PHP for PHP - the last
Ternyata dia lagi asik menyaksikan
film. Gue memberanikan diri lagi menggenggam tangannya, dan.. dia reflek
mendaratkan kepalanya di lantai. Err.. maksudnya di bahu gue. Mungkin dia
nyaman dekat dengan gue, feel pun mucul dengan perlahan. Dia pun semakin
menggenggam erat tangan gue. Damn!
Chemistry lagi-lagi menyelimuti. Gue tatap wajahnya dalam, dan dia pun
melakukan hal yang sama. Kali ini kami benar-benar tersesat dalam tatapan.
Genggamannya semakin erat dan sambil menatap, dia bilang…
“Aku pengen pipis..”
“….”
Semua hening. Studio
1,2, 3, 4, dan 5 hening. Filmnya ke-mute sendiri.
Pokoknya hening.
Semuanya berantakan.
Romantisme yang gue bangun sedari awal bertemu, pupus sudah.
“Umm, sorry.. kenapa
gak ke WC aja, Dev?” Tanya gue dengan muka-muka pupus harapan.
“Entaran aja deh.. masih bisa di tahan kok.. hehe..”
Selain cantik, kelebihan lain dari si Devia adalah.. garing.
Pfft.
------
Film pun telah habis di putar, dengan badan yang agak remuk
redam karena kelamaan duduk, kami pun keluar studio, dan ternyata di luar udah
mulai gelap. Harapan hati ini pun gelap.
“Eh udah malem nih, aku pulang duluan ya.. soalnya udah di
cariin sama papah aku..” kata Devia.
“Oke deh, mau aku anterin sampe depan gang, sampe depan
rumah, apa sampe KUA?” Tanya gue ganteng.
“Nggak perlu kok. Aku sendiri aja.. hehe..”
“Oke deh, hati-hati ya Dev. Dunia luar kehidupannya keras.
Semoga kamu gak kenapa-kenapa di luar”
Krik.
“Hehehe, Iya iya.. daaah..”
Devia pamit pulang dan menyalim
tangan gue. Ini dia yang buat gue luluh. Buat harapan semakin besar. Yang gue
gak tahu ternyata harapan palsu.
Yup. Emang begitulah cinta. Kita buat harapan
sebesar-besarnya, tanpa mengingat perkara palsunya.
“Karena cinta diawali tanpa harus tahu darimana berawal, dan diakhiri tanpa tahu darimana
akan berakhir.” –Don Juan.
Gue pun pulang dengan bahagia.
Sebagai Don Juan, ketika pulang berjalan setelah jihad, daun-daun rela
berguguran ketika dia melewatinya. Semoga semua tidak sia-sia.
Sesampainya di asrama, gue masih
memikirkan dia. Semuanya terkenang. Daripada gue galau berjamaah, gue sms aja
dia. Tapi, adrenaline gue gak cukup
untuk melakukan ini, jadi kita sepakat untuk memilih jalan tengah dengan
nomention. Yak, twitter.
“TFT.. Thanks for
today..”
Dengan labilnya gue menuliskan kalau
gue berterima kasih sekali sama Devia karena udah buat hati gue dikabutkan sama
chemistry hari ini. Iya, walau..
Nggak ada respon.
Kondisi gue mulai mengkhawatirkan.
Gue sms dia, gak di bales. Gue telfon, gak di angkat.
Gue seperti menggelandang di depan pintu harapan yang nggak
kunjung dibuka.
Beberapa hari berselang, malah berita duka yang gue dapat. Temen gue
bilang, katanya, Devia ilfil sama gue.
Nggak lama kemudian, ucapan berduka cita pun masuk membanjiri inbox hape gue.
Suasana pun berkabung. Siang jadi
malam. Malam jadi kelam. Air sungai surut. Harga bahan bakar naik. Presiden di
demo. Dan Indonesia terpecah menjadi pulau-pulau.
Hancur sudah semuanya.
Entah apa langkah yang salah dari
PDKT gue kali ini. Atau mungkin perihal terlalu cepat menjatuhkan hati ini ke
hati yang lain? Kapal karam sebelum berlabuh. Gue di tolak sebelum menembak.
Gue hancur sebelum mencinta.
Ah, sudahlah.
Selalu ada perih dalam
perihal cinta.
Selain itu, gue dapat info kalau dia
emang player yang pro. Banyak yang
mengatakan dia adalah seorang heartbreaker.
Tapi gue gak setuju. Soalnya itu hak dia. Dia ibarat pelabuhan yang bebas
menetukan kapal-kapal mana yang boleh berlabuh di sana. Gak masalah dia heartbreaker atau bukan, yang jelas dia
udah menggoreskan beberapa tulisan indah di kenangan gue.
She’s very nice.
Walaupun dia gak makan
so nais, sih.
Mungkin ini belum saatnya kapal gue untuk berlabuh.
“Jika cinta adalah
sebuah lautan, mungkin itu adalah alasan kenapa sampai saat ini aku tidak
berlabuh.”
Dan dari semua itu gue tahu satu hal lagi tentang cinta.
“Cinta adalah ketika
kau terluka, mengenang dan merindukan. Tetapi yang kau cintai tidak merasakan
hal yang sama.”
Cerita lucu yang menyedihkan ini,
Tamat.
Dari lelaki yang
cintanya juga pernah kandas di persimpangan jalan, @irfannyhanif.
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar