Sadar yang Pudar
Matanya, sembab-lembab.
Belakangan aku tahu, akulah bapak dari segala
sebab.
Katanya, sesal memahat jahat.
Belakangan aku tau, aku lemah dalam isyarat.
Pikirnya, aku secangkir pahit.
Belakangan aku tau, apa balasanku setelah bersahid.
Harapnya, melupakan dan maju.
Belakangan aku tau, ia berjatuh-kasih dengan yang baru.
Tapi apakah ia tau?
Mataku, sembab-lembab tanpa sebab.
Kataku, sesalmu perihku terima kasih.
Pikirku, pahit tak selalu sakit.
Harapku, pelukan dengan memutar waktu.
Tapi apakah aku tau?
Iya. Aku tahu
Katanya, sesal memahat jahat.
Belakangan aku tau, aku lemah dalam isyarat.
Pikirnya, aku secangkir pahit.
Belakangan aku tau, apa balasanku setelah bersahid.
Harapnya, melupakan dan maju.
Belakangan aku tau, ia berjatuh-kasih dengan yang baru.
Tapi apakah ia tau?
Mataku, sembab-lembab tanpa sebab.
Kataku, sesalmu perihku terima kasih.
Pikirku, pahit tak selalu sakit.
Harapku, pelukan dengan memutar waktu.
Tapi apakah aku tau?
Iya. Aku tahu
Aku sadar yang pudar.
Tags:
Puisi Kacang
0 Komentar