Haruskah Kita Berteman dengan Mantan?



Siang itu gue terbangun dengan mata setengah matang hasil semalaman begadang. Pola hidup gue yang kala itu baru tidur menjelang alarm subuh berbunyi, membuat gue hampir selalu melewatkan kuliah pagi. Gue sudah diingatkan oleh beberapa teman agar rajin kuliah karena sebentar lagi UAS akan datang.  Jujur, gue nggak suka dengan semua mata kuliah di semester tiga ini. Gue memicingkan mata yang belum gue kucek-kucek ke layar hape, dan kemudian mengernyitkan dahi setelah mengetahui ada empat buah missed call dan tiga PING! BBM.

Downy kamu di mana

PING!

PING!

PING!

BBM dari Gaby.
 
Gue terdiam sebentar.

Sudah satu bulan lebih ini kerjaan gue hanya titip absen kuliah, jalan-jalan ke tempat wisata, main di warnet, nongkrong sama teman hingga pagi, dan tentu saja duduk termenung di sudut kamar. “Ah, gue cuma sedang belajar menerima kenyataan.” Itu yang selalu gue katakan dalam hati ketika gue berusaha untuk tidur. Gue harus mantap melihat ke depan. Gue nggak boleh terus berlari, menghindar, dan menjadikannya beban. Sebab, barangsiapa mengganggap masa lalu sebagai bencana, ia akan tinggal di masa depan sebagai pengungsi.

Sesaat gue sadar dari diam, gue mengecek hape kembali, mengetik beberapa kata untuk membalas BBM itu dengan cepat, dan menghapus semuanya setelah itu. Nggak ada satupun kata yang gue send. Gue membiarkan chat itu dalam kondisi sudah di-read tanpa tahu harus dengan kalimat apa gue membalasnya. Gue bimbang. Apakah harus membalas atau nggak, dua-duanya mungkin bukan pilihan yang tepat. Gue kembali meletakkan hape tersebut di samping tempat tidur dan bersandar pada tembok. Gue menatap langit-langit kamar, namun yang gue lihat adalah dirinya.

Sesekali, gue coba memejamkan mata sambil tetap duduk bersandar pada tembok. Rasanya gue seperti punya kemampuan teleportasi yang hanya dengan memejam, gue dapat kembali ke masa itu, memperbaiki semuanya, namun di saat yang bersamaan, gue sadar bahwa nggak ada yang perlu diperbaiki. Kadang, gue selalu berpikir bahwa nggak semua hal harus memiliki happy ending –cerita gue ini salah satunya.
Cerita gue dengan Gaby.

Caramu memperlakukan mantan adalah caramu menghargai masa lalu. Dua kalimat yang gue tulis dengan miring di atas adalah dua kalimat khas Aan Mansyur – dua kalimat yang memukul gue dari depan sembari menyadarkan gue dari dalam.

Ya, saat gue membaca BBM dari Gaby, gue seperti melayang ke langit beberapa detik dan terhempas kencang ke tanah pada detik berikutnya. Mungkin senang dan sedih tak sesederhana itu, tapi kurang lebih berubahnya secepat itu.

Ya, gue udah dua bulan putus darinya.

Satu bulan lebih gue gunakan untuk move on– walau nyatanya lebih seperti seseorang yang telah menipu dirinya sendiri dengan berkata pada orang lain bahwa ia tak apa-apa namun dari dalam sudah nyaris tak punya apa-apa.

Knp?

Dari sekian kalimat yang gue tulis namun gue hapus setelahnya, hanya kata itu yang bisa gue send.

Butuh dua puluh menit untuknya merespon jawaban gue yang singkat itu. Tepat gue selesai mandi, hape gue kembali berbunyi tiga kali.

Aku di jogja

di gejayan

deket kan?

“Bajingan!” Teriak gue dalam hati. “Ngapain dia ke Jogja?!! Ini kode ngajak ketemuan? Masalah kita udah selesai!” Teriak gue lagi.

Masalah kita udah selesai?


Is that true? (credit to: tumblrpost)



======

Mungkin, bukan cuma gue yang pernah ada di situasi di atas. Atau mungkin, kamu yang ada di posisi ngajak ketemuan. Ada kehidupan di mana setelah putus dengan pacar, salah satu dari kamu –atau bahkan dua dari kalian memikirkan hal yang sama –ngajak ketemuan. Buat gue, itu jadi fase yang pasti akan terjadi, dan nggak jarang sering kita sesali.

