The Another Religion

Bukan menjadi hal yang asing ketika pacar ingin mengenalkan kita kepada orang tuanya. Hal itu juga turut gue rasakan sebagai pejuang jarak jauh. Cepat atau lambat, hubungan percintaan pasti akan menginjak ke fase krusial tersebut. Dan Gaby tetap bersikeras membawa gue semeja dengan kedua orang tuanya walau dia tau, kami sembahyang dengan cara yang berbeda.

Gaby adalah tipikal cewek yang selalu menceritakan kisah asmaranya kepada mama dan papanya. Hari itu, gue sadar bahwa tiada yang selamanya dapat disembunyikan, dan inilah membuat segalanya menjadi berubah.
Ya, berubah..

Kembali ke hari di mana mereka menyambangi gue di Jogja, hari itu masih siang, Gandhi dan kedua teman semoknya mulai merapikan barang bawaan mereka. Jam 12  mereka harus check out dari hotel. Gue membantu mereka memasukkan barang bawaan dan belanjaan mereka ke bagasi mobil. Layangan yang dibeli Gandhi pun ikut bikin penuh ruangan mobil. Mereka berencana langsung berangkat karena mereka ingin sampai di Bandung esok paginya.

“Yakin nggak mau belanja bapkia pathuk dulu, Yas?” Tanya gue sambil memasukkan koper-koper mereka ke dalam bagasi.

“Ah, kemarin kan udah nyobain, Don. Nggak usah deh yaa.” Nabila tiba-tiba memotong.

“Ish, itu kan dibeli buat oleh-oleh, lah kenapa lu makan semua? Dasar sapi perah, kerjaannya ngunyah mulu!” Yasha langsung menimpali.

“Yee biarin sih, yang penting kan tetep seksi! Iyaa nggak, Don?” Sergah Nabila sambil cengegesan.

Gue tidak menjawab.

Gue ngerti kenapa Yasha ngatain Nabila mirip sapi perah, soalnya sapi perah kan semok banget.

Setelah semua dirasa lengkap, Yasha dan Nabila pamit ke gue dan Gandhi. Mobil mereka semakin mengecil dan kemudian menghilang di penghujung jalan. Sekarang tinggal gue dan Gandhi yang menunggu kedatangan Gaby dan orang tuanya. Gue lihat jam tangan di pergelangan tangan kiri, jarum jam baru menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit, sedang orang tua si kembar baru tiba tiba sore hari.

“Duh, kita ngapain dong nih, bokap baru nyampe sore dan nggak tau jam berapa, ke mana dulu gitu?” Tanya Gandhi di depan hotel.

“Ya, terserah lo sih Gan,  lu mau ke mana, ya gue anter.”

“Yaa, kasih pilihan sih.”

“Yaudah, ke kos gue aja gimana?” Tanya gue kembali.

“Yeee, itu mah elo yang kesenengan. Hih.”

“Yatapi lo juga mauu, khan?” Bales gue sambil cengengesan.

“Yeee kagak, dasar mesum aja nih gunting batagor!”

Akhirnya kami sepakat ngemil di KFC Malioboro, sembari ngemil, di sana juga ada tivi buat nonton. Setidaknya bisa dijadikan tempat untuk menunggu waktu berlalu. Kami sepakat membeli dua burger dan dua gelas minuman ringan yang diberi tambahan es krim di dalamnya. Di lantai dua, di sofa panjang, kami duduk bersampingan ke arah luar, melihat hiruk-pikuk Malioboro di siang hari.


======


“Eh, Don, papa sama mamaku udah nyampe di Malioboro loh.” Gandhi memecah konsentrasi gue pada acara tivi yang sedang gue tonton.

“Udah di mana? Kok cepet? Ini masih jam berapa cobak?” Balas gue sambil nyeruput minuman ringan yang sudah tidak lagi manis karena es batu yang telah mencair di dalamnya.

“Udah di depan, Gaby tau kok tempatnya.” Jawabnya lagi. "Kayaknya bokap gue ngebut banget nyetirnya."

Gue dan Gandhi yang berada di lantai atas segera ke lantai bawah. Mobil CRV hitam yang dulu gue lihat di gerbang rumahnya Gaby, sudah parkir di depan KFC. Gaby turun dari mobil, menyapa kami dan memeluk Gandhi. Tapi gue nggak. Sialan.

“Eaa, gue dipeluk Gaby looh, elo nggak kebagian ya, Don? Hehe.” Gandhi melirik gue sambil tersenyum picik.

