I'm Friendzoned and I know it - chapter 8
Malam semakin larut. Pancake kami hanya tersisa untuk suapan
terakhir. Sisha sudah tak mengeluarkan asap. Sayup-sayup kucium aroma hujan.
Aku dan ia tetap tak ingin pergi. Dua lengannya seperti melingkari
tubuhku. Aku tak ingin beranjak, lalu
untuknya kubuatkan saja sebuah sajak.
Langitnya muram,
menanggalkan awannya, lalu menghitam. Di bawah sana, tanah gersang berpuisi
tentang kekasihnya.
Langit tak sengaja
mendengar, Langit terharu, Langit
menitikkan air mata.
Kemudian tanah gersang berdoa, meminta
kekasihnya dijatuhkan dari pelukan langit. Namanya, rintik hujan. Perlahan
membentuk genangan berupa kenangan.
Kekasihnya datang dengan gerimis. Lalu ia mengeluh
pada langit, “Aku tak ingin jatuh sendirian!” Langit mendengarnya. Sekarang
kita akrab menyebut mereka hujan deras.
Hujannya deras
sekali. Hilang dihanyut sungai. Di
sungai panjang, berliku, dan tak berujung. Di sudut matamu.
Kemudian hujan pun turun. Deras sekali.
Aku pun menutup mata. Begitu kubuka, tau-tau sudah pagi. Aku
terbaring di kamar.
Kuraih ponselku di atas meja, ada dua pesan masuk. Yang satu
bertuliskan, “Selamat pagi, sudah bangun?
Cepat bangun, jangan telat kuliah ya.” Yang satunya lagi, “Terimakasih, Downy. Gara-gara kemarin Sakti
kamu telepon, ia berencana ke sini dalam waktu dekat. Sekitar dua hari lagi.”
Apa yang telah kulakukan tadi malam?
Kenapa menjadi seperti ini?
Apa?! Sakti ingin menemuinya?!
Dua hari lagi?!
Dan kenapa juga aku meminta Sakti untuk menemuinya?!
Kemarin, aku meminta Sakti via telepon untuk datang menemuinya.
Dengan mengaku sebagai temannya Nia, akhirnya ia pun sedikit banyak menceritakan
tentangnya, tentang hubungannya, dan tentang apa yang ia rasakan pada Nia.
Sakti bekerja di Bandung, ia sulit membagi waktu antara Nia dengan
pekerjaannya. Ia juga memaklumi jika tidak memberi kabar adalah hal yang lumrah
terjadi pada hubungan jarak jauh mereka. Dari suaranya, ia nampak mencintai
Nia. Tapi aku berharap tidak. Lelaki pandai bersuara dan menyuarakan kata.
Sebagai lelaki, tentu aku tak lekas percaya. Tapi, tak seperti yang kuduga, ia
menyanggupi permintaanku. Permainan yang kubuat berbalik menyerangku sendiri. Aku
seperti memberi sebilah belati kepada Sakti dan mengiris-ngiris hati ini di
depan Nia. Dua hari lagi, ia akan berangkat ke sini, ke tempat aku berbaring,
tepat di mana air mata Nia mengering.
Mungkin, luka ini luka sederhana. Sesederhana pembicaraan
hangatku bersamamu, namun segalanya tentang dia. Segalanya.
Sakti berangkat hari Rabu pagi dari Bandung. Kemungkinan, ia
sudah sampai di sini sore hari. Ia berjanji bertemu dengan Nia malam hari pukul
20.00 di sebuah bangku taman. Di bawah sinar lampu taman. Di dalam pelukan yang
nyaman. Hebatnya, aku yang mengatur ini semua. Aku menantang maut. Setelah ini
hanya akan ada dua hal yang mungkin terjadi, aku patah hati atau hati aku
patah.
Sebelum Nia bertemu dengannya, cuma satu pesan singkat yang aku layangkan padanya. “Take your time.”
Menjelang pukul 20.00, aku gusar. Apa yang akan terjadi di
sana? Apa yang akan mereka lakukan di sana? Aku kalut, aku ingin berlutut
meminta kepada maut. Tolong, jangan biarkan Nia dan Sakti menjadi larut dalam
pelukan yang tak pernah surut. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi melihat
mereka. Di taman itu, di bawah lampu taman itu, Nia sudah menunggu. Banyak
pasangan sedang menyantap sedu sedan dalam kebersamaan di sini. Banyak pedagang
berlalu-lalang. Kembang api dinyalakan. Meledak indah di kegelapan. Ini festival
malam.
