I'm Friendzoned and I know it - chapter 4
Aku melihat sesuatu yang
benar-benar aku rindukan. Seperti kerinduan tanah-tanah gersang yang retak dan
menanti untuk dibasuh hujan. Bak sungai kering di musim kemarau yang merindukan
air mengaliri tubuhnya. Aku layaknya seseorang yang berumur panjang, dapat
melihat banyak hal indah di dunia ini, seperti keindahan yang aku lihat
sekarang.
Aku melihatnya lagi..
Sudah dua minggu ini aku
tak bersua dengannya. Aku sudah sering latihan di Gym ketimbang jogging di sore
hari. Dan benar dugaanku, aku seperti merasa akan bertemu dengannya lagi, tidak
hanya ketika jogging sore hari itu. Ia berjalan memunggungiku masuk ke dalam
ruangan Gym, tentu ia tak melihatku. Aku yang baru sampai di pintu masuk pun
bergegas masuk ke dalam.
“Hei kamu, juga fitness di sini ya?”
Aku mencoba menyapanya.
“Eh, tak kusangka kita akan berjumpa
di sini ya. Kamu sudah lama latihan di sini?” Balasnya.
“Umm, aku baru seminggu ini latihan.
Kamu?”
“Aku baru dua bulan sih. Hehehe.” Ia
tersenyum-senyum.
Ia pun naik ke atas
tridmil dan berlari-lari kecil. Melihat ada satu lagi tridmil yang kosong tak
terpakai di sampingnya, tentu tak kusia-siakan begitu saja. Kuletakkan
ranselku, kupakai sepatuku, kuikat kencang, dan aku pun naik ke atas
tridmil. Dan kini aku berlari-lari kecil
tepat di sampingnya lagi, seperti ketika sore-sore yang pernah aku lalui
bersamanya.
Di atas tridmil yang
berjalan, kami hanya diam. Sesekali menengok ke samping. Ketika aku menatapnya,
ia melihat lurus ke depan. Ketika ia menatapku, aku yang melihat lurus ke
depan. Kami memang diam, namun mata kami berbincang hebat. Di sela-sela ketersesatanku
saat memandanginya, aku terus bergumam. “Aku
seperti tak mampu berhenti memandangimu, seolah-olah Tuhan memberikan kedua
mata ini khusus untuk menikmati keindahanmu di berbagai jarak.”
Lima belas menit sudah,
berpeluh namun tak berpeluk, aku dengan dirinya berlari-lari di atas tridmil.
Tak sepatah kata pun terlontar. Hanya ada tatapan yang bertubi-tubi dan
sesekali senyum muncul tanpa disadari. Sebenarnya,
ketika kau tersenyum padaku, aku menerka-nerka, seberapa dekat aku dengan
kebahagiaan..
Siang ini, aku memang
hanya ingin tridmil sebentar lalu pulang. Tapi itu hanya sebatas wacana,
pertemuan dengannya dan saling bersedekap senyum sambil berpeluh-peluh di atas
tridmil, mengurungkan niatku untuk lekas pulang.
“Biasanya, kamu latihan sampai berapa
jam?”
Akhirnya ia mengentaskan keheningan.
Sesambil menyeka bulir-bulir keringat di keningnya, ia membuka pembicaraan.
Ketika aku mengajaknya bicara, aku seperti berdoa. Ketika ia yang mengajakku
bicara, aku seperti bermimpi.
Ingin sekali kubalas tanyanya seperti
ini. “Aku tak akan pulang sampai kamu mau menjadikan hatimu sebagai rumah
kepulanganku.”
..Dan tentu saja itu tak kulakukan.
“Oh, tak tentu sih. Tapi biasanya
satu setengah jam adalah yang paling lama. Kalau kamu?” Akhirnya hanya itu balasku padanya.
“Hmm, sepertinya sama. Aku juga
sepertimu.”
“Kamu kan sudah langsing, apa lagi
yang kamu cari di sini?”
“Hehehe, ini masih gendut kok.”
Balasnya sambil menembem-nembemkan pipinya.
AH! Aku ingin sekali merebahkan diri
di pipinya. Dan tentu saja tak kulakukan.
“Kalau yang sepertimu ini disebut
gendut, lalu harus dengan sebutan apa orang-orang memanggilku?”
“Ahh, kamu tidak gendut.
Kamu cuma bersahabat baik dengan lemak.” Katanya.
Kalimat pertama darinya
seperti menerbangkanku, namun di kalimat kedua, ia menghempaskanku keras-keras
menghujam batu jalanan. Dan sekarang aku terluka parah.
“Ah.. kamu bisa saja.”
Dan untuk
kesekian kalinya, kami bertukar senyum. Sebenarnya, ada banyak doa dan harapan
di sela-sela ketersesatanku dalam senyumannya. Olahraga ringan yang rencananya
aku prediksi hanya berlangsung tiga puluh menit ini, tak berjalan sesuai
rencana. Tak terasa, canda dan tawa kami melebur dalam debur, tersemat dan
melumat. Berjalannya waktu tak sempat mengusik kebersamaan kami. Saat itu ia
adalah sebuah senyuman yang memeluk, aku adalah jarum jam yang berhenti
berputar. Aneh memang, bagaimana caranya membuang-buang waktu, jika saat-saat bersamanya
jarum jam berhenti berputar?
Sekarang sudah
sore, ia harus pulang. Dan setelah dipertemukan dengannya, aku seperti tak
punya alasan untuk pulang. Ia rumahku. Tempat merebahkan letih, tatih, asa, dan
rasa. Pembicaraan berjam-jam kami seputar
aku-kamu-memandang-dan-kemudian-tersenyum tadi pun harus usai. Ia pun bergegas
pulang meninggalkanku. Aku melihat tubuhnya pelan-pelan mengecil, sepasang
mataku mencium punggungnya yang nyaris hilang di depan bibir pintu ruangan.
Sebelum ia benar-benar menghilang keluar dari pintu ruangan,
“Hey, aku belum tahu
namamu. Namamu siapa?” Seruku.
Ia
menghentikan langkahnya, tak jadi hilang di balik pintu ruangan. Sambil
tersenyum, dengan senyumnya yang menyesatkan pandangan, ia membalikkan
tubuhnya.
“Nia.”
“Senang, bisa bertemu
denganmu di sini.”
“Iya, kapan-kapan kita
bertemu lagi ya.” Balasnya.
Ia pun
menghilang di balik pintu ruangan. Namun, senyumannya yang kugenggam dengan sepasang
mataku ini tak lantas hilang. Kedua mataku seperti lensa kamera DLSR
tercanggih, dapat mengabadikan momen-momen indah dengan cepat. Senyumnya,
misalnya.
Dengan hati dipenuhi
hamparan kerlap-kerlip bintang, aku pun juga bergegas pulang.
Percuma jatuh cinta jika
yang kau cari adalah bangunnya.
Dan kini, aku begitu
menikmati keterjatuhanku dalam cinta untuknya.
Kita sebatas imajinasi, kurangkai nanar pada intuisi, hingga
akhirnya kita saling mengisi dalam kalimat yang mereka sebut ..puisi.
-- to be continue—
From Don Juan
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar