I'm Friendzoned and i know it - chapter 5

Dan jelas, malamnya aku tak bisa tidur. Aku sudah berkali-kali merebahkan dan memaksa tubuh ini untuk beristirahat, tidak terus terjaga. Namun hatiku berencana lain, ia memilih untuk terjaga. Senyumannya seperti cafein, membuat hatiku terus terjaga hingga matahari terbit. Aku bergelimang rindu.

Hanya siluet senyuman dan hasil rekaman wajahnya yang ada di pikiranku. Iya, hanya itu yang aku punya sekarang. Aku bahkan tak tahu harus menghubunginya lagi ke mana. Kuseduh saja kopi pekat di bawah hitam malam yang melekat, seperti kerinduan yang sudah dekat, namun diutarakan pun tak sempat. Namun aku yakin, esok hari mataku akan kedapatan mencium punggungnya lagi. Tidak untuk melihatnya berpaling, tapi untuk melihatnya berbalik untuk menghampiriku.

Aku dengannya pun semakin sering berpapasan, bertatap, dan berpeluk senyum. Namun walau begitu, aku selalu rindu saat kali pertama aku dipertemukan dengannya. Seperti ada jutaan gengsi yang sulit dijelaskan.

Sudah nyaris sebulan aku seperti ini dengannya. Aku hanya berkomunikasi dengannya menggunakan rasa. Mungkin benar, kerinduan adalah bahasa yang universal. Tidak bias disamar hujan, tidak hilang dipisah pulau, dan tidak lekang disurut waktu. Walau begitu, kerinduan juga sering salah komunikasi. Aku sedang merindukannya dan dia tidak, misalnya.

Pertemuan yang semakin intens antara diriku dengan dirinya di pusat kebugaran itu, membawa cerita ini ke level berikutnya. Bahkan sudah sampai di tingkat seperti ini aku tak kunjung mendapatkan nomor teleponnya. Sampai pada akhirnya, kesabaranku habis. Kerinduanku sudah berada di puncak kangen tertinggi. Ketika dia berpeluh-peluh berlari di atas tridmil, aku datang menghampirinya  dengan menawarkannya sebuah pembicaraan.

“Hai Nia, apa ada yang sedang mengantre?”

“Oh, tidak ada. Setelah aku, kamu bisa pakai tridmil ini.”

“Oh, aku tidak sedang bertanya tentang tridmil, aku bertanya tentangmu.”

“Ah! Kamu ngegombal!” dia hanya tersenyum-senyum.

“Lho, aku sedang tidak ngegombal.”

“Jadi, kalimatmu barusan bukan gombal?

“Bukan. Itu bukan gombal. Itu kamu yang sedang menanggapiku dengan romantis.”
Ia pun seketika mempelankan laju tridmil-nya. Iya, pelan sekali.

“Umm, Don, kamu mau membicarakan apa sebenarnya?”

“Malam ini aku punya acara menonton Resident Evil Retribution. Would you join me?”

“Umm, bagaimana yaa..”

“Jika kau tak ingin, kencangkan lagi laju tridmil-mu. Jika kau ingin, maka turunlah dari tridmil itu, dan sambutlah aku.”


...Ia pun turun dari tridmil itu.

Entah mengapa, selalu saja ada adegan di dalam sebuah bioskop di tiap ceritaku. Aku memang suka menonton. Dan mungkin, adegan yang paling aku suka adalah adegan di mana kamu berdebat hebat dengan kekasihmu. Di saat yang bersamaan, aku banyak merapal doa dan mantra untuk ketidakberlangsungan hubungan kalian.

Saat itu siang hari, hampir menuju pukul 15.00. Kami memutuskan untuk pulang dari pusat kebugaran itu. Film yang diputar di bioskop yang rencananya nanti kami sambangi, diputar pukul 18.30. Sembari menuju jalan pulang, Nia aku buntuti dari belakang. Aku harus tahu di mana ia tinggal, dan di mana ia melangkah pulang. Karena ia adalah rumah tempatku pulang, tempat di mana bahagiaku didulang, tempat di mana kenangan-kenangan kembali terulang.

Bagaimanapun juga, aku adalah lelaki yang selalu datang tidak tepat waktu. Aku selalu datang jauh-jauh dari jam yang telah ditentukan. Tepat di jam 17.27 aku sudah sampai di depan pekarangan rumahnya. Aku memberikan banyak isyarat perihal kedatanganku sore itu. Banyak yang telah kulakukan. Dari menekan tombol bel di pagarnya, mengucapkan kata “permisi” dengan lantunan suara yang syahdu, sampai memanggil-manggil nama “Nia” dengan nada penuh haru. Ini semua jelas kulakukan karena sampai detik-detik itu aku belum memiliki nomor ponselnya.

