Flashback
ke masa SMA, gue dibesarkan di lingkungan yang keras. Medannya begitu terjal
dan dipenuhi jalan berlubang. Senioritas merajalela. Apalagi waktu kelas 10,
setiap hari setelah pulang sekolah, gue selalu dicegat di luar gerbang sekolah.
Dipinggirkan dan dibawa ke gang-gang kecil, tempat para kakak-kakak kelas
nongkrong. Di moment-moment itulah gue dipertemukan dengan yang namanya,
tawuran.
Dari
sana gue belajar bahwa orang-orang songong,
belagu, banyak gaya, dan banyak bacot,
hidupnya nggak akan lama. Ini terbukti saat beberapa teman sekelas gue dan
beberapa yang berbeda kelas menjadi bulan-bulanan para senior. Terus gue kasian
sama mereka?
Nggak.
Ya,
mereka adalah contoh orang yang banyak gaya, belagu, dan sombong. Sifat-sifat
seperti ini nampaknya nggak diberi kesempatan menghirup udara segar di sekolah
gue. Dan hebatnya, kekompakan antar para senior dalam memusnahkan orang-orang
belagu ini, membuat setiap aksi pengeroyokan nggak pernah ketahuan pihak
sekolah.
Termasuk
ketika gue digebukin sama para senior. Nggak ada yang tahu. Mau ngelapor,
besoknya gue digebukin lagi. Ya, gue adalah salah satu dari orang yang memiliki
sifat-sifat di atas. Terus gue mengasihani diri sendiri?
Nggak.
Awalnya,
gue menganggap bahwa rentetan kejadian ini adalah tindakan premanisme dan pembully-an. Di tengah cenat-cenut memar
dan rasa kedut-kedutan jahitan di pelipis, gue anggap ini adalah cara Tuhan untuk
mengubah sifat gue. Api dibalas dengan api. Setahun pertama di sekolah itu
membuat banyak perubahan dalam diri gue.
Pada
tahun kedua, tepatnya kelas 11, gue baru merasakan maksud dari rentetan luka selama di kelas 10. Gue jadi punya
banyak teman, terutama dengan para senior. Gue jadi lebih ramah, nada bicara
udah nggak naik seperti dulu, dan
satu hal yang paling gue syukuri adalah tempramen gue pun menurun. Dulu, ketika
dibecandain dan gue nggak suka, pasti langsung ribut. Sekarang ketika
dibecandain, suka nggak suka, gue malah ketawa. Entah kenapa, di saat yang
bersamaan, gue menjadi lebih disukai oleh banyak orang. Lebih diterima.
Tiga
tahun dibesarkan oleh kekerasan yang
mengubah, membuat gue membenci sifat-sifat gue yang dulu. Iya, sifat yang
dimiliki orang songong, belagu,
banyak gaya, dan sombong. Sekarang, ketika ketemu sama orang macem di atas, gue
lebih milih menghindar. Gue nggak mau terlibat lebih jauh dengan orang seperti
itu. Sederhana, gue nggak mau kembali menjadi orang yang emosian. Karena
ngeliat orang model begitu, gue bawaannya pengin ribut.
====
Kembali
ke zaman kuliah, menjelang akhir semester tiga, di bangku perkuliahan, gue
ketemu lagi sama orang model begini. Orangnya banyak gaya, gaya bicaranya songong, dan hal yang paling memperkeruh
suasana adalah.. dia ngondek. Semua persyaratan untuk menjadi target bully, dilengkapi sama dia.
Sebut
saja dia, Amir.
Di
awal pertemuan, gue berusaha untuk berpikir positif karena gue sadar, gue udah
jahat banget nge-judge dia dengan
bawa-bawa masa lalu gue ke dalamnya. Saat itu gue juga sadar kalau gue udah
subjektif banget.
Semua
terasa baik-baik aja sampai gue terlibat pembicaraan dengannya malam itu.
“Don,
ikut dugem lah.”
“Aduh,
gue mau belajar nih, besok ada test lisan. Lain kali deh, Mir.”
“Halahh,
lo mau belajar kayak apa juga, tetep aja IP lo segitu-gitu aja.”
*DHEG!*
“Iya
tau dehh yang IP-nya tiga koma.”
“Yaelah,
santai aja sih, mending dugem dulu. Rempong luh.”
“Lo
ajak yang lain ajalah.”
“Ah
cupu lo. Belajar gaul lah sama gue.”
*DHEG!!*
Gue
besar di ibukota, gue dibesarin dari SMA tawuran, memar dan luka jahitan sering
bersarang di muka. Dan dia bilang gue cupu.
“Mir,
bokaplu tu guru SD, minggu lalu kan dia dateng ke sini, lo disuru belajar yang
rajin, jangan ngambur-ngamburin duit aja kerjaannya. Lo nggak kasian sama
bokaplo?”
Semenjak
percakapan kami malam itu, pertemanan kami retak.
Ingnoring each other is the perfect
way.
Cuma
kalimat itu yang bisa gue ucapin sambil menahan kepalan tangan supaya nggak
naik dan memukul. Sampai sekarang gue masih nggak ngerti sama orang yang
kebelet gaul dengan menghalalkan segala cara. Selain banyak gaya, high profile, dia ini ngondek. Gue
yakin, nggak ada cowok yang nggak emosi ketika dinyolotin sama cowok ngondek.
Kalau udah ngondek, mbok yang rendah
hati gitu lho.
=====
Beberapa
bulan kemudian, gue nggak sengaja dipertemukan dengan seorang cewek di XXI.
Adegan dalam cerita ini ini benar-benar sungguh FTV. Ya, waktu itu kami
melakukan hal yang sama. Kami sama-sama memegang tiket “The Avengers” dan
sama-sama menunggu seseorang di depan pintu masuk studio 2.
Pemutaran
film jam 19.45, kami sudah berdiri tepat di depan studio 2 sejak jam 19.20. Kami
cuma sibuk dengan telfon masing-masing. Beberapa kali kami terlihat sibuk
menghubungi pasangan masing-masing.
Jam
19.35, raut kegelisahan sudah tak mampu lagi kami sembunyikan. Gue terlihat
jalan kesana-kemari di depan studio sambil menempelkan telfon di dekat telinga.
Cewek itu juga mulai menyibak rambut belah tengahnya, diiringi muka bete gegara
batal makan sushi.
Announcement
kalau pintu studio 2 telah dibuka, berkumandang. Satu persatu para couple dan
anak nonton memasuki studio 2 lalu menyerahkan tiketnya di untuk disobek gitu
aja sama mbak-mbak embem. Tapi nggak untuk kami. Kami masih di luar. Sama-sama
memandangi layar telfon. Sama-sama berwajah kesel.
Tiba-tiba
mbak-mbak embem di depan pintu masuk memanggil gue.
“Mas,
itu tiket The Avengers di studio 2 kan?”
“Iya,
mbak.”
“Lho,
udah mulai filmnya. Itu pacarnya nggak diajak masuk?”
Gue
nengok ke cewek itu.
Cewek
itu nengok ke gue.
“Bu-bukan
mbak, dia bukan pacar saya. Cowok saya nggak seganteng ini.” bales cewek itu.
“Bu-bukan
mbak, dia bukan gebetan saya. Gebetan saya nggak se-aduhai ini.” bales gue.
Oh,
bukan. Bukan begitu percakapannya, bukan.
Akhirnya
kami jadi penonton yang terakhir kali masuk ke studio itu. Dengan muka gondok,
gue nonton sendirian. Udah capek-capek gue beliin tiket, eh sang gebetan malah
nggak bisa dihubungi menjelang film dimulai. Ya begitulah, dunia pedekate memang kejam.
Dan..
ternyata seat kami bersebelahan. Ada
dua seat kosong di antara kami. Siapa
lagi kalau bukan diisi oleh partner nonton kami. Dia sama cowoknya dan gue sama
gebetan. Tapi mereka nggak ada. Studio sore itu penuh, namun menyisakan 2 seat kosong yang memisahkan duduk kami.
Saat
itu gue ngerti kalau nonton sendirian garing abis, nyet.
Di
sela-sela nonton, gue sempetin ngeliat wajah cewek itu. Mukanya bete mampus.
Palingan diceng-cengin dikit lagi juga nangis. Makanya gue suka heran aja kalau
ada cowok tega mukulin ceweknya sampe nangis, padahal.. cewek diduain atau
nggak dikasi kabar dikit aja udah nangis.