“Apasiiiih, aku rapopo kok.” Balas gue sambil mencubit pipi Gandhi.

“Ihhh kalian udah akrab yaa, seneng deh aku ngeliatnya.” Gaby tersenyum lucu ke arah gue.

Setelah itu papa dan mamanya Gaby juga turun dari mobil. Mereka hendak menjemput Gandhi dan segera melanjutkan perjalanan ke Semarang. Gue pun merelakan kepergian si semok.

“Mas Don sudah makan belum, baiknya makan sama-sama dulu yuk.” Mamanya si kembar tiba-tiba memotong.

“Oh, sudah tante, barusan kan dari KFC, makasih banyak tante..” Jawab gue sopan.

“Duhh, Sayang, ikutt ajaa yukk, papaku mau makan gudeg nih. Deket kok, di sekitar sini aja. Yukk..” Gaby turut memperkeruh suasana.

“Iya, ikut aja sih Don, lumayan nih makan gratis loh.” Gandhi juga turut memperkeruh suasana.

Akhirnya gue cuma bisa pasrah ketika digiring bersama-sama untuk ikut makan gudeg bersama keluarganya. Mobil mereka dan motor gue diparkir di dekat KFC Malioboro, kami berjalan kaki melewati warung-warung makan lesehan yang ada di seberang jalan. Tidak lama kemudian kami berhenti di sebuah tenda yang cukup ramai pembelinya. Konon katanya, warung makan yang ramai menjadi penanda bahwa makanan yang disajikan itu enak rasanya.

Ternyata gue salah, yang namanya gudeg dengan ayam, plus kuah khas yang entah diracik dengan berapa bumbu rahasia, ditambah dengan kreceknya yang begitu mematikan, itu selalu enak. Nggak peduli dengan ramai-sepinya pembeli, gudeg krecek tetaplah gudeg krecek, selalu enak sepanjang masa. Ya, walau akhirnya kembali ke selera masing-masing di mana orang boleh bilang suatu makanan itu enak atau nggak enak. Tapi tidak untuk gudeg krecek. Gudeg krecek adalah pengecualian. Semua harus setuju jika penemu gudeg krecek layak mendapat hadiah Nobel.

Kami duduk lesehan di meja paling pojok dan mengarah ke arah luar. Gue duduk di antara Gandhi dengan Gaby. Di depan gue, tidak lebih dari 50 cm sudah ada kedua orang tuanya. Ini seperti di sidang di tempat. Bedanya, kalau disidang di tempat sama polisi, masih bisa damai. Sedangkan disidang oleh orang tuanya Gaby, gue nggak bisa ngajak damai.

“Mas Don makannya lahap yaa..” Mamanya Gaby memalingkan fokus gue dari kuliner karya anak bangsa yang mahsyur itu.

“Oh iya tante, gudeg memang selalu bisa memunculkan rasa lapar kepada mereka yang bahkan sudah makan.” Gue menjawab sembari rasa lapar ditelan oleh gudeg krecek.

“Dia mah emang begitu, Mih, pokoknya semua yang bisa ditelan pasti dibilang enak.” Gandhi memotong.

“Iyaa, seneng ihh kalau ngeliat orang yang makannya lahap, nyenengin yang masak yaa.” Gaby memegang lengan gue sambil menatap gue dengan senyum khasnya.

“Saya ini senangnya makan yang pedas-pedas, Mas, tapi gudeg memang enak ya. Wajar kalau Mas Don senang tinggal di Jogja.” Bokapnya Gaby menambahkan.

“Selain makanan yang enak dan murah, di sini, makan di pinggir jalan akan selalu diiringi live music, Om.” Jawab gue sambil cengengesan.

“Oh ya?” Nyokapnya Gaby yang giliran bertanya.

“Lha, itu Tante, dari tadi ada yang lewat-lewat ngamen pakai gitar, pakai seruling, pakai biola, sebentar lagi Slank bakal konser di sini, Tante.” Jawab gue.

“Don, plis deh, elo jangan kayak kartun Larva deh, apasih banget tau nggak. Hih.” Gandhi menginterupsi.

“Ihhh, kamu lucu banget sihh, Sayangg..” Gaby membela ketidaklucuan gue barusan.

Sore itu suasana kehangatan sangat terasa di dalam tenda gudeg lesehan yang kami singgahi. Tawa canda berbalur aroma gudeg krecek juga turut melumerkan suasana. Hari itu gue merasa sangat dekat dengan keluarga gue yang jauh di Jakarta. Ya, buat gue, anak rantau haruslah mampu membuat lingkungan di mana dirinya berpijak menjadi keluarga barunya. Gaby adalah seseorang yang baru-baru ini menjadi bagian baru dalam hidup gue, dan dekat dengan keluarganya membuat gue semakin percaya, bahwa tiada yang benar-benar sebatang kara di hidup ini.

