Long Dissapointed Religionship - part 2
#2
Satu hal yang selalu
memaksaku untuk berharap. Yaitu rindu.
“Dari hari
itu, aku merasakan bayanganya terus menghantui. Perlahan tapi pasti merasuki
mimpi. Dan sekarang telah beranak-pinak di hati. Ya. Aku merindunya. Entah
mengapa dari hari itu aku begitu berbeda. Malamku tak lagi gelap. Siangku tak
lagi mendung. Mungkin ini yang mereka sebut dengan Jatuh Cinta..”
“Saatku
melihatnya pertama kali, aku bertanya. Saat bertemu kedua kali, aku meminta.
Saatku menjumpai terakhir kali, aku terluka. Aku jatuh cinta.”
“Terluka. Iya terluka. Aku
mencintainya dan sekarang aku terluka. Karena ku tahu, dia telah memiliki
seseorang, yang tidak lain dan tidak bukan adalah.. sahabatku sendiri.”
Iya.. mau gimana lagi kan?
Namanya juga jatuh cinta.
Apa? Iya. Ini gue pencet
tombolnya.
Don Juan Skill: Actived.
“Waktu itu
aku benar-benar tak tahu kalau dia sedang menjalin hubungan dengan sahabatku
sendiri. Posisiku sungguh tanggung. Perasaan ini tak kuasa untuk dibendung. Entah
aku harus terus, atau mundur. Tapi aku benar-benar menginginkannya. Dan karena
aku lebih memikirkan sahabatku, aku memilih mundur.
Dari kejauhan aku berkata pada bayangan, selamat tinggal
harapan.
Ketukan hujan di genting. Jatuh di kepalaku. Membentuk
genangan. Berupa kenangan.
Hari demi
hari pun berlalu. Tanpa di sadar bayangannya pun terkikis waktu. Saat di
sekolah, aku sering melihatnya dari kejauhan. Terkadang kami bertatap muka,
tapi tak saling sapa. Entah mengapa dia selalu menunjukan paras, bahwa dia
menginginkanku. Lalu aku berdiam lama di kepiluan.
Mengapa aku begitu
merindunya?
Mengapa aku harus jatuh cinta pada pacar sahabatku sendiri?
Sesekali kuberanikan
diri melihatnya dari dekat, namun dia tak menghiraukanku. Aku berpikir, tidak
ada salahnya aku menghubunginya, dan pelan menenangkan raungan hatiku ini.”
Dengan membaca Bismillah,
kupinang kau dengan Hamdallah.
Eaa..
Gue penasaran banget
dengan doi waktu itu. Dari pada tersiksa dalam keraguan, gue coba minta nomer
hapenya dari sahabatnya yang waktu itu jalan dengannya. Pengennya sih minta
nomer pager. Tapi berhubung udah gak
pake pager, jadi gue minta nomer undian
aja. Eh, dia malah ngasi nomer rumah. Nggak mau kalah, gue kasi aja nomer
sepatu. Eh, dia balas ngasi nomer ujian. Karna kesal dengan kisah absurd ini,
gue bales lagi dengan ngasi nomer satu.
Iya, dia nomer satu di
hati gue.
Oke sorry, sampe di mana
tadi diary gue, ya?
“Aku telah
mendapatkan cara menghubunginya. Namun, aku belum berani untuk memulai
perbincangan duluan. Kutatap lagi dia dari kejauhan, lalu ku lihat lagi
sahabatku. Lalu ku lihat lagi dia.. hal itu kulakukan sampai aku yakin untuk
menghubunginya. Pikirku, tidak ada salahnya jika hanya ingin berkenalan. Dan
aku melihatnya lagi, dan tersenyum..
Tekadku
bulat. Aku akan menghubunginya di kala senja berganti malam. Di saat lelah menjemput
tubuhnya, di saat aku pelan meletakkan kecup di keningnya.
Di malam
hari, aku masih tak bisa tidur. Aku gelisah. Serasa ada yang mengganjal di hati.
Sesekali aku membayangkannya ada di sampingku malam ini. Aku mencium aroma
parfumnya. Dan hingga sekarang aku masih mengingat jelas aroma parfumnya waktu
itu. Aku tersenyum sendiri, membayangkan dia juga tersenyum kepadaku. Lalu ku
lihat handphone ku, mungkin aku harus menghubunginya sekarang.”
“Hey..”
“Iya?
Ini siapa ya?”
“Ini aku. Irfan..”
“Ah..
ada apa ya fan?”
“Kamu kenal aku?”
“Kenal.
Hehe..”
“Kamu tau aku darimana?”
“Tau
aja... emm.. aku tidur dulu ya.. udah malem nih.. bye..”
tut.. tut.. tut..
“Tapi kan aku belum… ah. Ya.. bye..”
“Aku
terdiam. Aku tak menyangka aku menghubunginya. Tapi dari mana dia tau namaku?
Sedangkan aku tak tahu namanya? Rasa penasaran lagi-lagi menyelimutiku. Aku
berpelukan dengan gelapnya malam. Memikirkan sesuatu hal yang tak aku tau
jawabnya. Membayangkan hatiku adalah langit malam, dan ia bintang yang menyala
di sana. Banyak sekali.
Apakah ia juga memikirkanku?
Aku akhirnya tidur. Meninggalkan sejuta tanya di
kepala. Kemudian hanyut begitu saja.
Beberapa hari kemudian, aku sudah berani
menghubunginya. Dan semakin hari, pepesanan di antara kami semakin intens. Ia adalah
tanah subur. Aku adalah benih unggul. Aku ingin tumbuh romantis di sana. Tapi
aku juga tahu, bahwa aku menempatkan diriku dalam masalah yang besar. Dengan
sahabatku.
Hari demi hari pun menjadi seminggu. Tapi ada yang
aneh tepat saat satu minggu kami berhubungan melalui pesan singkat. Bahkan ini
sudah bukan pesan singkat lagi. Ia tidak membalas pesanku lagi. Aku coba
mengirimi dia pesan lagi, dan tetap tidak dibalas olehnya. Aku berpikir,
mungkin seharusnya aku tidak terlalu berharap padanya. Ternyata ia berubah, ia
mungkin memilih pasangannya sekarang dibandingkan dengan diriku. Aku pun mulai
cemas dengan semua ini. Aku tidak tumbuh subur di sana.
Keesokan harinya, kulihat dia berjalan dari kantin
menuju ruang kelas. Aku pun bergegas melintasi jalur yang sama namun berlawanan
arah. Agar kami bisa berpapasan. Dari jauh kulihat dia, hingga mendekat dan
jatuh melewati kedua mataku. Dari jarak beberapa meter, aku berpaling. Mataku tak
lagi mencium tubuhnya yang berpaling. Dan benar ternyata. ia berubah.
Ia tak lagi berpaling untuk melihatku.
Apakah aku tak membuatmu kagum lagi?
Apakah kita masih dua ekor angsa?
Di beberapa jarak dari bayanganmu, aku terdiam dari
kenanganmu.
Dari sini kusadari, aku jatuh merindu. aku terluka.
Karena aku telah kehilangannya..”
Ya berat memang untuk menaruh hati kepada orang yang
sudah menaruh hati kepada orang lain. Dan kita hanya bisa menyaksikan.
“Ketahuilah. Saat kehilanganmu, aku masih juga takut kehilanganmu.”
“Di malam hari, aku terus memikirkannya. Aku merasa, aku
begitu merindunya. Maaf sayang, malam ini rinduku tumpah ruah. Maaf jika sampai
mengotori bajumu.”
“You can miss someone who died. You can miss someone
who moved away. But the worst is, when you miss someone you see everyday..”
To be continued..
from @Irfannyhanif
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar