The Perfect Twin
Di sela-sela kuliah yang dihadiri sekitar sembilan
puluh mahasiswa pagi itu, tiba-tiba henfon gue geter. Padahal, subuh tadi dia
udah bangunin gue lewat telfon. Nggak
bisa entar-entaran apa main kangen-kangenannya? “Haloh, aku lagi ada kuliah
ini, mbem.” Gue mengangkat telfon sambil nunduk-nunduk dan berbisik-bisik.
“Keluar
dari kelas sebentar plis, penting nih.” Balas Gaby dari henfonnya.
Gue
yang memang duduk di kursi paling belakang, langsung maju ke depan kelas untuk
memotong ceramah Dasar Manajemen dari Pak Dewa, meminta izin ke toilet. “Ada
apa, mbem? Aku udah di luar nih.” Gue kembali menempelkan henfon di telinga.
“Gini loh, sayang, Gandhi mau ke Jogja.”
“Lha, dalam rangka
apa dia ke sini?” Tanya gue sambil nyender enak di depan pintu toilet.
“Kan sebentar lagi udah mau Natalan, nah keluargaku
rencananya mau Natalan di Semarang, kampung papaku di sana.”
“Lah, kalau Natalan bareng keluarga di Semarang, kenapa
si Gandhi malah ke Jogja?”
“Duhh Downyyy, kamu udah sarapan belum sih, gini loh, sebelum
Natalan tanggal 25, Gandhi ada acara sama teman sejurusannya, semacam study
tour ke Jogja. Nah, tanggal 23-nya, aku sama papa dan mama jemput Gandhi di
Jogja. Setelah dari Jogja, baru kami ke Semarang. Gitu..”
Lah mana gue tau, nyet.
“Oh gitu, yayaya..” Sambil menggaruk-garuk kepala, “Apa
aku harus tetep nemenin Gandhi? Bukannya dia udah datang dengan rombongan
sejurusannya?” Gue melanjutkan.
“Nggak rombongan kok, kalau nggak salah cuma berempat
atau berlima, atau berenam, atau bertujuh, atau bersembilan gitu deh.”
“Duh pacarku tersayang, kalau sampe berdelapan gitu, udah
bisa disebut rombongan loohh..”
....
Gabriella Anastasia dan Gandhira Anastasia. Ya, umur
mereka hanya berselang beberapa menit. Setelah melewati kualifikasi secara
sengit, akhirnya Gaby mampu meraih pole
position. Gaby lahir duluan. Ketika lulus SMA, Gaby meneruskan kuliah dan kerja
di sebuah perusahaan maskapai penerbangan. Sedangkan Gandhi memutuskan kuliah
di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Gaby dijemput jemputan kantornya pukul
lima lebih dikit, makanya nggak heran kalau nyaris setiap hari, dia bangunin
gue subuh-subuh. Kalau normalnya orang LDR itu nelfon malem-malem, kami nggak. Kami justru pacaran subuh-subuh.
Pernah waktu itu Gaby nelfon gue pukul setengah empat
pagi, henfon gue geter di kegelapan. Gue yang setengah di awang-awang,
ngeraba-raba lantai mencari letak henfon yang geter. Kenapa henfon gue bisa ada
di lantai? Ya sederhana aja, gue kan tidurnya di lantai. Begitu henfon berhasil
gue raih, telfon darinya gue angkat.
“Sayaaaang, lagi apaaa?” Suara Gaby di seberang.
“Ngerrhmmmm...” Jawab gue.
“Uwuwuw, bangun yuk.
”
“Ngggggheeemm...”
“Udah
sarapan belum?” Tanya dia lagi.
“Nguuuummmm..”
Dan percakapan seperti itu terus berlangsung hingga
pukul setengah lima. Begitu pukul tujuh, gue terbangun dan bertanya-tanya, “Kok
henfon gue bisa ada di deket telinga gini?” Dia nanya pakai bahasa manusia lalu
gue jawab pakai ngorok, ya tetep nyambung. Bahkan, ketika gue masih tidur, kami
masih bisa berkomunikasi. Begitulah,
kadang cinta berbicara dengan bahasa yang sering tidak kita pahami.
Gandhira Anastasia, kalau dilihat-lihat dari ujung
poni hingga ujung celana gemesnya, dia memang lebih seksi dari Gaby. Dia
memiliki hobi menyakiti dirinya di tempat fitness. Walau sudah memiliki lekuk
tubuh yang membuat celana gue suka sesek sendiri, Gandhi ini membina hubungan
jarak jauh dengan timbangan. Gandhi juga seperti cewek remaja gaul 3B pada umunya;
behelan, belah samping, dan bening kayak ubin mesjid. Saat itu juga gue jadi ngerti, Tuhan nggak mencipta
pelangi cuma satu, Ia mencipta pelangi
sangat banyak. Satu yang melengkung setelah hujan,
dan sisanya melengkung di tiap lekuk tubuh Gandhi.
Selain cantik dan seksi, Gandhi ini juga garing. Banget.
Pernah waktu itu gue pamit pulang dari rumahnya. Gue pamit salim ke Gaby dan
Gandhi. Begitu hendak melangkahkan kaki ke pintu keluar, Gandhi menghentingkan
langkah gue.
“Don,
tunggu!” Teriak Gandhi.
Gue
pun dengan cepat memalingkan tubuh ke arah mereka lagi. “Ya?”
“Tunggu!” Teriak Gandhi lagi.
Gue
pun melangkah lagi ke arah mereka. “Ya,
kenapa?”
“Tunggu! Tunggu apa lagi? Cepet pulang sana." Jawab
Gandhi mantap.
See?
Gue jadi ngerti kenapa si Gandhi ini jomblo menahun. Walau
gue sering menyembah kegaringan Gandhi, gue selalu senang ngobrol dengannya.
Cuma dia satu-satunya cewek yang bisa manggil gue belatung nangka lah, ember
monopoli lah, tusuk cimol lah, dan
panggilan kebun binatang lainnya. Gue seperti becanda dengan laki-laki, namun
dalam bentuk cewek seksi bercelana gemes yang lekuk tubuhnya dihiasi pelangi.
“Ah,
nanti pokoknya Gandhi nelfon kamu deh, biar dia yang jelasin ke kamu.” Balas
Gaby lagi dari henfonnya.
“Yaudah,
kenapa nggak langsung dia aja yang nelfon?” Tanya gue balik.
“Suara
Gandhi itu suara aku juga loh, kami emang suka gitu. Dulu, waktu Gandhi masih
punya pacar, cowoknya sering aku telfon loh.”
Jika
benar begitu, apakah memacari Gaby juga termasuk memacari Gandhi?
Gue langsung bahagia di depan pintu toilet.
bersambung.
=====
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar