I'm Friendzoned and I know it - chapter 2


Kuikat tali sepatuku, kuregangkan otot-otot tungkai kakiku, lalu aku berjalan pelan. Lima menit berselang, kukencangkan laju langkahku, dan akhirnya aku berlari. Begitu seterusnya sampai terengah-engah aku dibuatnya.

Kubuka hatiku, kupercayakan harapan-harapan itu, lalu aku mulai memahaminya perlahan. Lima minggu berselang, kupercepat laju perasaanku, dan akhirnya, aku jatuh cinta. Begitu seterusnya sampai terkangen-kangen aku dibuatnya.

Oh, ternyata jogging dengan jatuh cinta memiliki kesamaan ritme.

Oh.

Aku sudah dua minggu ini rutin membuat lemak-lemak jahat kebakaran jenggot. Namun entah, belum ada perbincangan menarik antara aku dengan timbangan. Kadang, aku ingin seperti berat badan, tak pernah luput kamu perhatikan.

Motivasi untuk menjadikan tubuh ini layaknya The next American Captain, mulai luntur. Ah, selalu begini. Rutinitas memang selalu membosankan. Maka dari itu aku tak mencintaimu sebagai rutinitas.

Jika aku tak konsisten, Sani tak akan mau membuka rahasia mengapa biceps-nya membengkak menjadi seperti itu. 

Tapi itu tidak lama, di minggu ketiga, mendadak semangatku berkobar kembali. Aku kembali jogging di sore hari. Iya, aku bertemu dengan seorang perempuan sore. Bulir keringat yang menuruni keningnya, dan ia seka menggunakan handuk kecilnya, mencabik-cabik kegetiran.

Aku pandangi ia dari kejauhan. Kuikuti tiap langkah kakinya dari belakang. Sambil berlari-lari kecil di belakangnya, aku sejenak memendam heran. Bagaimana perempuan se-aduhai ini, baik dari paras maupun lekuk tubuhnya, sampai berpeluh-peluh jogging seperti ini.

Apa ia tak mensyukuri apa yang ia punya sehingga ia ingin lebih seksi dari ini?

Apa ia tak memikirkan bagaimana jadinya aku jika melihatnya lebih seksi dari ini?

Sambil berfantasi yang tidak-tidak, aku tetap berlari-lari kecil sembari menyeka mimisan.

Esoknya, sore harinya, aku dengan semangat membabibuta kembali bergegas untuk jogging. Aku seperti punya motif lain selain memahat lekuk tubuh.  Aku juga ingin memahat hatiku dengan namanya. Seperti biasa, ia hanya lewat begitu saja. Tatapannya tak pernah singgah ke retina mataku. Ia seperti dingin di tengah keramaian. Mengeringkan keringatku.

Setelah sekian lama aku berlari-lari pelan di belakangnya, aku sesekali ingin menyapanya. Mengapa ia selalu jogging sendirian. Iya, aku ingin sekali.

“Hei kamu, kenapa selalu sendi..”

“Aku tak sendiri, kamu selalu ada di belakangku setiap sore.” Dia langsung memotong.

“Astaga, bagaimana kamu tahu apa yang ingin kukatakan?”

“Sederhana, kamu selalu mengikutiku dari belakang, dan ketika aku menoleh ke arahmu, kamu langsung memandangi langit.”

“Tapi.. ”

Aku malu sekali. Iya, aku tak kuasa melihat langit ketika ia tiba-tiba menoleh ke arahku.

Ia pun melambatkan laju jogging-nya. Wah, ini pertanda. Lantas kupercepat saja laju joggingku. Kini aku sejajar dengannya. Ya, aku bisa menatapnya dari angle berbeda. Tidak lagi dari belakang. Aku memang lelaki yang mudah senang. Melihatnya dari belakang dua minggu belakangan ini saja sudah membuatku senang.

Jogging bersama kekasih di sore hari seperti ini, membuatku berada di dalam cekaman romantisme.

Oh, barusan aku typo.

Jogging bersamanya di sore hari seperti ini, membuatku berada di dalam cekaman romantisme. Banyak yang kami ceritakan. Namun, lebih banyak yang kami utarakan. Aku datang dari ufuk barat, ia muncul dari ufuk timur, kemudian bertemu di utara. Mengutara, saling mengutarakan rasa.

Entah, aku seperti mengenalnya sudah terlampau lama. Aku familiar sekali dengan gaya bicaranya. Iya, walau baru dua minggu belakangan ini aku memandangi lekuk tubuhnya dari belakang.  Aku siang, dia malam, kami berpapasan saat senja. Dan senja pula yang menyudahi pertemuan kami hari itu.

Kita bertemu seketika, dan kini kurasa kangen yang benar-benar tak beretika.

Aku sedang tidak jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku telah lama memandangnya, bahkan ketika ia tak sadar sedang  kupandangi.

Aku juga tak meminta nomor teleponnya. Aku seperti akan bertemu terus dengannya.

 Oh tunggu, tunggu sebentar. Hapeku yang getarnya mengalahkan getaran perasaan mereka yang tengah kasmaran itu, bergetar. Mengalihkanku dari tulisan ini. Tunggu sebentar, aku cek dulu.

Oh, ini SMS dari Sani.

Kurang lebih seperti ini isinya..



To be continue..


From Don Juan



Share:

0 Komentar