Pertanyaan gue menjadi sederhana: Haruskah kita masih bertemu atau bahkan menjalin pertemanan dengan mantan?

Beberapa pakar cinta dengan lantang bersabda bahwa berteman dengan mantan, atau masih menjalin hubungan pertemanan dengan mantan, atau easy going di depan mantan, adalah bukti kedewasaan emosi dan bukti bahwa kamu udah nggak punya perasaan apa-apa lagi dengan mantan. Semua sudah selesai dan tak ada unfinished business yang masih menggantung. Semua selesai, kembali seperti sedia kala, namun tidak menyelipkan kata cinta dan baper di dalamnya.

Sabda di atas tentunya benar adanya. Tidak ada yang patut disalahkan pada sabda di atas. Akan sangat menarik menemukan pernikahan seseorang yang lengkap didatangi para mantan terdahulu, berbaris menunggu bersalaman dengan pengantin, dan akur berfoto ria sambil bersantap kuliner khas pernikahan. Pemandangan yang menarik. Semua bahagia tanpa baper secuil pun.

Dua kutipan Aan Mansyur yang gue tuliskan miring di atas, adalah salah satu bukti bahwa gue mengamini dan mengimani apa yang para pakar cinta telah sabdakan.

Gue akhirnya mengiyakan untuk bertemu dengan Gaby di kedai kopi kecil di sekitaran Gejayan. Pada awal Mei 2016 kemarin gue menonton AADC2, betapa galaunya gue ketika sampai pada adegan Rangga dan Cinta, di mana mereka berdua saling duduk berhadapan di suatu kafe, saling memandang dengan ketus bercampur bingung satu sama lain.

Gue telah melakukan adegan itu jauh sebelum AADC2 dikonsepkan.

Kami sepakat bertemu menjelang sore. Di kedai itu, ketika gue membuka pintu, terdengar bunyi gemericik lonceng. Gaby sudah duduk di sana, lengkap dengan sweater ungu –dari jauh gue bisa melihat Gaby menggunakan tanktop hitam di dalam sweater ungunya –yang beberapa detik kemudian akhirnya gue sadari bahwa itu adalah sweater ungu pemberian gue.

Kami tidak berbicara banyak, atau mungkin dua dari kami memang tidak ingin berbicara banyak.

Sebelumnya, kami telah sepakat untuk berjalan pada garis hidup masing-masing. Orang tua Gaby tidak ingin melihat gue dekat dengan anaknya. Perbedaan agama adalah biang keladinya. Namun, sifat ketus dan diskriminasi dari papanya Gaby, membuat gue mengundurkan diri. Dan seperti biasa, Gaby datang ke Jogja dengan berbohong kepada orang tuanya. Bekerja di sebuah maskapai penerbangan di Jakarta adalah alibi sempurna untuk bisa singgah di banyak kota.

“Maafin papaku.” Sesaat gue meneguk kopi krim pertama, Gaby membuka percakapan.

“Aku telah melakukannya.”

“Hanya itu?” Tanyanya kembali.

“Itu yang kamu minta barusan, kan?”

“Downy yang aku kenal selalu punya jawaban panjang.”

“Kita.”

“Maksudnya? Gaby mengernyitkan dahinya.

“Kadang, tak semua pertanyaan butuh jawaban panjang, dan kita, adalah jawaban pendek yang menjawab begitu banyak pertanyaan panjang.”

Kami saling diam. Gaby merapikan sweaternya, menarik resleting sweater ungunya lebih dalam sehingga tanktop hitamnya nggak lagi bisa gue lihat. Usia pacaran kami yang pendek nyatanya sudah mampu menjawab pertanyaan panjang, “Dapatkah kami tetap bersama sampai perbedaan besar di antara kami menjadi kesamaan kecil dan dapatkah kami memanjatkan satu doa yang sama ketika diucap oleh dua agama berbeda?”

Malam harinya kami sepakat untuk berdamai satu sama lain. Kami berteman. Bahkan beberapa bulan kemudian Gaby bersedia minjemin duit ke gue buat merintis usaha baju bersama teman-teman di Jogja. Tiga bulan setelahnya, gue balikin semua yang udah gue pinjem beserta bunganya, walau Gaby nggak pernah meminta ataupun menagihnya. Mungkin baginya, uang yang gue pinjam tidak terlalu berharga layaknya usia pacaran kami yang pendek.