Filmnya
udah mulai dari tadi, tapi dia masih aja sibuk dengan telfon genggamnya. Sayang
sekali, dia punya jemari yang lembut untuk menggenggam sebuah telapak tangan,
tapi jemarinya habis digunakan untuk menggenggam henfonnya. Dia bete tingkat
dua minggu nggak dibayarin makan sushi.
Terus
apa bedanya sama gue, udah nelfon dari pagi dan dijawab iya sama gebetan, udah gue beliin tiket nonton, dan itu hari sabtu
(kamu tau sendiri kan kalau harga tiket hari sabtu itu nggak bersahabat), tapi
nggak dateng. Mending ngasi kabar, lha ini nggak sama sekali. Ditelfon juga
nggak dibales, di-SMS pun nggak diangkat.
Anjis
curhat banget, Setan.
Di
tengah kegelapan ruangan itu, gue cobak menegurnya.
“Kamu
kenapa, pacarmu nggak dateng, ya?”
Dia
nengok, “Iya nih, kamu juga?”
“Oh,
hehe dia belum pacar, masih pedekate aja sih, hehe.” Gue cengegesan dalam
kegelapan.
“Kamu
nggak jemput dia?” Bales cewek itu.
“Ngg..
aku nggak tau di mana kosannya.”
“Dasar
cowok, biasain sih kalau mau ngajak jalan ya musti tau di mana domisili
ceweknya dong.”
Gue
diem.
Dalem.
“Ngg..
lha kamu nggak dijemput pacarmu? Kok kamu yg malah nungguin dia di XXI?”
“Aku
yang beliin tiketnya, dia nanti nyusul. Tapi malah nggak dateng. Eman-eman kan udah beli 2 tiket gini
malah nggak ditonton. Ya, udah nonton sendiri deh.” Bales dia dengan suara terseret-seret.
“Cowokmu
kok jahat?”
“Iya,
nggak tau kenapa nih.”
Yes,
terusin Don terusin.. bikin dia curhat, Don!!
“Kamu
mau tau nggak dia ke mana sekarang?”
“Ke
mana? SMS ku nggak diangkat, telfonku nggak dibales.”
“Dia
lagi main futsal, terus pacar barunya nontonin dia main, ngasi semangat dari
luar lapangan.” Bales gue.
“AH
NGGAK MUNGKIN!! NGGAK MUNGKIN!!”
“SSSTTTTTT..
WOY JANGAN BERISIK, KAMPRETTT!!!!” Suara dari penonton di belakang gue.
“Nggak
mungkin tauk! Kamu nggak usah ngada-ngada gitu deh.” Bales cewek itu sambil
pelanin suaranya.
“Yaudah
gini, cowokmu hobinya apa cobak?”
“Ma-main
futsal.”
“Tuh
kan bener.”
“TIDAKKKKKKK..”
Cewek itu kembali histeris.
“Terus
aku harus gimana cobak??” tanya cewek itu.
“SSST,
jangan keras-keras, nanti dimarahin orang belakang lagi.” Gue pindah ke seat sebelah. Sekarang, jarak gue
dengannya cuma tinggal 1 seat.
(Pelanin
suaranya lagi) “Ya terus aku harus gimana cobak?” tanya cewek itu lagi.
“Kamu
samperin tempat dia biasa main futsalnya.”
“A-aku
nggak tauuuu. Gimana dongg??”
“Tuh
kan bener. Ya gimana kamu bisa tau, dia kan emang sengaja nggak bilang kalau
mau main futsal. Soalnya dia bawa cewek lain.”
“KYAAAA
TIDAKKKKKK..” Cewek itu menjerit sambil ngerapihin poninya.
“SSSTTT!!
Jangan keras-keras, nanti dimarahin lagi sama orang sebelah dan belakang.”
Bales gue.
“Ya,
aku harus gimanaaaaahhh??” Dia pindah ke seat
sebelahnya yang kosong. Dan sekarang, gue sebelah-sebelahan sama dia.
Yes.
Strategi gue berhasil.
“Jadi
gini, api dibalas api. Selingkuh dibalas selingkuh.” Bales gue pelan.
Dia
menatap gue, tercengang.
=====
Setelah
kejadian absurd itu, gue dengannya mulain menjalin kedekatan. Ternyata penggalauan
massal gue di studio 2 itu bener. Tapi cowoknya nggak selingkuh di lapangan
futsal. Cowoknya adalah seorang gamer. Cowoknya selingkuh sama cewek lain yang
juga seorang gamer. Anjis, drama
banget. Itu cowok biasa bohongin si cewek dengan alasan main futsal. Otomatis si
cewek itu nyangka hobi cowoknya adalah main futsal. Hubungan si cewek itu pun kian menjauh. Gue sebagai striker oportunis, tentunya nggak menyia-nyiakan peluang emas ini.
Sebut
saja si cewek itu, Marissa.
Selang
beberapa minggu kemudian, gue ngajak Marissa nonton Dark Shadow – sebuah film
drakula absurd yang diperakan oleh Johny Depp. Berawal dari studio lagi, gue
mulai kenal lebih akrab dengan Marissa. Dia agak beda dari cewek-cewek yang gue
kenal. Dia unyu. Juga garing. Kalau dia udah kumat, gue sering menyembah
kegaringan Marissa. Di sela-sela film berlangsung, mata kami bertemu, terang-terangan
menyangkal, namun diam-diam saling ingin memiliki.
Sampai
akhirnya kejadian yang nggak diharapkan terjadi.
Marissa
adalah termasuk cewek yang nge-gank. Dan seperti yang kita udah tau, di setiap
gank cewek-cewek cakep, pasti bakal ada satu atau dua cowok kecewek-cewekan
alias ngondek di dalamnya. Entah harus dengan hukum apa menjelaskannya, pokoknya begitu. Kata orang-orang,
cowok kecewek-cewekan alias ngondek ini adalah aset buat ngedeketin salah satu
personil gank cewek cakep itu. Kalau bisa deket sama cowok ngondek ini, jalan
gue masuk ke gank itu bakal mulus. Gue bakal dapat cewek cakep itu. Impian dapat
tercapai. Status jomblo pun sirna.
Tapi
sialnya nggak terjadi buat gue.
Cowok
ngondek itu adalah Amir.
Dunia
selebar daun kelor itu benar adanya.
Lebih
sialnya lagi, gue dijelek-jelekin di depan Marissa. Siapa lagi kalau bukan ulah
si Amir.
Hari
itu gue belajar, dalam sebuah sistem pertemanan cewek kebanyakan, temen-temen
dalam gank atau komunitas bersuara lebih
nyaring ketimbang suara dari hati sendiri. Seperti pemukiman penduduk yang
padat, api kebencian menyebar begitu cepat. Begitulah hidup, cinta berubah
menjadi benci hanya dalam hitungan detik.
Marissa
lebih mendengar masukan dari teman-teman gank-nya ketimbang kata hatinya
sendiri. Konflik personal yang terjadi antara gue dengan Amir terdahulu menjadi
bumerang bagi kisah gue hari itu.
Belum.
Belum kelar sampai di situ. Temen-temen Marissa di gank-nya, juga ikut memusuhi
gue. Padahal, kenal gue juga nggak. Mereka kenal gue cuma lewat Amir. Bermasalah
dengan satu orang, malah membuat dijauhi banyak orang.
Dan yang paling menyedihkan, hari itu Marissa berubah total. Mungkin benar, melihatmu berubah adalah cara sederhana menyambut kehilangan.
Inilah
yang disebut memusuhi kok ngajak-ngajak..
====
Setelah
beberapa kasus di memusuhi kok
ngajak-ngajak, gue nggak menyalahkan siapapun, termasuk diri sendiri.
Kadang, ada beberapa masalah yang memang datang nggak untuk diselesaikan, tapi
hanya datang gitu aja, kemudian menguap lagi. Ampasnya itu disebut pelajaran. Kalau
aja gue nggak bermasalah sama Amir, mungkin ceritanya nggak jadi gini.
Amir
nggak seratus persen salah. Saat itu gue juga berkaca pada diri sendiri.
Harusnya, gue nggak ngebawa-bawa masa lalu gue ke hari itu, ke hari di mana gue
ngebanding-bandingin Amir dengan sifat-sifat yang gue benci.
Tapi
itulah sebuah ujian. Kita kerjain hari ini, hasilnya baru bisa kita liat di
waktu yang akan datang. Dan sering berakhir dengan nilai jelek. Di saat itu
juga kita nyesel, kenapa nggak belajar lebih rajin.
Tapi
tenang, masih ada remedial..
Jatuh
cintalah sekali lagi!
from Don Juan
Wrote by Don Juan