Don Juan dan Rokok

Pagi itu, sekitar pukul setengah lima, gue baru pulang ke kosan setelah puas menyantap malam mingguan bersama teman-teman, dan tentu saja dengan kekasih. Ya, dari jutaan anak muda yang mencicip gemerlap dunia malam via clubbing, mungkin cuma gue yang dugem tanpa menegak minuman keras. Ya, in the other words, gue nggak minum. Terdengar aneh, mungkin.

 Ya, sedari dulu gue nggak pernah suka minum bir atau minuman yang bisa kobong kalau disundut api itu. Buat gue, untuk mabuk nggak perlu mahal-mahal dengan cara minum-minum. Cukup naik angkot, terus duduknya madep belakang, dalam hitungan detik pasti gue bakal mabuk. Untuk bisa semaput, anak-anak muda mayoritas sampai buka botol yang harganya enam digit. Sebagai anak muda minoritas, gue tinggal buka air keran, terus diminum. Tidak sampai lima menit, gue dipastikan semaput.

Mabuk itu sederhana..

Kembali ke cerita, kamar gue berada di lantai dua, dan ketika menaiki anak tangga, gue mendengar suara ribut-ribut di sebelah kamar gue. Ya, kamar itu adalah kamar teman gue, dia dua tahun lebih tua dari gue, dia senior gue di kosan.

Kurang lebih seperti ini bunyi ribut-ributnya. “Ohok ohok ohok ohok.. Ohok ohok ohok..”

Gue pun langsung bertanya-tanya dalam hati, “Suara ayam macam apa itu? Kok bunyi kokoknya seperti ayam kehilangan jati diri?”

Tanpa menghiraukan suara kokok ayam yang aneh itu, gue memasukkan kunci dan membuka pintu. Belum sempat kunci pintu kamar gue terbuka, suara ribut itu terdengar lagi.

“OHOK OHOK OHOK OHOK OHOK!! OHOHOHOK OHOHOKK!!!”

Suara ribut itu makin keras, gue pun menengok ke arah kamar teman gue, setelah itu gue masuk ke kamar tanpa punya rasa curiga terhadap suara aneh itu. Belum sempat menutup pintu kamar dan merebahkan diri di kasur, tiba-tiba terdengar kembali suara mengejutkan.

*BRAKK!!!* “UHOHOHOHOK.. UOHOHOHOK.. OHOK OHOK..”

Gue membuka pintu kembali dan menemukan teman gue itu tergeletak di lantai depan kamarnya. Ternyata, itu bukan suara kokok ayam yang kehilangan jati diri, itu adalah suara batuknya teman gue. Bukan suara batuk yang mirip kokok ayam itu yang membuat gue terkejut, tapi sesuatu yang ada di tangan teman gue, saat dia menutup mulutnya ketika batuk.

Ya, tangannya bersimbah darah, berceceran ke lantai.

Senior gue itu menengok ke arah gue dengan tatapan sakratul maut. Gue panik. Sebagai lelaki yang peka, gue langsung berlari ke arahnya dan dengan sigap bertanya kepadanya. “Bang, lu baik-baik aja kan?”

Oke, gue bukan lelaki yang peka.

Singkat kata,  gue dan Nanda, salah seorang teman gue yang kebetulan namanya kayak cewek, yang juga kebetulan kamarnya berada di sebelah kamar gue juga, di pagi yang masih buta itu, langsung membopong Bang Alfian dan melarikan dirinya ke rumah sakit terdekat.

Setelah gue ketiduran di ruang tunggu rumah sakit karena gue memang belum tidur sejak malamnya, siang itu Nanda membangunkan gue, dia memberi kabar tentang kondisi Bang Alfian. Bang Alfian harus menjalani rawat inap. Bokapnya Bang Alfi juga sudah sampai di rumah sakit. Gue merasa tenang, setidaknya aka nada yang menemani Bang Alfian di sini seharian.

“En Nda, Bang Alfi sakit apaan?”

“Nggak tau, kayaknya TBC gitu, gue kurang ngerti juga.”