Semua tenang, tentram, tidak ada dendam.

Berdamai dengan diri sendiri dan dengan orang lain, menurut gue, adalah suatu candu yang aneh. Gue kecanduan untuk memperbaiki masa lalu dengan beberapa kalimat menenangkan yang gue ucap kepadanya di hari ini. Ketika libur kuliah semester lima, gue ke Jakarta untuk menemui Gaby, Yasha, dan Murni. Tiga dari mereka sudah punya pacar lagi, dan mereka adalah mantan yang pernah –walau gue tahu cuma sebentar –mengisi kehidupan gue. 

Yasha adalah teman dari Gandhi, yang di mana Gandhi adalah saudara kembar dari Gaby. Gue putus dari Yasha karena LDR. Yasha di bandung dan gue di Jogja. Mungkin, gue hanya napsu padanya, bukan cinta. Yasha lebih sering ke Jogja ketimbang gue yang ke Bandung. “Aku kurang seksi apa sih? Ngapain kamu deket-deket sama cewek itu? Apa kamu nggak bisa bedain mana cewek seksi dari lahir dengan cewek yang berusaha keras untuk seksi?!!” Itu kalimat terakhir yang gue dengar darinya. Yasha menangis ketika tahu gue jadian dengan Murni di Jogja.

Murni putus dari gue karena ending-nya dia lebih memilih cowok tajir yang mukanya lebih mirip slip gaji UMR ketimbang muka cowok tajir. Namun, gue menghormati keputusannya beserta keputus-asaannya. Namun, gue lebih menghormati keputus-asaan gue mutusin Yasha untuk bisa bersama Murni. Salah satu blunder besar yang pernah gue lakukan.

Di Jakarta, gue kembali menemui mereka. Terutama pada Murni dan Yasha, gue meminta maaf atas semua kesalahan yang gue lakukan. Walau gue tahu Murni adalah pihak yang salah, gue tetap meminta maaf kepadanya. Gue berdamai dengan Murni dan Yasha. Gue juga menanyakan perihal pacar baru mereka. Senang rasanya bisa melihat mereka hidup bahagia bersama pacar barunya. Kami sepakat untuk berteman.
Semua tenang, tentram, tidak ada dendam..



=====


Sampai akhirnya pada suatu hari kejadian di luar prasangka baik gue, datang.

Ada banyak SMS masuk yang bernada meneror, mengancam, dan mengintimidasi yang dikirim dari beberapa nomor yang nggak pernah gue kenal. Jika gue baca dengan seksama, intinya, mereka nggak suka gue deket-deket ke Gaby, Yasha, dan Murni. Saat itu juga gue langsung berpikir, “Wah, ini pasti monyet-monyet piaraan mantan gue..”
Yang paling mengagetkan gue, ada salah satu SMS yang menyebutkan dia siapa, dan isi pesannya adalah: “Don, lo gak usahlah sok-sok baik dan deketin Gaby lagi. Dia udah bahagia sama cowoknya. Gue temennya, gue tau bangsat-bangsatnya lo kayak apa. Dulu Gaby sering curhat ke gue tentang lo. Paham kan lo?”

Kekagetan gue belum selesai sampai di situ. Dia adalah Kris –sebut saja begitu –teman gue waktu SMP. Kris adalah best friend Gaby dari kelas 10 SMA hingga hari ini. Dengan kata lain, gue punya teman waktu SMP –yang sebetulnya nggak pernah akrab sama gue –yang satu SMA dengan Gaby, dan menjadi sahabat baiknya.

Di kumpulan SMS itu juga, ada yang jika gue lihat dari bahasanya, sepertinya ingin menunjukkan ke gue bahwa Gaby adalah ceweknya. Pun senada pada SMS berikutnya, mengindikasikan bahwa mereka adalah cowok barunya Yasha. Dan tentu saja, si cowok Murni yang tajir tapi mukanya lebih mirip slip gaji UMR itu.

SMS-SMS sok dan nyolot ini tetap masuk ke inbox hape gue hingga sebulan lebih. Gue nggak kaget, mungkin mereka kesel karena nggak ada satupun yang dibales. Gue udah berjanji pada diri gue untuk berubah. Gue udah meninggalkan diri gue yang dulu tempramen, kasar, dan emosian.

