Long Disappointed Religionship - chapter 1



#1


One doesn’t simply, menjalin hubungan jarak jauh, terkoyak oleh perbedaan keyakinan yang begitu menyulitkan. Ya, begitu mungkin yang pernah gue alami. Gue jatuh cinta sama seseorang yang beda keyakinan sama gue. Entah apa yang salah dari gue waktu itu.

Tapi menurut gue, cinta tak pernah benar-benar salah, jika hanya dilandasi perbedaan keyakinan.

            Waktu itu, gue masih duduk di kelas satu SMA. SMA gue boarding school, jadi tempat tinggal gue adalah asrama. Di asrama ini banyak terjadi kisah absurd.  Entah dari kekonyolan, kebersamaan, dan kisah percintaan (dengan asrama putri tentunya).

Udah ah, jangan ngomongin asrama. Entar dia besar kepala, terus ngeliat gue, terus kepikiran, terus jatuh cinta, terus gue mesti gimana? Gue bergejolak dalam polemik.

Suka sih sama asrama.. cuma sampe sekarang belum berani nembak aja.. Ya biasalah.. namanya juga anak muda..

            Karena kehidupan sehari-hari terjadi di asrama, jadi setiap kegiatan juga dilakukan sama-sama. Dari makan sama-sama, pergi ke sekolah sama-sama, nyuci sama-sama, hingga pada waktu itu ada yang sempet boker sama-sama. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata itu kucing.

Aku boleh bilang ‘hufft’?

Yak, semua dilakukan sama-sama. Jadi yang jomblo hidupnya mesti tentram nih di Asrama.. Dan karena semua di lakukan nyaris selalu bersama, tak pernah menutup kemungkinan hati ini untuk jatuh cinta. Sebab cinta itu bisa karena terbiasa..

Ganteng-ganteng gini, gue juga suka nulis diary. Dan.. inilah kisah-kisah yang gue tulis dengan hati membiru, di hamparan kertas pilu, dan kugores keras-keras menggunakan tinta yang mengiris kalbu.


Dear diary,

            “ Hari ini seperti hari biasanya, tak ada yang benar-benar spesial. Rutinitas yang melelahkan di tiap hari hanya membuatku semakin tak berniat untuk melangkahkan telapak kaki ini ke lantai sekolah. Tak terasa, jarum jam, detak, sekaligus detiknya, telah menunjukan pukul 7.00 pagi. Aku masih berada di asrama…”



            Rada heran kan pukul 7.00 masih di asrama? Ya, karena jarak sekolah gue dengan asrama bisa di tempuh cukup menggunakan bonus bicara setiap mengisi ulang pulsa di ponsel anda.
Lima menit saja..
Ya, kalau mau naik awan kinton sih, bisa lebih cepat. Sayang, ngetem-nya lama. 




“…aku pun berangkat menuju sekolah dengan lesu. Ada ribuan tanyaku pada diri sendiri, mengapa hari ini terasa lelah sekali. Tak ada yang tahu pasti sudah berapa jumlah butir keringatku yang dengan sia-sa terjatuh dimakan gravitasi. Dalam perjalanan menuju ruang kelas, aku berpapasan dengan seorang perempuan. Entah, seperti ada sesuatu yang berbeda sesaat-sebelum-dan-bahkan-setelah aku berpapasan dengannya. Dalam diam, perlahan kulihat parasnya. Dari kejauhan, mataku mencium aroma kemunculannya. Dan Ia pergi melewati bayanganku..”

 “Kami saling berpapasan, tapi tak saling sapa. Seperti dua ekor angsa yang saling melewati satu sama lain, tapi tak pernah mau membuka sayapnya untuk saling berkemuka.”

“.. Kami pun saling berpapasan, melewati satu sama lain, tanpa ada satu gerik yang tergerak. Awalnya semua terasa biasa saja, langkah demi langkah kami saling mengkayuh, detak demi detik kami saling menjauh. Setelah beberapa langkah menjauhi bayangannya, ada sesuatu yang aneh. Hati ini seolah-olah berkata, “Berpalinglah, lihatlah dia dari kejauhan..”. Aku pun bingung dengan hati ini, ada apa gerangan. Apa yang telah memaksanya hingga menyuruhku untuk berpaling. Karena penasaran dan ingin menemukan jawabnya, aku pun berpaling dan melihatnya dari kejauhan. Aku temukan jawabannya..


..Dia juga melakukan hal yang sama.


Dan dari situ pula aku mengetahui, kalau ada sesuatu yang dapat dimulai untuk diceritakan. Sesuatu yang begitu menggugurkan perasaan. Yaitu, cerita cinta.”




Tissue mana tissue.
Popcorn mana popcorn.
Tiker mana tiker.
Kira-kira begitulah asal-muasal gue bertemu dengan si doi. Sekilas tapi membekas. Secarik tapi menarik.
Oke, sampai di mana diary gue tadi?




“…Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Tubuh ini tetap lelah, tapi entah-apalah-itu, seperti ada sesuatu yang buat aku lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah hari ini. Mungkin karena aku tahu, kalau cerita cinta ini sedang membuka alinea-nya, dan perlahan mulai berparagraf.

Namun hingga jam sekolah hari ini habis, aku tak juga berjumpa dengannya. Ke mana dia sosok yang membuat aku bersemangat untuk pergi ke sekolah hari ini? Ke mana dia yang kemarin buat aku terbias karena bayangnya? Namun hingga perjalanan pulang, aku tak juga menemukan jawabnya. Siapa gerangan dirinya..

Ah sudahlah.. Mungkin belum sekarang aku memperjelas siluet wajahnya.
Jarum jam menunjukan pukul 14.30, dan jam sekolah siang pun dimulai.”




Keren kagak sekolah gue? Ada jam siang nya, men. Dan kalo udah mendekati ujian nasional, ada sekolah malamnya juga! Dari situ gue berasumsi, kalau para pihak sekolah ini adalah alien. Belum cukup sampai di situ, mungkin akan diadakan sekolah jam SUBUH. IYA, SUBUH. Jadi gue sekolah lengkap dengan mengalungkan sarung di leher. Terus keliling sekolah, ngeronda.

Gak, banget.

Hiiii..




            “.. aku pun bergegas pergi ke sekolah, dengan wajah penuh peluh bermandikan terik matahari. Semangatku benar-benar hilang siang ini. Aku berjalan melewati koridor sekolah, menuju kantin sekolah. Mungkin dengan membeli minuman yang segar dan membasuh kerongkongan gersang ini dapat memulihkan semangatku. Dan ternyata benar. Sebelum sampai di kantin, terlihat sosoknya dari kejauhan. Kali ini dia tidak sendirian, dia bersama teman dekatnya. Terlihat sekali dari jauh canda-tawa mereka. Aku pun mendekati seolah-olah tak menghiraukan. Kami berpapasan, dan kemudian sahabatnya berkata “Ehem!” lalu aku berpaling dan melihat wajahnya, ternyata dia tersipu malu..”
           


Dan sebagai penangkap kode yang baik, gue pun tau, kalau dia juga, menaruh sebuah rasa yang sama.. ciyeeeee gueee ciyee… ihik.



            “… Senyum kecilnya begitu merona. Seperti ada harapan yang bercerita. Dan hati ini pun ikut bersua. Kalimat ‘Ehem’ siang tadi benar-benar memperjelas ribuan pertanyaan hati ini. Aku pun membayangkan, kalau namanya, akan menggenggam dan berjalan mengiringi cerita ini.”

            “Bila di ibaratkan, kau adalah tanda titik dan aku adalah tanda koma. Kita berbaris sejajar, saling melengkapi kata membentuk kalimat, hingga membentuk sebuah barisan yang indah, yang kita sebut.. Paragraf”

            “.. Aku hanya bisa tersenyum dengan kejadian hari ini. Dan sampai saat ini, aku tak pernah melupakan sedikitpun tentangnya. Mungkin karena dia begitu jelas terbayang, atau aku yang terlalu mengenangnya secara mendetail.

Entahlah..

Setidaknya aku telah melihat dengan jelas senyum kecilnya ketika berpapasan denganku.

Senja pun berganti malam. Dan hingga larut, aku belum juga bisa tertidur karena kejadian hari ini. Aku ingin sekali datang ke tempat tidurnya, dan memburu malamnya, agar dia bisa bermimpi, tanpa tertidur.
Dan dari malam itu aku tahu satu alasan mengapa semuanya berbeda.
Aku sedang jatuh cinta.”





Now Playing: Scene Four – Don’t you ever forget about me.


To be continue.





From @irfannyhanif

Share:

0 Komentar