Makanan yang kami makan sudah habis, tapi kami tetap berada di warung lesehan itu untuk tetap bersenda gurau. Bokapnya Gaby meletakkan rokok mild-nya ke atas meja dan menawarkannya ke gue. Namun gue tolak. Ngerasa nggak enak aja ngerokok di samping pacar. Ya, sambil tertawa dan mengepus asap rokoknya ke arah jalan raya, beliau terus melanjutkan perbincangan. Sampai pada akhirnya pembicaraan yang hangat dan penuh kebersamaan itu membuat gue merasa sebatang kara lagi.

“Oh iya, Mas Don kalau di Jogja beribadah di gereja mana?”

Gue menengok ke kiri, ke  Gaby, menatapnya dengan tatapan wanjeer-gue-mesti-jawab-apa-nyet?

“Apa gerejanya juga di dekat kampus?” Tanya bokapnya Gaby lagi.

Gue keselek gudeg krecek.

Oh iya, gudegnya kan udah habis.

Gimana ini..

“Apa masih sempat ibadah sore di gereja jam segini, Mas?” Nyokapnya Gaby memperkeruh suasana.

Gue menengok ke kanan, ke Gandhi, menatapnya kalau inilah saat yang tepat buat gue untuk menggunakan jurus ninja: ngelempar bom asap, lalu begitu asapnya hilang gue telah berubah menjadi sebatang kayu.

“Gi-gini, Tante..” Gue coba untuk membuka mulut.

“Kalau tidak salah di dekat Kridasana ada gereja kan ya, Mas? Saya lewat sana, sepertinya di sana ada gereja.” Bokapnya Gaby melanjutkan.

“I-iya Om, di sana ada gereja, Om..” Gue coba mengiyakan bokapnya Gaby.

“Yasudah, apa kita ke sana saja sekalian, Mas?” Nyokapnya Gaby menambahkan.

Gue diam.

“Kok diam aja, Mas? Gimana? Apa kita ke sana saja?” Bokapnya Gaby terus menyerang gue.

Gue menengok ke kanan dan kiri, Gaby cuma menaikkan pundaknya, tanda tidak tau apa yang sebaiknya gue lakukan. Kemudian gue menatap wajah kedua orang tua si kembar, gue speechless.

 “Gimana, Mas? Nyokapnya Gaby kembali bertanya.

Gue masih diam sambil senyum-senyum nahan mules.

.....

.....

Mas ini agamanya apa, ya?”

DHEG!

Jab kiri dari bokapnya si kembar bersarang di muka gue, telak.

Apa mas Don ini bukan Katolik, ya?”

JEDUG!

Uppercut tambahan pun bersarang di perut gue.

“Gaby, Mas Don ini agamanya apa?Bokapnya terus menyerang gue dengan pukulan-pukulannya.

Gue terkapar di bawah meja lesehan.

Agama gue apa?

.....

.....

Agamaku adalah mencintaimu,

Menyebut namamu adalah kalimat syahadatnya.

Sebegitu gilanya aku mencintai anakmu, Om..



Mungkin, Thomas Jefferson waktu mudanya nggak pernah pacaran beda agama..




=====


Tiada yang bisa gue lakukan saat itu selain mengatakan hal yang sebenarnya. Sebuah perbedaan yang menurut gue sepele namun tidak sepele di mata orang lain. Setelah kejadian sore itu, sikap beliau berubah drastis. Ada gap di antara kami. Perbincangan tak pernah sehangat dulu, tak pernah sebercanda dulu, hanya ada jarak yang jauh, jarak yang bahkan sudah tak mampu diterka lagi seberapa jauhnya.

Pertemuan berikutnya, di bulan berikutnya, gue bahkan tak mendapat tempat di senyuman bokapnya. Ketika gue bertamu di ruang tamunya, hendak bertemu dengan anak cantiknya, beliau acuh saja berlalu di depan mata gue.

Gue sadar, jika gue tidak bisa memiliki Gaby seutuhnya, maka gue akan kehilangan separuhnya. Dan ketika melihat reaksi bokapnya, di sanalah gue mulai kehilangan separuh dari Gaby.


Aku tahu jika kehilangan adalah sesuatu yang pasti, yang tak kutahu, apakah harus secepat ini?

Share:

0 Komentar