Tapi tidak untuk Nia, ia sedang menunggu. Yang satu menunggu
belahan hati, yang satu lagi menunggu untuk patah hati. Aku mengintainya di
balik semak belukar. Bersiap untuk terluka. Entahlah, jika ia adalah perih,
mungkin aku adalah sebuah logika yang lupa bagaimana rasanya terluka.
Sekarang pukul 20.30, ia masih duduk di sana. Lampu taman
masih menyorotnya. Ia hanya melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari Sakti.
Sekarang pukul 21.00, ia masih duduk di sana. Lampu taman
masih menyorotnya. Ia nampak sibuk dengan ponselnya. Mungkin ada banyak pesan
singkat yang ia layangkan. Sesekali ia mendekatkan ponselnya di telinganya, ia
mencoba menghubungi Sakti.
Sekarang pukul 21.30, ia masih duduk di sana. Berkali-kali ia
berdiri, lalu duduk, kemudian berdiri lagi. Lampu taman masih menyorotnya. Wajahnya
sudah tak seperti tadi, ia banyak kehilangan senyumannya.
Sekarang pukul 22.00, ia masih duduk di sana. Kali ini, aku
yang kesal. Sudah pasti cinta yang membuat Nia mampu menunggu selama ini. Perilaku
mengintai yang aku lakukan sekarang mengundang perhatian banyak nyamuk. Nyamuk-nyamuk
menggerayangiku. Aku bunuh saja mereka. Aku seperti Tuhan, nyawa mereka ada di
tanganku. Aku ingin keluar dari semak-semak ini.
Tak disadari, sekarang pukul 23.30, orang-orang sudah pulang.
Lampu-lampu sudah dimatikan. Kursi-kursi sudah dirapikan. Tapi ia masih duduk
di sana. Lampu taman itu masih setia menyorotnya. Berharap ada seteguk-dua
teguk harapan yang masih bisa ia nikmati.
Ia murung. Kulihat ia merenung, seperti seekor burung yang
terkurung. Tak ada lagi senyum melengkung, menghiasi pipinya yang lesung.
Parau.
Hujan membawa luka, mendungnya mengeram duka
Menangislah di bawah
hujan, Sayang.
Agar tak sempat
kusadari
Yang jatuh dari pipimu
itu air matamu atau air hujan, Sayang.
Ia terisak-isak bersamaan dengan jatuhnya gerimis. Aku tak
ahli dalam menatap kesedihan. Apalagi jika terjadi padanya. Aku perlahan
mendekatinya. Dalam diam aku duduk di sampingnya. Kudekatkan diriku.
“Maafkan aku. Tak seharusnya ini terjadi padamu, Nia. Tak seharusnya aku minta Sakti menemuimu.”
Nia mengusap-usap air matanya.
“Dia tidak datang.”
“Mungkin, belum datang.”
“Dia tidak datang, Don.”
“Mungkin, belum datang. Mungkin kamu bisa menunggunya
sebentar lagi.”
“Aku tak menunggu kedatangannya!”
Hujan mulai deras.
“Lantas, siapa yang kau tunggu?”
“Aku tahu jika Sakti tak akan datang, maka aku menunggu seseorang
yang pasti akan datang menemuiku di sini.”
“Siapa, Nia?”
Hujan deras. Tangisnya kembali deras.
“Seseorang yang membuatku nyaman di banyak setiap gelak dan
tawa.”
“Siapa, Nia?”
“Seseorang yang akan
menjemputku pulang ketika ia tahu bahwa orang yang aku tunggu tak akan pernah
datang!”
Kubuka jaketku. Kupakaikan antara kepalaku dengan kepalanya. Setidaknya
bisa sedikit menghalau hujan.
“Nia, ayo pulang.”
Nia memelukku. Di bawah hujan. Di bawah sorot lampu taman. Ia
berbisik. Bisiknya samar. Namun aku tetap jelas mendengar.
“Kamu sudah pulang.”
“Aku selalu pulang. Kau rumahku.”
Aku memandangnya, ia memandangku. Hujan deras.
“Nia, ia mencintaimu sudah
separuh hati, aku mencintaimu sudah separuh usia.”
Nia hanya tersenyum. Air hujan membasuh senyumannya. Menetes di
bibirnya. Jatuh di bibirku.
- to be continue –
From Don Juan
Tags:
The Playboy Stories
3 Komentar
kereen deh, lanjutannya secepatnya ya don.
BalasHapusihik ihik ihik..
BalasHapusGanteng bener dah ni cerita, lanjutin dah tong...:D
BalasHapus