Long Distance Religionship - chapter 6
#6
Pertengkaran-pertengkaran
dalam pikiranku malam itu tak dapat kuakhiri. Aku merindu lebih dari segala
kesendirian yang sepi mampu berikan. Aku kira, luka paling sakit adalah saat
melihat kau sendiri. Ternyata, ada luka yang lebih sakit, yaitu mendengar
percakapan kita yang mengaku bersama, namun begitu gagang telepon aku tutup,
kita kembali merasa sendiri.
Aku salah.
Tahukah
kamu, mengapa Tuhan menciptakan jarak? Jika benar Ia ingin menyatukan, mengapa
sekarang kita cuma menerka-nerka, menyambung rindu tiap malam sambil
menciumi kening gagang telepon?
Tenang,
aku sudah tahu jawabannya, sayang. Jarak cuma semata kata, akan kita lipat
menggunakan rasa. Kelak jika kita bertemu, siapa yang duluan dihancur oleh
rindu? Aku ataukah kamu? Tenang, kita akan hancur bersama-sama, sayang.
Tuhan menciptakan jarak
untuk melihat seberapa keras rindu kita berteriak.
Walaupun
begitu, aku juga tahu, bahwa aku harus menemuimu. Tidak sekedar dalam ingatan, kali ini aku
akan menemuimu dalam pelukan. Di hari itu akan kita ingat, bahwa dengan bertemu,
rindu tak cuma ungkapan semu. Tak lagi harus mendengar nada tunggu. Aku yakin
gagang telepon akan cemburu.
Ah!
Setelah
gue tutup telfon darinya, gue mulai mengumpulkan niat untuk hijrah ke kotanya. Sebenernya
gue sama dia tu deket. Banget. Cuma temen-temen gue aja yang lebay nyebut gue
LDR-an sama Dea. Gue nggak beda Negara kok. Gue nggak beda bahasa juga kok. Gue
cuma beda domisili. Dia di Paser. Gue di mana ya?
Umm,
lahaciyaa.
Kalimantan memang keras..
Mengapa harus
berdiam lama pikirku. Bergegas aku siapkan langkah kakiku. Dengan menggendong
tas ransel, kukencangkan tali sepatuku. Peluh-peluh berjatuhan seakan ingat
bahwa waktu tak akan menunggu. Saat itu siang sangat berdebu, terik mataharinya
juga nampak cemburu.
Di tengah
perjalanan, aku berpaling melihat sisa-sisa rindu di tangga waktu tatapan kami bertemu.
Hati ini seperti lebam dipukuli tangis. Mengenang bukanlah perkara sederhana
bagi mereka yang jatuh cinta. Aku keluarkan semua rasa ragu. Siang ini, aku
sedang mengejar sosok yang telah kutunggu-tunggu.
Sosok dirimu, menyamar
sebagai rasa rindu.
Perjalanan dari kota gue ke kota dia ditempuh dalam
waktu kurang lebih 8 jam. Iya, delapan jam. Tapi, buat para pecandu cinta jarak
jauh, delapan jam menunggu itu hal sepele. Iya, SEPELE. Karena bagi kami, menunggu
adalah sebuah keseharian. Menunggu waktu bertemu, misalnya. Menjelajah ke kota kekasih cuma bermodal uang
pas-pasan, sedikit pengetahuan geografi, dan deodoran.
Engken
ne..
“Akan
kusayangi kau! Walau beda agama! Walau beda pulau! Walau susah move on-nya!”
Perjalanan ke Paser lumayan sangat jauh. Tapi ya namanya
juga cinta. Mau dari sini ke jepang juga gue jabanin. Asal naek pesawat, tiketnya
dibeliin, terus pramugarinya pake celana gemes sama baju ketek, terus gue
dipangku sama pramugari di pesawat. Duhh gusti, akuuh mimisan.
Sebelum berangkat, gue udah sms-in temen gue yang
ada di Paser. Ya, namanya kita samarkan menjadi ****.
Tim
A: “Anjrit, gue nggak tau! Pas!
Gue: “Yak, sekarang clue-nya bertambah! menjadi
***n.
Tim
B: “Iis Dahlia!”
Gue: “Yak, tim B salah!” Oper ke tim A!”
Tim
A: “Emm, Udin!”
Gue: “Tim A juga salah!! Sekarang clue-nya
menjadi **an.
Tim
A: “IKAN!”
Gue: “Ikan gigilu gondrong! Tim A salah! Oper lagi
ke tim B!”
Tim
B: “Elvi Sukaesih!!”
Gue: “Your head blown up! Palelu meledug!! Empat huruf, kampret!!! Tim B didiskualifikasi!!!!”
Tim
A: “IMAN!!!”
Gue:
“Yak seratus juta buat tim A!”
Akhirnya, setelah menggelar lomba cerdas cermat
antar kelurahan yang berlangsung sangat sengit, akhirnya gue sepakat
menyamarkan nama temen gue menjadi Iman. Gue kenal Iman lewat facebook. Ya.. dulu,
waktu gagal ngegebet cewek, daripada gue main facebook tanpa hasil, akhirnya
ada cowok kece nyapa di wall, gue
sikat juga.
Tanpa
pikir panjang, gue telfon iman.
Gue: “Man, mungkin untuk beberapa hari ke depan, gue
nginep di rumah elu ye. Memporak-porandakan kamarmu, dan tentu saja di atas
kebahagian aku yang bertemu dengan kekasihku. Layaknya dua merpati yang
terpisah mencari makan, lalu pulang berpapasan di sarang rindu mereka.”
Iman: “Nanti kita boboknya bareng ya.”
Telfonnya
langsung gue matiin.
Sampai
di mana diary gue tadi..
Tak
terasa, pukul sudah menunjukan pukul 16.00. Senja di atas laut mulai mewujudkan
pesonanya. Tapi aku mengacuhkannya. Karena aku tahu Tuhan menciptakan dua
senja. Senja yang baru saja aku lihat, dan senja yang menenggelamkan matahari
lewat senyumannya. Senja di wajahnya.
Sayang, tolong jangan kecewakan aku. Aku sedang membawa
mawar berupa kejutan untukmu. Aku telah sisihkan durinya untukmu. Aku beri air
hingga tak sedikitpun layu. Semua kulakukan untuk membuatmu terharu, akan
kedatanganku. Yang sudah dirayap rindu.
Senja berganti malam. Tak terasa, aku telah menghabiskan
banyak waktu di perjalanan ini. Aku lihat orang sekitar, mereka semua terlelap.
Suasana menjadi sepi-sunyi. Angin malam berlalu-lalang di depan wajahku.
Bus ini melaju dengan
kencangnya.
Buat aku merasakan
lelah. Lelah mencari arah jalan pulang, pulang kepadamu.
Habislah rindu ini jika aku biarkan ia tetap menujumu.
Angin nya sejuk sekali.
Bergantung melambai di kelopak mataku.
Memaksa aku memimpikanmu.
Sejenak pejaman ini berselang, sorot lampu jalan
berseling.
Aku buka kedua mata ini. Lalu diam.
Aku,
Sudah sangat dekat dengan kebahagian..
Dea.
From @irfannyhanif feat. Don Juan
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar