Berpisah dengan Indah?
“Sesuatu yang harusnya berpisah, haruslah
berpisah. Sesuatu yang harusnya tidak menyatu, sudah seharusnya tak menyatu.”
Kalimat di atas adalah contoh dari pedang bermata dua. Iya,
pedang bermata dua. Karena nggak mungkin ada pedang bermata kaki. Yaudah sih.
Di sebelah sisi terkesan pesimis
karena nggak berusaha mempertahankan hubungan, di sisi yang lain akan terlihat
seperti memaksakan sesuatu yang memang seharusnya nggak bertahan.
Dan ini sebuah konflik berkepanjangan buat cowok.
Buat cowok, termasuk buat gue,
mutusin cewek adalah hal mengerikan. Cewek adalah makhluk cerdas yang pandai
berkelit dalam mengantisipasi hal ini. Gue nggak begitu berpengalaman sama hal
yang satu ini.
TRAGEDY 1.
Waktu itu malam tahun baru 2010
menyambut kedatangan 2011. Gue punya pacar yang namanya Murni. Nama ini nggak
perlu gue samarkan lagi karena namanya emang udah terlihat seperti nama
samaran. Tubuhnya molek, sintal, semampai, dan senantiasa harum semerbak. Dikarenakan
terlalu cakep, banyak yang ngincer dia bahkan ketika sudah pacaran sama gue.
Tiap hari ada aja cowok lain yang berusaha deketin dia, nyepikin dia, gombalin
dia, ngajak jalan dia, bahkan bayarin ini-itu ke dia. Awalnya ini bukan masalah
buat gue. Belakangan, cowok-cowok yang ngajak jalan dia cakep-cakep. Berkaca
dari gue yang sedikit agak kurang ganteng dari cowok-cowok itu, akhirnya gue
mendeklarasikan bahwa ini adalah sebuah masalah.
Kalo gue jadi Murni, gue pasti lebih
milih cowok-cowok cakep itu. Hubungan kami jadi sering ricuh, riuh, dan penuh
jalan berlubang. Singkat kata, bahtera rumah pacaran kami.. retak.
Dia seksi, dia cakep, dia cantik,
tapi kalo bersamanya nggak bahagia, apa yang harus dipertahankan? Kembali ke
malam tahun baru itu, gue ngajak Murni jalan ke sebuah kafe di Jakarta. Malam
itu ada konser Sheila on 7 di kafe tersebut. Kalo nggak salah, itu pas acara
Radio Show Tv One. Eross Chandra mulai memainkan intro “Waktu yang tepat untuk
berpisah”.
Gue: “Beb, nyadar
nggak sih kalau kita sering berantem berbulan-bulan belakangan?”
Murni: “Iya, ya. Abis kamu nggak mau ngertiin aku sih.”
Gue: “Tapi, kan
kamu jalan sama cowok-cowok itu. Ya, wajar kan kalo aku marah?”
Murni: “Tapi
mereka kan cuma temen!”
Gue: “Tapi beb..”
Murni: “Kamu tuh ya,
dari dulu nggak pernah ngertiin aku! Jalan sama temen aja curiga! Kamu selalu
begini!
Gue: “Ta-tapi..”
Murni: “Yaudah lah, aku
capek kalo gini terus! Kamu maunya sebenernya apasih!?!?”
Gue: Sambil menelan ludah, “O-oke, apa kita break
aja dulu?”
Murni: “APA?!? Jadi kamu mau kita putus?!?
Oh, jadi kamu udah punya yang lain?!? Udah punya yang lebih cakep dari aku?!!
Jawab!”
Orang-orang di kafe
mulai ngeliatin kami.
Gue: “Gi-gini, jadi
kita..”
Murni: memotong, “Yaudah,
aku capek! Aku mau pulang aja sekarang!”
Gue: “Tapi kan kamu
berangkat bareng aku.”
Murni: “Oke terus?? Aku
pulang sama yang lain. Dia udah nunggu di luar.”
Gue: “Lah, kok jadi
gini? Beb, tunggu dulu. Jangan pergi dulu. Ini Bill yang bayar siapa??”
..gue hening.
Yang salah siapa, yang marah siapa, yang bayar bill siapa.
Gimana
ini..
TRAGEDY 2.
Di awal-awal Januari 2009, kalo nggak
salah tanggal 23, gue merajut kasih via jejaring social. Kami dipisah jarak.
Kami LDR. Jarak yang ada di tengah kami, saat itu, merupakan jalan setapak yang
terjal. Jauh dari kekasih memaksa gue untuk bertemu dua hal baru di dunia ini:
Kangen dan seutuh-utuhnya kangen. Jauh
dari kekasih, juga semakin mendekatkan gue dengan bisikan setan. Iya, mencari
seseorang yang dapat mengisi kekosongan hari-hari gue di saat jauhnya pelukan
hangat kekasih.
Kalo nggak salah juga, November 2009, gue
berniat mutusin Gaby, sebut saja namanya begitu, tentu aja lewat telepon.
Gue: “Mbem, ini
malam minggu, kamu nggak jalan-jalan ke mana gitu?”
Gaby: “Nggak sih, di
rumah aja, kamu mau ke mana emangnya?”
Gue: “Udah, kamu
malmingan aja, gapapa kok. Sama cowok lain juga gapapa.”
Gaby: “Loh, kok
ngomong gitu sih?”
Gue: “Coba liat lagi hubungan ini, kita cuma
lewat berbicara lewat telepon, ketika couple lain berbicara lewat pelukan.
Gaby: “.......”
Gue: “Coba liat lagi, kita cuma berbicara lewat
telepon, ketika couple lain berbicara lewat tatapan mata yang panjang.”
Gaby: “.........”
Gue: “Coba liat lagi,
kita cuma bisa bertengkar lewat telepon kemudian diam, ketika pasangan lain
bertengkar lewat gestur tubuh dan
kemudian berpelukan dalam diam.”
Gaby: “.......”
Gue: “Coba ingat-ingat lagi, kita cuma bisa saling
menerka-nerka, ketika pasangan lain saling menatap dan menemukan.”
Gaby: “........”
Gue: “Coba liat
lagi, kita cuma bisa..
Gaby: “HUUUAAAAAAAAAAAA..”
Gaby nangis.
Gaby: “Kamu jahat!
Kamu jahat! Ka-kamu ja-hat!!
Gaby nangis kejer.
Gimana ini..
Air mata adalah lethal weapon yang dimiliki kaum cewek untuk mematikan gerak-gerik
mencurigakan cowok. Siapa yang tega ngeliat cewek nangis cobak. Niat gue bikin
dia galau lalu minta putus, harus berakhir seperti ini.
Gue: “Tapi coba lihat lagi, kita masih lebih baik.
Banyak dari mereka yang tiap hari bertemu, tapi tak pernah merasa bersama.”
Gaby: “Cungguh?”
Gue: “Coba lihat lagi, mereka bertengkar ketika
sering bertemu. Mereka tak menghargai apa makna sebuah pertemuan layaknya kita.”
Gaby: “Noodle what?”
Gaby: “Coba lihat lagi, mereka tak pernah mengerti
apa makna dibalik LDR. Kita adalah seniman cinta. Kita yang mengerti bagaimana
menyalin dan menyadur rasa kangen ke dalam suara dan kata-kata.
Gaby: “Amacaci?”
Gue: “Coba lihat lagi, bukankah jarak yang
nantinya menguatkan kita? Bukankah jarak yang membuat kita menghargai apa makna
dari sebuah pertemuan? Bukankah jarak hanya sebatas metafora di tengah cinta
kita yang tengah bergelora?
Gaby: “Uhhh, kamu.. Iya,
bener ya. Aku sayang kamu banget. Mwaahh.”
Gue: dalem hati,
“KENAPA HARUS SEPERTI INI JADINYA. KENAPA. KENAPA?!?” “Iya, aku sayang kamu
juga. Lo-love you too.”
Gimana
ini..
TRAGEDY 3.
Nggak ada makhluk di dunia ini yang
nggak pengin diperhatikan. Ketika diperhatikan, semua terasa romantis. Namun, jangan lupakan prinsip tentang apapun
yang berlebihan pasti bakal berakhir nggak baik. Perhatian yang berlebihan?
Ini adalah pacaran tersingkat gue.
Nggak sampe 3 bulan. Panggilan sayang gue ke dia, Nana. Sederhana, itu diambil dari kata Banana. Dia suka banget sama
pisang. Dia udah jatuh cinta sama pisang sebelum jatuh cinta sama gue. Nah, si
Nana ini adalah fashionista. Jika
dibandingkan dengan gue, yang suka nabrak-nabrakin warna baju sama celana, gue
mungkin adalah fashion-nista.
Nana: “Kamu nggak
cocok pake baju putih, sayang. Gigi kamu kuning, pake baju warna coklat!”
Gue: “Tapi yank..”
Nana: “Kamu nggak
bagus pake baju kedodoran itu, sayang. Pake yang ini!”
Gue: “Ta-tapi beb..”
Dia nyuruh gue pake baju yang nge-pres di badan. Alhasil, gue
sukses disangka badut dufan di depan khalayak ramai.
Nana: “Kamu nggak
cocok pake sepatu ini, sayang. Pake yang ini!”
Gue: “Ta-ta-tapi
beb..”
Dia nyuruh pake sepatu
lama gue yang udah kekecilan. Keesokan harinya, jempol kaki gue cantengan. Gue
udah berdoa hingga menangis, meminta supaya jempol gue nggak diamputasi.
Nana: “Kamu nggak
cocok pake celana itu, sayang. Pake yan...
Gue: memotong, “UDAH, SEKALIAN AJA SURUH GUE NGGAK
USAH PAKE CELANA. DARI DULU LO NGATUR SEMUA YANG GUE PAKE TANPA MAU DENGER GUE SEDIKTPUN!!”
Nana: “Don, kamu kasar
banget sih.”
Gue: “Udahlah, kamu macarin tukang jait aja kalo dikit-dikit ngomongin ukuran celana lah,
warna baju lah! Lihat ini, celana jeans gue jadi pensil 2B begini gara-gara lo
bawa ke tukang jait. INI MAKEKNYA GIMANA??! KAKI GUE NGGAK BISA MASUK!!! UDAHLAH,
KITA PU..
Nana: “Lho, kok kamu
minta putus?! Aneh ya, diperhatiin kok malah marah?!”
Gue: “Ya, abisnya kamu
yang salah!”
Nana: “APA?! AKU YANG
SALAH?! TUNGGU BENTAR. Yang diperhatiin itu siapa?
Gue: “Aku.”
Nana: “Harusnya kalo
udah diperhatiin bilang apa?”
Gue: “Ma-makasih..”
Nana: “Nah, kalo ada
orang yang udah diperhatiin terus malah marah, yang salah siapa?”
Gue: “A-aku.”
Nana: “Kalo ada orang
yang udah diperhatiin, terus marah-marah, terus minta putus, NAMANYA APA?!”
Gue: “Jahat..”
Nana: “TUH KAN. KAMU EMANG JAHAT! KAMU NGGAK PERNAH
MAU NGERTI AKU. KAMU NGGAK SAYANG SAMA AKU.”
Gue: “Beb..”
Nana: “UDAH, JANGAN HALANG-HALANGI AKU! AKU CAPEK. IYA,
CAPEK. CAPEK SAMA SEMUANYA. AKU MAU PULANG.
..hening.
Gimana
ini..
Oke, itu sedikit tragedi mengenaskan
yang masih teringat dengan jelas di kepala gue. Buat gue, perkara mutusin cewek
adalah hal yang mengerikan. Cerita-cerita pendek di atas adalah bukti
kengeriannya. Lalu bagaimanakah cara terbaik untuk mengakhiri suatu hubungan
yang nyata-nyatanya merugikan sebelah pihak?
Jika mempertahankan apa yang udah nggak bahagia, apakah
disebut bodoh?
Jika nggak mempertahankan, apakah disebut nggak
bersungguh-sungguh?
Setidaknya, beberapa tragedi di atas,
mengajarkan gue beberapa hal. Yaitu bagaimana cara berpisah dengan indah.
Kalimat gue di atas termasuk bullshit. Padahal nggak ada yang namanya
berpisah itu indah. Setabah-tabahnya hati, ia tetap bukanlah sesuatu yang
tercipta untuk ditinggalkan, dan juga tidak tercipta untuk patah hati.
Sekali lagi, nggak ada hal yang
sia-sia. Berangkat dari ketidaksia-siaan, inilah beberapa cara sederhana
tentang berpisah dengan indah
Kadang untuk mengatakan
maksud utama, kita nggak perlu mengutarakannya secara langsung. Iya, jangan berbohong. Jangan
membual. Dan jangan juga katakan semuanya.
Fokus pada
ketidakharmonisan, buka mengenang masa-masa indah di masa lalu. Sering banget nih terjadi, bukannya
putus tapi malah melowdrama dengan kenangan-kenangan. Kalo mau putus, utarakan
semua ketidaknyamanan. Jangan ditutup-tutupi. Dengan jujur kita jadian, dengan
jujur kita udahan.
Jangan terang-terangan
di muka umum. Perpisahan
bukanlah hal yang patut dipertontonkan di depan orang banyak.
Rencanain berapa lama
waktu yg dibutuhkan untuk mutusin dia. Bukan karena emosi sesaat. Iya, walau dia adalah sesaat yang
selamanya, bukan berarti mutusin dia juga karena emosi sesaat. Perpisahan
adalah sebuah pilihan. Pilihan terakhir. Jika udah sampe di pilihan terakhir,
tentu udah mikiran matang-matang pilihan-pilihan lainnya.
Dan ini yang paling gue suka.
MENGHILANGLAH. Biarkan waktu yang menjawabnya.
Jika waktu tak sanggup
memasihkan kita, sudah tentu ia yang akan memisahkan kita.
From Don Juan
Tags:
TIPS AND ARTS
0 Komentar