Gue mencoba melihat masalah ini dari sudut pandang mereka. Apa jadinya kalau gue punya cewek, lalu cewek gue masih terus berhubungan dengan mantannya tanpa ada garansi bahwa dia nggak akan baper. Dan benar adanya. Gue akhirnya punya pacar lagi, dan cewek gue masih berhubungan dengan mantannya. Gue nggak tau apakah hubungan mereka intens apa nggak, yang gue tahu, cewek gue sering menangis karena ulah mantannya. Dan gue? Sama sekali nggak boleh marah. Gue harus menjadi angin segar baginya.

Gue jadi mengerti perasaan cowok-cowok baru dari para mantan gue. 

Akhirnya gue sampai pada satu hal –mungkin lebih tepatnya disebut pembelajaran –bahwa ketika gue putus dan saling menjadi mantan satu sama lain, ada suatu kemungkinan jika gue tidak hanya akan putus hubungan dengan mantan, namun juga akan putus hubungan dengan teman-temannya dan beserta lingkungan barunya.

Niat tulus gue untuk tetap menjalin hubungan baik sebagai sahabat, ternyata nggak sesuai dengan visi dan misi pacar barunya. Mungkin gue bisa dengan mudah berkata bahwa gue bisa kembali berteman dengan mantan, tapi nggak untuk pacar atau lingkungan barunya. Ada hal-hal yang gue anggap baik, namun tidak untuk orang lain.
And I have to deal with it.


=====


Kembali ke pertanyaan gue yang sederhana: Haruskah kita masih bertemu atau bahkan menjalin pertemanan dengan mantan?

Gue tentu punya dua versi jawaban berbeda. Jawaban positif lewat cerita gue di atas, dan jawaban panjang gue lewat pendapat pendek di bawah.

Jawabannya adalah….

JANGAN.

Jangan sekali-sekali kamu berpikir untuk ngajak ketemuan mantan. Kecuali kamu mau mencoba peruntunganmu menjadi Rangga –yang tidak lebih dari seonggok cowok bajingan nan egois yang datang dari kejauhan untuk kembali mendekat dan mengais-ngais luka yang sudah kering pada orang yang telah lama memutuskan untuk sembuh dan bahagia.

Pertama, yang kamu lakukan ke mantan itu, jahat.

Kedua, ingat kodratmu, kamu bukan Rangga.

JANGAN.

POKOKNYA JANGAN.


Captain Rangga. Bajingan sejak dalam pikiran. (credit to: @imandita)

Nolak mantan ngajak ketemuan doesn’t mean kalau kamu sombong, atau memutus tali silaturahmi, atau apalah-apalah. Ada hati yang harus kamu jaga. Entah hati pacar barumu, entah hati pacar barunya. Kita harus sadar bahwa kedewasaan berpikir kita, nggak bisa serta-merta kita paksaan kepada orang lain. Bertegur sapa di sosmed menurut gue udah cukup. Itu pun kalau berlebihan akan mengundang masalah baru. Entah masalah dengan pacarmu, atau bermasalah dengan pacar barunya.

Kalau gue udah gagal menjadi pacar yang baik untuknya, gue akan menjadi mantan yang sempurna baginya. Gue udah mengantarkan mantan gue ke depan pintu gerbang, ke kekasih barunya. Tugas gue udah selesai. Gue nggak akan ganggu, gue akan pergi, dan biarkan dia bahagia tanpa perlu membuatnya mengingat apa-apa tentang masa lalunya.

Come like a king, leave like a legend. 

Mungkin, pilihannya hanya ini –jika aku tak bisa memilikimu seutuhnya, aku akan kehilanganmu sepenuhnya..


Share:

6 Komentar

  1. cieee... paling enggak lu putus bukan karna ngembat gandhi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha! Ternyata kamu mengikuti ceritanya yaa..

      X)))

      Hapus
  2. Don bulan ini gak ada tulisan naik tayang kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya sih ada, tapi masih belum maksimal. Masih terus ditambah dengan membaca. Haha!

      Hapus
    2. Gue udah mengantarkan mantan gue ke depan pintu gerbang, ke kekasih barunya.
      Ini di ralat don, udah bukan kekasih tapi suami.

      *ditimpuk*

      Hapus