Don Juan dan Rokok - Reloaded

Setelah tidak suksesnya postingan  “Don Juan dan Rokok” semenjak peluncurannya di bulan kemarin, hari ini gue meneruskan ketidaksuksesannya lewat postingan lanjutan. Kalau di postingan kemarin menceritakan tentang memutuskan berhenti menghisap asap rokok, postingan kali ini adalah tentang langkah-langkahnya.



Tapi tenang, gue tidak pernah bermaksud untuk menggurui, sebab ini adalah tentang rokok. Gue juga suka mikir bahwa petisi dan ajakan untuk tidak merokok adalah hal yang sia-sia. Jika semua berhenti merokok, petani tembakau akan bunuh diri. Jika semua orang berhenti merokok, Indonesia akan menjadi negara yang dipenuhi  pengangguran. Di negara yang penduduknya seringkali bertikai hanya karena perbedaan agama, tentu ketika kehilangan pekerjaan akibat terkena PHK dari pabrik rokok, akan menjadi alasan kuat kenapa kriminalitas meningkat pesat.

Yang merokok silahkan merokok pada tempatnya, yang tidak merokok tidak perlu melarang orang lain merokok, semua akur jika kita mengerti apa itu toleransi. Pun tentang beragama, yang beragama A silahkan beragama A, tidak perlu merasa memiliki Tuhan yang paling benar, tidak perlu merasa memiliki kitab suci yang paling menjamin masuk Surga, dan tidak perlu meninggikan agama sendiri dengan cara merendahkan agama yang lain.

Oke sorry, gue kebawa suasana..

Sampai di mana tadi?



=====


Menghisap rokok sama saja dengan berpacaran, sedang berhenti merokok sama saja dengan berakhir selamat jalan.

Kenapa move on dari mantan itu sulit? Kenapa berhenti merokok itu sulit?

Ya, karena dua-duanya adalah tentang kebiasaan.

Perihal melupakan, sederhananya adalah tentang mengubah kebiasaan.

Dan sialnya, mengubah kebiasaan tak pernah sederhana.



Ini juga terjadi di bulan pertama gue mencoba berhenti dari asap rokok, semuanya terasa asing. Gue nggak membenci rokok, karena semakin gue benci, gue hanya akan kepikiran dengannya. Persis dengan mantan, semakin dibenci, hanya akan mempersulit proses move on. Yang harusnya dilakukan adalah melupakannya pelan-pelan, dengan cara memafkan. Sama halnya dengan rokok, yang gue lakukan hanyalah mengubah kebiasaan.


1) Kurangi Dosisnya

Seperti yang udah gue bahas di postingan sebelumnya, gue adalah pemuja garpit. Untung saat itu gue sudah dibekali dengan agama, jika tidak, sudah tentu gue akan menyembah garpit dan koreknya.

Benar-benar nggak keren.

Pertama-tama, gue nggak lantas tanpa asap rokok sama sekali. Itu mustahil. Itu seperti sudah bertahun-tahun bersama, tapi beberapa detik kemudian langsung talak tiga. Gue kurangi dosisnya, dari garpit sebungkus sehari, menjadi mild sebungkus sehari.

Apakah itu ngaruh?

Sangat.

Kalau udah biasa ngerokok berat, ketika ngerokok yang ringan akan terasa kempos. Dalam arti yang lebih mudah dicerna, itu artinya hampa tiada rasa. Persis seperti seminggu setelah putus, selalu akan ada rasa untuk menghubunginya. Jika semasih pacaran SMS-nya “Sayaaaaang, kos aku sepi lho..” dan sekarang hanya bisa,  “Hae lagi apa?”

Ya, dosisnya berkurang.

SMS seperti itu rasanya kempos, hampa tiada rasa.

Lalu untuk apa menurunkan dosis rokok berat ke rokok mild? Ya, untuk membiasakan tubuh menerima kadar nikotin dan tar yang lebih rendah.  Lalu untuk apa membiasakan diri mengurangi akses telfon kepada mantan? Untuk membiasakan diri pada kehilangan, bahwa kebersamaan tak selalu sejalan, bahwa kehilangan sejatinya adalah kebersamaan yang berbeda jalan..



2) Temukan Substitusi

Tiada kata yang tidak terganti, akan selalu ada kata-kata lain yang akan menggantikan. Sejak itu gue sadar, bahwa kalimat “Goodbye” tidaklah abadi, ia akan tergantikan dengan SMS “Hae lagi apa?” dari yang lain, sebut saja ia strangers.

Power strangers.

Ya, orang asing yang punya kekuatan untuk mengubah duka menjadi suka.

Begitu juga dengan rokok. Setelah gue sukses mengurangi dosis hisapan rokok dari mild sebungkus sehari, lalu menjadi setengah bungkus sehari, dan akhirnya cuma menjadi ketengan-ketengan sesempetnya. Tapi kesementaraan itu belumlah cukup.

Mari ke level selanjutnya, menemukan substitusi.

Yang namanya mencoba berhenti merokok, akan ada saat-saatnya sakau. Saat di mana tubuh menagih jatah nikotinnya. Seperti saat menunggu orang, saat berkumpul dengan teman-teman, saat ngerjain revisi skripsi terus nggak tau mau dibenerin yang mana, dan yang paling krusial adalah setelah makan. Ya, gejalanya adalah bibir pecah-pecah, tenggorakan sakit, dan sulit buang air besar. Ah, bukan. Gejalanya adalah bibir terasa asem, pikiran terasa tidak tenang, sanubari terkoyak, dan mata sepet-sepet burem.

Itu juga yang gue derita ketika seminggu berusaha tanpa rokok mild sama sekali.

Saat itu, galau tanpa kekasih mungkin tak semenderita galau tanpa sebatang rokok.

Ketika sakau datang menghampiri, gue mencoba tenang. Gue ambil sebungkus Oreo, putar sedikit, jilat perlahan, lalu celupkan. Seperti itu sampai sakau pergi. Tapi seiring perubahan zaman, harga Oreo sudah tidak murah lagi, bahkan harga sebungkus Oreo dengan krim coklat hampir menyamai harga sebungkus rokok mild isi 12 batang.

Setelah Oreo dikatakan berhasil meredam nafsu mengemut rokok, gue temukan bahwa Nu Milk Tea dapat juga dapat menekan nafsu itu. Setelah makan, gue coba sempatkan untuk ke warung, beli minuman itu. Sekedar mencegah sakau dadakan.

Selain Oreo dan Nu Milk Tea, gue juga sempatkan membawa permen. Ketika kongko sama teman-teman, saat mulut mereka penuh dikepul asap, pipi gue tembem dipenuhi lollipop. Yeah..

Ternyata ngemut lollipop gaul juga..

Sama halnya ketika berhadapan dengan mantan, setelah mampu mengurangi dosis kangen, tentu saja harus mencari penggantinya. Tidak harus selalu dipacari, anggap saja pengalih perhatian. Ya, dari sanalah sebenarnya asal muasal pelarian dan PHP. Haha.

Bertemulah dengan yang lain, dengan yang asing. Jika cinta dimatikan oleh orang dekat, maka luka akan disembuhkan oleh orang asing.

Percayalah..



3. Bertahan

Konsisten yang akan membuat kita bertahan di kala suka, komitmen yang akan membuat kita bertahan di kala duka.

Kalimat sederhana di atas adalah sebuah prinsip yang selalu gue pegang dan gue bawa ke mana-mana. Segala yang dikatakan berjuang, butuh konsisten dan komitmen. Dan yang namanya berjuang, selalu berteman dengan godaan, halangan, dan rintangan. Mereka bertiga bertugas untuk membuat gue mengeluh. Membuat gue merasa pesimis, lalu mundur perlahan.

Apalagi jika berhadapan dengan yang namanya mengubah kebiasaan. Berhenti merokok adalah perjalanan panjang.  Ada banyak godaan yang gue rasakan untuk kembali ke pangkuan garpit.

Dan tentu saja ke pangkuan mantan.

Mantan adalah makhluk yang keji. Ia dapat berubah menjadi cantik dan semok sesaat setelah diputusin. Entah harus dengan hukum apa menjelaskannya, rambutnya makin harum, tubuhnya makin semampai, dan senyumnya makin bersinar.

Gue sadar, dia memang lebih bahagia dengan yang lain.

Saat gue mulai yakin bahwa dia memang lebih bahagia dengan yang lain, tiba-tiba dia SMS, “Ngerasa nggak sih kalau kita sebenarnya cuma emosi sesaat?”

See?

Ketika hati paling kecil gue merasa kangen, dia datang kembali menawarkan perubahan.

Ketika tubuh gue sebenarnya masih membutuhkan nikotin, teman-teman gue datang ke depan gue, membanting  berbungkus-bungkus rokoknya dan berkata, “Don, ini ambil, buat teman kayak lo, ini selalu gratis Don, gratis. Ambil ini Don, ini adalah karya terbaik anak bangsa.”

Damn.

Untuk itulah Tuhan menciptakan konsisten dan komitmen, sebab setia hanyalah kiasan. Setia hanyalah ketidakmampuan manusia dalam menyebut dua kata luar biasa yang sering luput dan disepelekan. Setia hanyalah satu kata, yang dibangun dari dua kata di atas.

Jika gue bisa setia untuk merokok, gue juga harus bisa setia untuk tidak lagi merokok. Selamanya.





=====

Sebenarnya, selain tiga langkah sederhana untuk jadi ganteng maksimal, untuk berhenti dari merokok, gue punya satu motivasi yang melatarbelakanginya, yang di postingan sebelumnya nggak gue ceritakan.

Ya, ini sangat rahasia, bahkan ini menjadi kunci penting dari keberhasilan gue berhenti merokok.

Tetep, tentang cinta.

Dulu, ketika gue merokok, pacar gue pernah bilang, “Bibir kamu bau aspal.”

Gue amat terpukul.



Ketika bibirku tak lagi diterima bibirnya, di sanalah jarak terjauh untuk dicapai, dari sanalah perpisahan dimulai.




Share:

0 Komentar