Hanya detak jarum jam yang menunjukkan berlalunya detik, yang menemaniku sore itu. Angin-angin sore memberitahuku bahwa ini akan segera beranjak malam. Ia pun pergi begitu saja sesambil menerbangkan dedaunan kering. Dan terus begitu, kulihat jam telah menunjukkan 18.12. Aku terbengkalai. Seperti menggelandang di depan pintu hati yang tak kunjung dibuka. Jika kerinduanku diibaratkan seorang bocah, dan dibiarkan sendiri di luar rumah, mungkin ia sudah menggigil kedinginan.

“Mahh, aku pergi dulu ya. Sama teman kok.”  Dari dalam rumah, suara Nia telah terdengar.

Penantianku di depan pekarangan rumahnya telah usai. Dan sekarang, waktunya penantian cintaku di depan pintu hatinya yang tengah dimulai. Rambutnya terurai panjang, seperti mengkilat memantulkan cahaya lampu taman. Senyumannya, lekuk tubuhnya, semua-semua dari dirinya. Aku seperti menemukan sesuatu yang menerangi hari selain matahari dan bulan. Bagiku, ia biasa saja. Namun, ketika yang lain nampak luar biasa, yang biasa yang kuingin. Mungkin benar, ia adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bahkan belum aku temukan..

“Maaf ya Don, sampai membuatmu lama menunggu..”

“Ah, tidak. Aku bahkan sudah bersiap menunggumu sampai separuh usia.”

“Uhh, aku masuk lagi ke dalam ya, Don..”

“.....”
Rumahnya memang dekat sekali dengan letak bioskop yang kami sambangi. Seperti aku yang tak pernah sedekat ini denganya. Kami semotor, namun belum tentu sehati. Dengan baru berangkat pada pukul 18.15 pun, kami  tak perlu khawatir jika bisa terlambat.

Setelah selesai menonton film, kami tak lekas pulang. Seperti mereka kebanyakan yang pergi menonton bersama calon kekasih, kekasih, maupun kekasih orang lain, setelah menonton, kami berencana untuk makan malam. Nia adalah perempuan yang sangat menjaga pola makannya. Ada banyak makanan di dunia ini yang dia tak akan mau sentuh. Seperti makanan berminyak, makanan tinggi karbohidrat, dan tentu saja makanan berlemak. Jika ia punya musuh, sudah pasti musuh abadinya adalah timbangan dan meteran celana. Oh iya, cermin juga seteru abadinya.

Melihat pola makannya yang seperti itu, tidaklah heran jika ia digolongkan sebagai perempuan dengan lekuk tubuh mengkhawatirkan. Aku tentu sangat khawatir mata ini terlalu dimanjakan dengan pemandangan indah. Memandanginya, misalnya. Aku hanya berharap hatinya tidak memiliki “pola makan” yang sama seperti perutnya. 

Akhirnya kami memutuskan untuk makan di sebuah tempat yang menyajikan makanan-makanan yang tak digoreng menggunakan minyak, nyaris tak berkarbohidrat, dan tentu saja jauh-jauh dari lemak. Sepertinya, ia LDR bersama makanan berlemak. Bertemu setahun sekali saja belum dapat dipastikan. Dan seperti yang sudah aku perkirakan jauh-jauh di alam bawah sadar, dia memesan makanannya yang begitu qualified di pencernaannya.

Salad.

Aku bukan seorang lelaki yang memilih-milih makanan. Aku bukan lelaki yang pemilih-milih. Apapun aku makan, selama itu bukan salad. Dia memilih tumpukan-tumpukan dedaunan dan buah-buahan yang dibalur dengan mayonnaise. Aku juga memilih tumpukan-tumpukan dedauan dan telur yang dibalur dengan saus kacang. Nia tertawa ketika aku menyebut salad yang diberi saus kacang tidaklah lain, dan tidaklah bukan adalah gado-gado.

Sembari menyantap dedaunannya, Nia bercerita banyak hal. Ia adalah mahasiswi Akademi Kebidanan yang dua minggu lagi akan diwisuda. Dan tentu saja, ketika ia menanyakan perihal kelulusanku, aku selalu mengalihkan topik pembicaraan. Ia bertanya apa kesibukanku sekarang, dan aku jawab.. “Jangan tawarkan aku kesibukan lain selain mencintaimu” padanya. Baru sampai di ujung lidah, kalimat di atas aku telan kembali. Aku jawab kalau aku sedang sibuk menulis. Aku tak pernah pandai menulis. Aku bahkan tak punya background di bidang menulis. Tapi aku tahu, aku tak pernah tahu sampai di mana kemampuanku jika tak pernah mencobanya. Sama seperti cinta, kadang kita tak butuh pandai dalam mengerti cinta, tak harus perlu mengerti dulu perihal cinta. Namun ketika kita mencobanya, kita akan mengerti apa itu perih dan perihal cinta.

