I'm Friendzoned and i know it.
“Kamu berubah..”
Cuma itu penggalan kalimat dari
percakapan singkat antara celana jeans dengan perutku. Oke, tepatnya dia sedang
bersenda gurau dengan lemak-lemak jahat di perutku.
Semakin lama di kos, semakin banyak
jumlah semester yang telah aku jalani di belantika perkuliahan, semakin
menambunkan tubuhku. Ah entahlah, aku suka kesal sendiri dengan perut ini.
Telat kuberi makan, dia maag. Terlalu banyak kuberi makan, dia menggelambir.
“Dasar perut tak tahu diuntung!”
Pada suatu pagi, hapeku yang suara getarnya
menimbukan pencemaran suara itu, bergetar. Tentu saja, beberapa teman kosku
langsung menggedor-gedor pintu kamarku. Rupanya mereka tak kuasa menutup kuping
setelah mendengar hapeku bergetar.
Oke, ada sebuah SMS masuk ke hape
jahanam itu. Itu baru SMS, bagaimana kalau ada panggilan masuk?
Ya, SMS itu berasal dari salah
seorang teman lamaku. Sewaktu semester-semester awal, dia sering bersamaku.
Banyak sekali waktunya terbuang sia-sia ketika dia berada di sampingku.
“Don, kau di mana sekarang? Lama indak jumpa ni kita.”
Begitulah pesannya.
“Sorry, ini siapa?” Aku segera membalasanya yang tentu saja
dengan bonus pulsa.
“Bah, sombong kali kau! Ini Sani.”
“Astaga, Sani, sejak kapan kau mengganti nomor?”
“Bodat! Kau yang
ganti nomor. Aku tau nomor kau dari bagian mahasiswa di akademik kampus.”
Ya, aku memang kerap kali
menggonta-ganti nomor. Nyaris tak ada satupun provider telepon selular yang
belum aku cobai bonus SMS-nya.
“Kenapa San?”
“Hari Kamis malam ngumpul bareng, lah. Kau masih berhutang
Smirnof. Hahaha.”
Oke, aku dan Sani nyaris empat
semester tak bertemu. Wajar sekali dia hendak mengajak bertemu. Namun yang
menjadi pokok permasalahan di sini adalah, dia masih mengingat hutang sebotol
Smirnof akibat kekalahanku main gaple
di parkiran Indomaret . Iya, sewaktu semester satu!
-----
Akhirnya, aku mengiyakan ajakannya.
Motor yang kali ini bukan pinjaman,
Iya, sekarang aku kemana-mana sudah bermotor, kuparkirkan di depan sebuah kafe.
D’cinamons namanya. Tempatnya bagus. Psstt, ini sebuah bocoran. Kafe inilah
yang aku gunakan sebagai lokasi menulis cerita ini. Dan tentu saja untuk
tulisan-tulisan yang nantinya hendak aku bukukan. Kelak..
Tentu saja Sani dengan cepat
menemukanku di tengah keramaian. Ya, “In Playboy We Trust” yang terpampang
jelas di kaosku, roman-romannya mudah untuk mengalihkan perhatiannya.
“Hoy, Don! Ah, apa kabar kau! Alamak, tambun kali sekarang
kau?”
Sapaannya barusan seperti hendak
mengajak tawur. Kalau aku adalah seorang wanita, pasti aku akan langsung bad
mood mendengarnya. Ah, selamat. Aku lelaki. Aku pun terhindar dari serangan bad
mood.
Oke, belum selesai aku mencoba
bersabar dari sapaan akrab yang terdengar seperti ajakan tawuran itu, aku
dibuat kembali tercengang oleh dirinya.
“Sa-sani? Sani temanku yang dulu aku sering panggil Dugong
itu, kan?
“Hahaha, bodat kau. Mari-mari masuk. Baru tiga orang yang
sampai. Aku kira kau berhalangan hadir.”
Ada yang berbeda dari dirinya. Dulu,
di semester-semester awal kuliah, ia begitu tambun. Seperti sapi gelonggongan.
Aku sering khawatir ketika ia berjalan menelusuri jalan turunan. Iya, aku takut
dia menggelinding.
Dan kali ini, panggilan sapi
gelonggongan sudah tak bisa aku lontarkan padanya. Harus mencari di mana sapi
gelonggongan yang bentuknya atletis? Aku kalut. Aku harus secepatnya menemukan
cercaan yang tepat untuk menggantikan cercaan sapi gelonggongan padanya yang
sudah terlanjur melekat di kepalaku.
Sampoerna mild pun ia keluarkan dari
saku kemejanya, dengan sedikit bantingan lembut ke meja, seperti biasa, ia
menawarkan pada kami.
“Ambil saja, jangan malu-malu.”
“Umm sorry, Sani, kau punya permen?”
“Hah, buat apa?
“Aku sudah berhenti menarik asap dengan mulut dan
mengeluarkannya lewat hidung, San.”
Bukannya mendapat permen yang aku
inginkan, aku malah mendapat puk-puk bergilir
di pundak secara gratisan oleh mereka. Ah, na’as, tak ada dari mereka yang
percaya jika aku telah pensiun dari dunia pernikotinan.
“Mas, sisha untuk
empat orang, bisa?” Sani tanpa membuat persetujuan dengan kami terlebih dahulu,
memesan sisha untuk kami hisap tentunya.
“Oke Don, bolehlah kau mengacuhkan Sampoerna Mild ini, tapi
jangan kau acuhkan asap rasa anggur yang ini.” Lanjut si Rahmat.
“Ah, baiklah. Kutemani kalian hingga pagi jika yang kuisap
ini asap rasa anggur!” Aku pun bersemangat.
Dan seperti biasa, Sani ini suka
sekali bermain gaple. Ia langsung
mengocok gaple dan membagikannya pada kami. Tapi kali ini aku
tak bersemangat main gaple seperti
yang dulu biasa aku lakukan dengannya. Ya, aku lebih berfokus pada perubahan
yang terjadi pada lemak-lemak jahatnya.
“San, kau sedang diet ketat?
“Ah, tidak. Kenapa memangnya?
“Kau sekarang terlihat seperti Captain America.”
“Ahahaha, bisa saja kau! Masih menggelambir ini!” Ia tertawa
sambil mengepuskan asap sisha ke
mukaku.
“Apa rahasianya? Aku berjanji akan melakukan semua yang
pernah kau lakukan untuk mendapat tubuh Captain America itu.” Tukasku sambil
menatapnya nanar.
“Yakin?”
“Apa aku terlihat kurang meyakinkan?” Aku menatapnya dalam
puncak nanar tertinggi.
“Hmm, kau jaga pola makan. Untuk sebulanan ini, kau coba rutinkan
jogging. Nanti aku beri instruksi
selanjutnya.”
Sambil mengepus sisha ke langit-langit, aku mengiyakan
instruksinya.
Apapun kulakukan untuk bisa bermusuhan dengan lemak-lemak
jahat yang sudah bertahun-tahun menggelambirkan banyak tempat di tubuh ini.
------
Tanpa perlu berlama-lama menunggu,
dua hari berselang, di pagi harinya aku memutuskan jogging di dekat rektorat Universitas. Hari itu hari Sabtu, aku jogging menggunakan atribut futsal. Ya,
sepatunya memang pinjaman. Tapi tak mengapa.
“Ah, kalau cuma lari-lari seperti ini, tentu mudah sekali.”
Bisikku dalam hati yang bernada menggampangkan.
Iya, selang tiga menit kemudian, aku terkapar di pinggir
jalan.
“Jantungku! Jantungku! Jantungku jatuh di mana tadi!?!”
Di tengah keterkaparan, aku hanya bertanya-tanya dalam hati.
“Sudah berapa masehi aku tak berolahraga?”
Aku masih tak sempat membedakan mana jogging mana sprint. Ah, yang kutahu hanya lari-lari.
Selain nafas yang tersengal-sengal,
aku juga punya problem lain. Iya, aku cuma sendirian sekarang. Kesepian sekali.
Tak ada yang memperdulikanku saat terkapat di pinggir jalan tadi. Ini tentu
mencemaskan.
Oke, keesokan harinya aku memutuskan
untuk jogging di sore hari. Sesuai
dengan ekspektasiku, sore hari sangat ramai. Banyak remaja-remaja yang
roman-romannya memiliki permasalahan berat badan sepertiku yang ingin mencari
keringat di sini.
Dan tentu saja, ada banyak perempuan cantik berlalu-lalang
melewati pandanganku.
Dari sini, cerita menyedihkan nampaknya akan bermula..
To be continue
From Don Juan
@ThePlayboyID
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar