dahaga. Cinta tanpa sebab itu yang menjadi biang keroknya.
Sekarang pukul tujuh lewat
tiga puluh delapan menit. Baru kali ini aku terlambat dalam pertemuan yang
jamnya telah disepakati sebelumnya. Aku telah sampai di sebuah gedung, besar,
megah, dan tentu ramai sekali. Banyak ibu-ibu yang memakai kebaya di sana.
Mereka mengantarkan anaknya. Tentu sangat sulit menemukan Nia di tengah
kerumunan seperti ini. Ada beberapa orang yang menjajakan bunga untuk hiasan
dan kiasan di acara wisuda. Aku beli beberapa tangkai. Yang warnanya paling
merah, mawar berduri.
Sambil membawa beberapa
tangkai mawar berduri, aku menghubunginya. Aku menyampaikan bukti kehadiranku
di acara wisudanya. Ia menjawab dengan penuh euforia. Aku diminta untuk bertemu
dengan kedua orang tuanya di luar ruangan.
AH, TIDAK!
Aku selalu gugup ketika
berhadapan dengan orang tua kekasih. Oh, maaf, kali ini orang tua calon
kekasih. Dulu, aku punya banyak kenangan perih dan pedih saat bertemu dengan
orang tua kekasih. Tentu saja, perbedaan agama yang menjadi salah satu biang
keladinya. Aku diberi sebuah pesan oleh ayahnya dengan gaya bahasa dan
pengucapan berbeda. Kalau diterjemahkan, aku diminta meninggalkan anaknya tanpa
ampun. Tanpa alasan. Tanpa penyesalan. Lalu bagaimana rasanya? Semenjak itu,
aku sadar bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar patah hati.
“Selamat pagi, Om, Tante, saya Don
Juan, temannya Nia.” Aku bergegas salim pada kedua orang tua Nia.
Mereka berdua melihatku dengan
tatapan sedikit heran. Seperti ada yang salah dari penampilanku hari ini. Aku
sudah mengenakan kemeja. Arlojiku sudah melingkar di pergelangan kiriku.
Rambutku sudah tegak berdiri menantang tanpa gemetar. Belum sempat aku temukan
bagian yang salah dari penampilanku, aku dikejutkan oleh suara berbisik Ibu
Nia.
“Wah, teman Nia yang yang ini tampan
lho, Pak.” Bisik Ibu Nia ke Ayah Nia.
“Hah, apa Bu?” Aku berpura-pura tuli.
“Oh tak apa-apa. Mas Don Juan bisa
menggunakan DSLR?” Tanya Ibu Nia.
“Oh, emm, eumm, bisa kok, Tante.”
Balasku canggung.
“Ini, kamera DSLR untuk memotret Nia
wisuda ya.”
Aku pun menerimanya. Aku
dipersilahkan masuk ke dalam ruangan. Sebelum aku bisa bertemu dengan Nia, aku
harus mengikuti prosesi acara wisuda secara keseluruhan. Hari ini aku melakukan
apa yang Sakti tak mampu berikan. Aku memberikan waktu dan kehadiran. Yang
lebih membuatku bersitegang dengan perasaan, aku duduk ditengah Ayah dan Ibu
Nia. Aku ditengah-tengahnya. Aku diapit mereka. Betul dugaanku, mereka
bertanya-tanya seputar kedekatan hubunganku dengan Nia. Sudah berapa lama.
Sudah seserius apa. Aku diam membisu. Bibirku membeku. Aku dianggap seperti
kekasih Nia. Aku mau berlari keluar ruangan. Namun tak kulakukan.
Di tengah prosesi wisuda,
aku diam tertegun memandangi DSLR ini. Bagaimana cara menggunakannya. Lensanya
panjang seperti senapan laras panjang. Tombolnya banyak seperti dashboard pesawat. Aku bidik ke segala
arah layaknya fotografer professional. Ketidaktahuanku akan dunia fotografi
berkamuflase dengan gayaku dalam membidik gambar. Aku harus bisa menggunakan
kamera ini untuk mengabadikan gambar Nia. Setelah itu aku akan mengabadikan
dirinya menggunakan lensa yang lain. Lensa hatiku.
Empat jam sudah aku duduk
dengan kondisi perut dihajar rasa lapar dan duduk diapit kedua orang tua Nia.
Kalau bukan cinta yang menjadi bahan bakarnya, tentu aku sudah terkapar dan
dilarikan ke posyandu terdekat. Akhirnya acara wisuda telah selesai. Banyak
para wisudawan yang dibalut kain hitam toga berfoto-foto. Beberapa ada yang
memakai selendang kebesaran cumlaude. Snack
siang pun datang. Saat menikmati rasa laparku ditelan makanan, tiba-tiba ada
yang menepuk bahuku. Aku memalingkan badan. Aku berhenti mengunyah makanan.
Nia cantik sekali. Aku ingin
memeluknya. Namun tak kulakukan.
Siang itu aku menangkap
tubuhnya, senyumannya, dan semuanya yang indah dari dirinya lewat DSLR
miliknya. Entah, gambar dirinya yang aku potret selalu dibilang bagus oleh
kedua orang tuanya. Firasatku, Nia ini fotogenic sekali. Mungkin foto yang
paling bagus adalah foto saat ia terjatuh pasrah di dalam pelukanku. Mungkin. Kelak.
Suatu hari nanti.
“Dik, itu lho kamu foto bareng
Mas-nya.” Ibunya menyuruh Nia untuk berfoto denganku.
“Don, ayo fotooo..”
“Eum, baiklah.”
Pergelangannya merangkul
pergelanganku. Aku hanya berjarak beberapa inchi darinya. Banyak dari mereka
yang merasa tak tahu harus mencari kebahagiaan di mana. Kali ini, aku hanya
berjarak beberapa inchi dari kebahagiaan. Aku tak pernah sedekat ini
sebelumnya. Tak pernah. Seperti kapal besar yang jenuh diombang-ambingkan di tengah
laut, kemudian merapat di dermaga. Tubuhnya merapat ke pelukanku. Aku dermaganya.
“Wah, dik. Cocok kamu sama Mas-nya.”
Ayah Nia menyambar. Tubuh kami yang tadinya merapat, tanpa isyarat segera
menjauh kembali. Kapal besarnya telah melaut lagi. Menjauh dari dermaga. Kami hanya
tersipu malu.
Lalu aku meminta Ayah Nia
untuk bersedia memotret kami menggunakan kamera ponselku. Empat foto dengan
empat gaya berbeda menghiasi camera-roll
ponselku. Aku senang sekali. Karena dirasa sudah cukup, Nia dan keluarganya
berniat pulang. Rona bahagia terpampang jelas di seluruh wajah mereka. Sewaktu berjalan
ke tempat parkir, pergelangan Nia masih terus memeluk pergelangan tanganku. Itu
terjadi begitu saja. Jauh sebelum hatiku meminta kehadiran hatinya, jemariku
sudah terlebih dahulu meminta digenggam oleh jemarinya.
Nia senang. Hatiku tenang.
Malamnya, sesambil
terkulai di rebahan tempat tidurku, aku memandangi foto-fotoku dengan Nia. Cuma
senyum yang bisa aku hasilkan. Kini, aku
bertafakur dalam indahnya bersyukur, saat tersadar pada cintamu aku jatuh
tersungkur.
To be continue..
From Don
Juan
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar