Sad-true-day Night

Jika diungkapkan dengan jujur, maka malam ini adalah malam minggu keempat gue tanpa kekasih. Setelah memutuskan untuk tidak lagi sejalan di penghujung Oktober kemarin, gue merasa tidak layak menyebut hari ini sebagai Saturday night. Gue lebih layak menyebutnya,

Sad-true-day night.

Nggak malam mingguan ya? Puk-puk..


Jika bangun pagi gue selalu enerjik, langsung mencuci muka, mencuci baju, mencuci gerbong kereta, dan mencuci banyak hal, tapi kali ini tidak. Sehabis bangun pagi, gue jongkok dulu di depan teras, melihat langit dan burung-burung yang terbang dengan bebasnya. Ada burung yang terbang berdua, terbang bertiga, dan ada juga yang terbang sambil ngetawain gue lagi jongkok di teras, sendirian..

Jika sore-sore gue langsung bergegas mandi, mengenakan kemeja terbaik, tampil seharum dan seklimis mungkin, lalu capcus jemput pujaan hati, kali ini ada yang sedikit berbeda. Setiap sore menjelang malam, gue langsung cepet-cepet mandi, mengenakan kemeja terbaik, semprot-semprot parfum, sisiran, dan.. tarik selimut. Bangun-bangun senin pagi, langsung kuliah.

Agak suram, but trust me it works!

Tapi tenang, kali ini gue nggak mau ngegalau di sini, gue cuma mau flashback saat-saat masih diberi kesempatan menggandeng tangannya.

Ya, saat masih pacaran. Saat masih merayakan malam mingguan.



=====

Ingat, ini cuma flashback, pernah terjadi di hari kemarin, walau sekarang sudah tidak.

Pertanyaan gue saat itu sederhana, kenapa sih malam mingguan itu harus hari Sabtu? Belum selesai gue meneruskan, sang pujaan hati langsung melirik ke arah gue dengan tajam.

“Beb, apaan deh, ya namanya malam minggu ya hari sabtu, kalau mau malam mingguan hari senin, ya pergi aja sendiri. Hih.”

“Yaudah, besok-besok kita malam mingguannya hari senin aja kalau gitu.” Bales gue cepat.
“Nggak bisa, jam segitu aku baru pulang kerja. Capek. Kamu enak, masih kuliah.”

DHEG.

Daripada gue mati karena tengsin, yasudah gue diam. Gue memalingkan pandangan lagi ke jalan yang sedang macet tidak bergerak. Hujan pun mulai deras. Ya, kami memang sedang berada di tengah jalan, di dalam taksi menuju sebuah mall ternama di Jakarta Selatan.

Sebagaimana geliat ibu kota yang begitu dinamis, jujur, gue nggak pernah menikmati yang namanya malam minggu di ibukota. Dikarenakan hal-hal sederhana seperti berikut:

1) Macet

Mungkin udah sangat klise membicarakan macet di ibukota, harusnya penduduk Jakarta yang budiman sudah sangat fasih dengan yang namanya kemacetan. Harusnya, penduduk Jakarta juga udah nggak perlu ngeluh dengan yang namanya kemacetan, sebab di Jakarta, macet itu layaknya Tuhan. Ya, ada di mana-mana.

"Tuhan" ada di mana-mana.


Pasti ada juga yang nyeletuk, “Udah tau macet ngapain maksain jalan? Kayak nggak ada aktivitas malam minggu yang lain aja?”

Ya, serba salah jawabnya. Semua yang manis-manis, semua yang pengin dicoba, adanya ya di mall, di pusat perbelanjaan, di kafe, dan harus melewati jalan yang macet.
Sekali lagi, kemacetan membuat malam minggu gue berantakan. Kenapa? Karena di dalam taksi, dia tiba-tiba bilang gini, “Beb, kok macet? Dari tadi nggak gerak-gerak nih mobilnya.”

“Ya, namanya juga malam minggu.” Jawab gue sekenanya.

“Udah tau macet, kenapa tadi maksa ngajak aku jalan? Hih.”

See?

Yang macet Jakarta, yang salah? ...ya cowok.



2) Hujan

Hujan dan macet adalah kombinasi paling maut untuk membunuh mood orang di jalanan. Belakangan ini, hujan selalu turun sore hari. Di Jakarta, sore hari adalah waktu-waktu yang sangat krusial, sebab sore adalah jam-jamnya orang pulang kantor. Jika itu terjadi di hari kerja, maka di malam minggu, itu menjadi bencana buat gue.

 Jalanan ibukota sore hari ibarat got yang abis di-fogging. Ya, kecoanya pada keluar semua. Ya, orang-orang pada tumplek-blek di jalanan, berlomba-lomba menyalurkan nafsu malam mingguannya. Dan akhirnya? Ya macet.

Kabar baik bagi couple yang naik motor dan kabar buruk bagi couple yang naik mobil. Motor bisa nyalip dan nyempil. Nggak seperti pengendara mobil yang kalau kena macet cuma bisa pasrah, lalu ngejedak-jedakin kepalanya ke stir.

Tapi jadi lain cerita kalau sudah hujan deras.

Damn, i love Jakarta!


Jumlah motor dan mobil yang melebihi kapasitas tampung suatu ruas jalan, ditambah genangan air yang diakibatkan hujan deras, membuat laju mobil semakin menurun. Akhirnya jalanan semakin padat merayap. Ya, kabar buruk bagi pengendara mobil. Satu-satunya kabar baik ketika macet di jalan hanya dirasakan oleh TMCPoldaMetro. Gara-gara macet, jadi ada bahan buat ngetwit. Hih, dasar selebtwit!

Tapi tunggu, macet dan hujan deras juga menjadi momok bagi pengendara motor. Kemungkinan untuk jatuh dari motor karena terpeleset menjadi semakin tinggi. Dan satu lagi, ini yang paling mencabik sanubari: menerabas hujan menggunakan jas hujan.

Bagi cewek yang sudah dandan cantik, harum, dan semerbak, jika sudah naik motor, diplastikin kayak bibit lele, terus kena hujan, semuanya akan sirna. Menurut gue, hujan itu cuma indah ketika ditulis ke dalam puisi. Jika sudah hujan-hujanan, kecantikan yang didapat dari bedak dan parfum, hanya tinggal menunggu waktu.

Gue termasuk ke dalam kategori cowok yang suka kasian ngeliat cewek yang udah dandan cantik dari rumah, terus kehujanan. Amblas semua itu foundation dan blush on-nya.


Yang hujan deras itu Jakarta, yang salah? Ya tetep cowok.



3) Harga

Buat cowok, harga malam mingguan mungkin jadi pertimbangan tersendiri. Gue yakin dari 10 cowok, jika ditanya mending ngajak nonton ceweknya hari sabtu atau hari senin, pasti bakal ada 7 cowok yang jawab hari senin. Ya, harga tiket bioskop di hari sabtu dan senin memang mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Terutama buat cowok yang setiap kencan juga harus bayarin makan ceweknya, bayarin SPP ceweknya, dan bayarin kosan ceweknya.

Berita baik buat cewek cakep: Kamu nggak perlu bayar tiket-tiket ini.


Jika tiket XXI di hari biasa, anggap saja sebesar Rp 35,000,- per orang, maka di hari sabtu dan minggu menjadi Rp 50,000,- per orang. Itu baru yang 2D, belum yang 3D. Itu juga baru harga XXI, belum harga Blitz Megaplex. Dan itu juga baru harga tiket, belum harga popcorn, harga softdrink, harga dinner setelahnya, dan itu juga belum harga kamar buat check-in semalam setelah malam mingguan. #okesorry

Ini juga terjadi pada gue. Setelah nonton, gue rencananya mau langsung pulang. Tapi tiba-tiba terdengar suara yang mencemaskan dari arah sebelah kanan.

“Beb, makan sushi tei yuk..”

“Apahh? Hahhh? Aku nggak denger.. aku nggak denger.. aku lagi budek sementara.”

Tiba-tiba dia berbisik manja di telinga sebelah kanan sambil memeluk erat lengan kanan gue, “Sushi tei, sayangg.. itu enak lohh, makan di sana yuk, muaaahh..” Bisiknya.

Karena aku cowok yang lemah, aku bisa apaa.

Tepat di depan pintu masuk Sushi Tei, dompet yang berada di saku belakang celana jeans gue berteriak keras,

“TIDAAAAKKK.. JANGAN BUNUH AKU, TIDAAAAKKKK...”


Yang mahal itu Sushi tei, yang salah? Ya cowok lah.


=====

Tapi Tuhan memang Maha Adil. Ketika yang jomblo cuma bisa meringkuk tidak berdaya di kasur dan di hadapan layar henfon untuk menunggu ajakan jalan dari gebetan, yang LDR cuma bisa bertatap-tatapan di layar henfon, saling mengucap kata kangen, tapi setelah itu tidak terjadi apa-apa..

 yang couple?

Ya, pergi kena macet, pulang juga kena macet. Pergi kehujanan, pulang juga kehujanan. Dan terus seperti itu sampai pihak ketiga memisahkan.

Mungkin benar, tidak ada yang Saturday night yang benar-benar sempurna. Di kejamnya kota-kota besar, yang ada cuma..

Sad-true-day night.












NB: foto macet nyomot dari google.





Share:

0 Komentar