“Tapi tadi gue udah ketemu sama bokapnya Bang Alfi, beliau baru ngambil hasil rontgen paru-parunya Bang Alfi.” Nanda kembali menambahkan.

“Gimana hasilnya? Nggak kenapa-kenapa kan?” Sambar gue cepat.

“Paru-paru sebelah kirinya kayak ada bolongnya gitu, terus paru-paru sebelah kanannya lebih kecil dari yang sebelah kiri. Gue ngeri banget ngeliatnya.” Jawab Nanda sambil memberikan gambaran seberapa besar bolongan yang ada di hasil rontgen itu.

What? Bolong? Yang bener aja lu, Nda?!!”

Karena nggak percaya dengan apa yang digambarkan Nanda, gue pun diajak menemui bokapnya Bang Alfian, yang kebetulan sedang menunggu anaknya yang terkulai tak berdaya dengan infus di tangan dan alat bantu pernapasan yang menancap di hidungnya. Setelah berbincang sebentar dengan bokapnya, gue diberi kesempatan untuk melihat hasil rontgen Bang Alfian.

Damn! Dengan kondisi paru-paru kayak gini, mustahil Bang Alfian masih hidup! Ini mukjizat! Ini mukjizat!!” Gue ngebatin sambil menatap lembaran hasil rontgen itu dengan pucat pasi.

“Alfian memang perokok berat, Mas. Saya sudah wanti-wanti, tapi ndak pernah didengarkan.” Bokapnya Bang Alfian tiba-tiba memotong, membuat gue mengalihkan tatapan dari lembaran hasil rontgen itu.

Ya, Bang Alfi adalah perokok berat. Berat banget, tepatnya. Dalam sehari, dua bungkus rokok kretek tak luput dihisapnya. Nanda pernah bilang kalau Bang Alfi ini macem lokomotif. Sulit menemukan dirinya tanpa ada asap keluar dari mulutnya.

Setelah pamit pulang, di koridor keluar dari rumah sakit, Nanda menepuk bahu gue dan berkata.

“Tenang, Don, gue siap nganterin lo ke rumah sakit kok. Tenang aja, hari ini akan datang buat lo. You are the next. Hehehe.” Kata Nanda sambil tersenyum, senyum yang biasa dipakai malaikat pencabut nyawa.

Gue menengok ke arahnya dengan tatapan, “Bangsat lo, Nda!!”


=====


Gue termasuk anak muda yang bangga karena nggak suka minum-minum dan mabuk. Ketika yang lain minumnya jekdi, gue lebih memutuskan untuk keluar sebentar dari diskotik, lalu nyegat wedang ronde di pinggir jalan. Ya, kejadian ini benar-benar hal yang patut dibanggakan.

Tapi tidak dengan rokok.

Semua orang suka dengan rokok. Cewek pun senang dengan rokok. Semua senang dengan rokok. Semua butuh rokok. Rokok kehidupan kita semua. Rokok Cahaya Asia. Nyari cowok yang nggak ngerokok, itu sama aja seperti nyari wedang ronde di dalam diskotik. Pasti sulit sekali.

Jika cowok itu bergelut dengan dunia seni, tentu akan lebih sulit. Seumur hidup, gue belum pernah ngeliat musisi yang tidak merokok. Gue juga jarang melihat penyair yang tidak merokok. Sebut saja Aan Mansyur, Chairil Anwar, Adimas Imanuel, dan Joko Pinurbo, yang merupakan penyair favorit gue, mereka membangun kalimat-kalimatnya dengan bahan bakar rokok dan kopi.

Bahkan, kalau tidak ada rokok, negara Indonesia tidak akan merdeka. Sekrusial itukah peran rokok di kehidupan ini? Ya, Soekarno dan Hatta begadang memikirkan jalan untuk memerdekakan negara ini lewat bantuan rokok. Tidak ada rokok dan kopi, maka tidak ada teks proklamasi.

Nggak percaya? Silahkeun, tapi ini benar-benar terjadi.

Jika diberi pilihan tidak punya pacar atau tidak boleh merokok, gue yakin akan ada 90% cowok yang memilih untuk tidak punya pacar ketimbang tidak boleh merokok. Dan gue, tentu saja berada di dalam 90% itu.

Perjalanan merokok gue dimulai sejak awal SMA. Diawali dengan diam-diam. Ibu gue yang notabene bekerja di dunia medis, melarang keras anaknya yang paling ganteng ini berkawan dengan nikotin dan tar. Barang sehisap-dua hisap sekalipun.

Gue tidak pernah merokok di rumah. Adegan merokok, buat gue saat itu, seperti adegan yang dilakukan pembunuh profesional. Setelah membunuh orang yang dilapisi sarung tangan, mayatnya gue mutilasi, lalu gue kubur sedalam satu kilometer di bawah tanah. Pisau dan kapak yang dipakai untuk membunuhnya, gue pakaikan di genggaman mayat itu, sehingga sidik jari yang tertempel di sana adalah sidik jari mayat itu. Lalu kapak dan pisaunya gue kubur bareng mayatnya. Jikapun suatu hari kuburan itu ditemukan, polisi akan menyangka orang itu tewas karena membunuh dirinya sendiri.

Sempurna. Tidak meninggalkan jejak sedikitpun.

Begitulah cara gue merokok. Di dalam tas sekolah, gue selalu sediakan sikat dan pasta gigi. Pun tak luput Listerine di sana. Jujur, gue suka dengan rokok, tapi gue nggak suka dengan bau rokok yang tertinggal di mulut setelahnya. “Aku nggak suka bibirmu, bau aspal.” Begitulah kata pacar gue waktu SMA (tentunya telah menjadi mantan) yang selalu terngiang sampai sekarang. Jadi, setiap habis merokok, gue selalu mencuci tangan, menggosok gigi, berkumur dengan Listerine, mencuci kaki, sembahyang, dan baru boleh bobok. 

Biar getol merokok, tapi tetap soleh.

Begitu sampai di rumah, tak pernah sedikitpun tercium bau aspal di tangan, dan di mulut. Sempurna.

Ribet ya.

Dan aksi ribet merokok ini terus gue lakukan sampai gue lulus SMA. Gue yakin kakak gue nggak pernah tau kalau adiknya ini perokok berat, sampai akhirnya dia baca tulisan gue ini. Sorry, i’am the most professional-smoker, ever.

Begitu gue kuliah di rantauan, gue ibarat singa sirkus yang dilepas ke alam liar. Tidak pernah ada rokok ketengan seperti saat SMA dulu, semua selalu gue beli sebungkus-bungkusnya. Bahkan, kadang gue membeli lebih dari satu macam rokok. Kalau lagi ngumpul sama teman-teman, gue ngerokok Mild. Kalau abis makan, gue ngerokok Garpit. You know, Garpit is the best rokok, ever. No one can beat Garpit. None could ever compare to Garpit. Semua harus bertekuk lutut di depan Garpit. Jika dalam animisme, para pengikutnya menyembah benda-benda mati, maka penganut animisme harus menyembah Garpit.

Ya, sebelum gue jatuh cinta dengan dirinya, gue sudah lebih dulu jatuh cinta kepada Garpit.

Romansa cinta gue dengan Garpit terus berlangsung sampai semester berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Gue pernah bilang kepada teman gue yang non-smoker, “She can hurts you, but Garpit can’t.”

“Cigarettes teach you what love can’t.”

And i proud with that.


=====

Sampai pada akhirnya,  tepat di awal november 2011, kalimat di atas terpaksa gue cabut. Pagi itu, gue melihat sesuatu yang setiap hari gue banggakan, ternyata mampu membuat  Bang Alfian mendekam di kasur rumah sakit. Belum sampai di situ, paru-paru dan jantungnya adalah buktinya. Melihat dia masih hidup sampai sekarang, sudah cukup mampu membuat gue berpikir. Dua kali. Ah tidak, berpuluh-puluh kali.

“She can hurts you, but cigarettes can do it better.”

Kadang, Tuhan tidak menegur umatnya secara langsung, Ia tegur orang terdekat di dalam hidup kita, agar kita dapat belajar apa yang setelahnya terjadi jika kita tetap tidak berubah.

Setelah aku hebat perihal menyakiti, Tuhan tidak menegurku, Ia tegur orang yang aku cintai, dengan cara mengambilnya, dan memberikannya kepada orang yang lebih pantas. Jadi seperti itu rasanya ditegur Tuhan.

Pagi itu, entah kenapa Bang Alfian bisa batuk-batuk dan muntah darah tepat ketika gue menaiki tangga. Kenapa nggak pas malamnya? Pas gue berangkat dugem, jadi kan pas pulangnya gue nggak perlu ngeliat apa yang terjadi kepada Bang Alfian.

Lalu, apa maksud kalimat Nanda, “Tenang, Don, gue siap nganterin lo ke rumah sakit kok. Tenang aja, hari ini akan datang buat lo. You are the next. Hehehe.” Gue tau itu cuma becanda, gue tau Nanda nggak ngerokok, tapi kenapa Nanda harus ngomong kayak gitu? Apa selanjutnya gue yang bakal dibopong Nanda setelah batuk-batuk darah? Apa setelah itu bokap gue yang bakal menemukan gue di rumah sakit tak berdaya? Apa paru-paru gue harus bolong dan jantung gue tinggal disentil lalu gue mati? Gue tau ini cuma lebay, tapi siapa yang tau kalau itu suatu teguran Tuhan secara tidak langsung ke gue?

Jika dalam kondisi seperti di atas, gue yakin, hidup dan mati hanya sesederhana ini. Malaikat pemberi kehidupan dan malaikat pencabut nyawa, main capsa buat nentuin hidup gue.

Who will win?


=====

Pada akhirnya, gue nggak bermaksud untuk nyuruh kamu, yang menjadikan rokok sebagai teman hidup, untuk berhenti menjalin hubungan dengannya. Gue nggak ada niatan untuk nyuruh kamu berhenti merokok. Nggak. Ya karena gue dulunya, adalah sama seperti kamu, gue menjalin hubungan serius dengan Garpit. Satu bungkus tak pernah memuaskan gue dalam sehari.

Rokok, obat, dan racun adalah sama. Yang membedakan adalah dosisnya. Obat akan membunuh layaknya racun jika dosisnya berlebihan. Jika rokok adalah racun, maka ia tak akan serta-merta membunuhmu layaknya racun jika dosisnya tidak berlebihan. Jika rokok dianggap obat, jika dosisnya tepat, ia akan menyembuhkan. Ya, menyembuhkan, bukan menyembuhkan. Rokok dapat membuat tenang, sejenak lari dari masalah, walau tidak serta-merta menyelesaikan.

Jika mencintai kekasih adalah sebuah kebiasaan dan gaya hidup, maka mustahil untuk meninggalkannya. Pun kepada rokok, bagi ia yang telah menempatkannya sebagai bagian dari hidup, akan sangat sulit lepas darinya. Itu yang terjadi ketika gue berusaha untuk lepas dari jeratan rokok. Melepas sesuatu yang sudah mendiami separuh tubuh itu sakit, nggak mudah. Ya, walau nyatanya gue berhasil. Jadi, gue nggak punya kuasa untuk menyuruh siapapun untuk berhenti merokok.

Sekarang, pada tanggal sembilan November, tepat dua tahun gue bebas dari asap rokok. Kalau dulu gue bilang, “Gue bangga nggak minum-minuman keras.” Sekarang kebanggan gue bertambah satu, ya nggak merokok. Kalau merokok itu terlihat keren, pun sama jadinya ketika berhasil berhenti merokok. Sama-sama keren.


Terakhir dari gue,

Pada akhirnya kita semua akan berhenti merokok, pada saat masih hidup, atau ketika sudah mati.

Semua bebas memilih..



Share:

1 Komentar

  1. Maksudnya Nanda, abang the next yang akan dia bopong soalnya dia ga pernah bopong pacarnya. Jadi ya abang aja hahahaha. GUe ga suka cowok perokok dan gue ga ngerokok. Gue ngisep yang laen aja, bang. Permen. HAhahaha

    BalasHapus