Nia hanya tertegun dan melihat dalam-dalam pada kedua mataku. Mungkin bertanya-tanya apa yang ada di pikiranku. Dan ini giliranku kembali untuk membuatnya bercerita. Sebenarnya membicarakan kekasih di saat seperti ini adalah sebuah pedang bermata dua. Jika aku mengetahui dia sedang merajut kasih dengan yang lain, aku akan patah hati di tempat. Jika aku mendapatkannya tidak dalam pelukan siapa-siapa, aku akan membusungkan dada untuk memberikan dada terlapang , dan bahu paling tegar, yang bisa ia jadikan tempat bersandar di kala duka maupun duka.

Ia bercerita kalau ia memang sedang merajut kasih. Ia Long Distance Relationship. Ia hanya berkomunikasi via suara dan kata-kata. Kekasihnya bernama Sakti. Ia berlokasi di Bandung dan bekerja di sana. Ketika kutanya kapan kekasihnya kembali ke pelukannya, ia hanya diam. Ketika kutanya kapan terakhir kalian bertemu, ia juga terdiam. Ketika kutanya kapan terakhir kali kalian makan malam bersama seperti aku dengan dirinya, ia juga masih diam. Ia diam dalam keramaian. Ia diam-diam mengingat akan kenangan bersama Sakti.

Ia sedang merajut Long Distance Reunian. Bahkan ia tak ingat kapan terakhir kali bertemu.

Ia sedang dilanda Lelah Dijamah Rindu. Bahkan ia tak ingat lagi manis-manisnya cinta

Ia Luka Dalam Risalah. Ia dipeluk bisu. Ia lelah menunggu. Ia membisu ketika menunggu.

Tak kukira harus menjadi seperti ini. Aku tak dihadapkan pada pedang bermata dua. Dada terlapang dan bahu paling tegar yang telah aku persiapkan, kusimpan rapi kembali. Ia tertangkap mata dan telinga sedang merajut kasih dengan yang lain. Harusnya yang aku tulis di sini adalah adegan di mana aku akan patah hati. Tapi melihat raut kesedihan yang terpampang jelas ketika aku mencoba menguak kisah cintanya, aku harusnya menyiapkan kembali dada terlapang dan bahu paling tegar untuknya.

Dia meminta maaf padaku perihal kesedihannya yang tiba-tiba. Dia tidak bermaksud untuk merusak mood kencan kami malam itu. Melihat kondisinya yang seperti ini, jalan keluar paling aman adalah tertawa. Lantas kuceritakan saja tentang dunia perkuliahanku. Kisah-kisah cinta absurdku dengan para terdahulu yang banyak orang akrab menyebutnya dengan ‘mantan’. Ia terpingkal-pingkal mendengarkanku menceritakan kisah antara aku dengan Gaby. Ia juga tertawa lepas mendengar ceritaku tentang kasus-kasus PHP yang aku alami. Batinku, semoga ia juga akan tertawa membaca tulisanku ini.

“Sudah Don, sudah! Aku sampai mau menangis terlalu banyak tertawa hari ini..” Ia memotong ceritaku di tengah-tengah cerita.

“Kamu lucu ih. Sepertinya, kamu tahu benar cara membuat perempuan tertawa ya.” Ia menambahkannya lagi.

“Ah, tidak kok. Kamu saja yang senang dibuat tertawa.” Balasku.

“Perempuan yang bisa menjadi pacarmu tentu senang ya.. Dekat bersamamu pasti dijauhkan dari kesedihan..”

Malam itu, aku mendengar sebuah kalimat yang menentramkan. Aku tak peduli apakah itu hanya untuk menyenangkan perasaan, atau keluar dari dasar hati terdalam. Kencan kami malam itu seperti sebuah orkestrasi musik. Ia lagunya, aku musiknya, dan cinta adalah dirigennya.

Oleh asmara aku dibuat kasmaran.

Malaikat maut pun bingung harus bagaimana mencabut nyawa seseorang yang tengah kasmaran. Lalu ia meninggalkanku begitu saja, mengira aku akan mati dengan sendirinya. Aku tak mengada-ngada, ketika berbincang denganmu, seolah-olah Tuhan hanya menciptakan satu suara di hidup ini. Dan itu suaramu..




--- to be continue ---


From Don Juan



Share:

0 Komentar