Tiga Standar Ganda Terbaik
Pernah nggak kamu mendukung sesuatu, namun kalau sesuatu itu diaplikasikan ke kamu, hati kecilmu seperti berkata lain? Kamu jadi nggak dukung sesuatu itu lagi.
Contoh simpelnya, kamu menghujat LBGT, kamu menghunus agama layaknya pedang untuk menebas leher para LBGT yang berkeliaran di kampus-kampus, meneriaki LBGT itu penyakit yang harus dibasmi. Tapi kalau papasan sama Bunda Dorce, kamu salim, atau mungkin cium kening.
Atau, kamu mendukung LBGT, tapi begitu dagumu dijawil sama cowok ngondek, kamu mengurung diri di dalam kamar satu semester dan merasa bahwa dagumu sudah tidak memiliki kesucian lagi.
Kamu berdiri di dua kaki, namun masing-masing kaki berpijak di tempat yang berlawanan.
Kamu bermain dua kaki, kamu secara nggak sengaja menerapakan standar ganda pada pandanganmu terhadap sesuatu.
Sebagai anak muda belia yang hidup di belantara ibu kota, penuh macet, dan dipenuhi remaja yang pacaran beda agama (iya-iya, gue tau ini nggak nyambung tapi yasudah sih) gue pun menyadari hal ini. Sebijak-bijaknya manusia, pasti ada flaw -nya juga. Semantap-mantapnya gue berdiri dengan dua kaki, pasti ada sesekali kaki gue berpijak di hal yang berlawanan.
Iya, gue masih punya standar ganda, gue masih punya logical fallacy atas banyak hal.
Lewat tulisan yang gue buat dengan kemampuan seadanya ini, ijinkan gue untuk menjelaskan standar ganda yang mungkin dialami setiap lelaki.
Oh, nggak semua lelaki, ya?
Gue doang, ya?
Ini pasti bohong! Kalian semua telah berdusta padaku!
=======
1) Merokok dan Gemerlap Dunia Malam
Gue adalah cowok yang kayak gini. Tapi dulu. Buat gue, gapapa nggak punya pacar, yang penting bisa ngerokok dan dugem. Gue sangat senang bergaul dengan cewek-cewek di gemerlap malam.
Cewek-cewek dugem, atau yang lebih akrab disapa cewek 3B: belah tengah, behelan, dan blek mentolan, adalah tipe cewek yang gue idolai. Buat gue, mereka adalah tipe cewek yang sangat open minded. Enak banget ngobrol sama mereka, nggak ada GAP apapun. Teori-teori tentang cinta yang gue miliki banyak terinspirasi dari mereka.
Nah itu cuma sebelah kaki gue berpijak. Pada akhirnya, gue nggak mendukung sepenuhnya. Sebelah kaki gue berpijak di tempat yang berbeda. Gue adalah lelaki yang sangat mengidolai ibu. Gue pengin punya pacar atau bahkan istri yang mirip dengan ibu gue. Dan itu sangat berbeda dengan para cewek cantik yang merokok dan suka mabok ini.
Gue sangat mendukung cewek untuk ngerokok, mabuk, dugem, dll, namun sebagai teman. Tidak untuk pacar ataupun sebagai istri. Itulah kenapa gue nggak pernah langgeng kalau pacaran sama cewek yang merokok dan besar di tempat dugem.
Pernah waktu itu gue megang tangan mantan, terus bilang, "Kamu abis bangun rumah ya?"
Dia cuma mengernyitkan dahi, mungkin dia ngira mau digombalin. "Hah, kenapa emangnya?" Tanyanya.
"Tangan kamu baunya kayak kuli yang lagi istirahat terus ngerokok sambil minum kupi, bau aspal."
Abis itu, dia nggak mau megang tangan gue lagi. Iya, mantan gue itu rokoknya Jarum super.
Gue nggak rela ngeliat pacar gue ngerokok. Mungkin, karena gue udah nggak ngerokok.
Gue nggak jahat kan, ya?
2) Virginity
Ini juga menjadi kasus mainstream di kalangan para lelaki. Gue juga bingung dengan para lelaki ini, mereka kepengin punya istri yang perawan, tapi pas pacaran maunya merawanin.
Jujur, masalah keperawanan ini sebenarnya, buat gue, nggak penting banget. Cuma karena ada atau nggaknya selaput tipis aja, cewek udah bisa di-judge masih berharga atau nggak. Asli, ini stereotype yang jahat banget.
Padahal, buat lelaki, dapetin cewek perawan itu cuma sebatas memuaskan ego batiniah atau pride semata. Lelaki kayak abis menang pertandingan lalu ngangkat trophy gitu.
Ini terjadi juga ke temen gue yang punya cewek, yang bekgrondnya, mohon maaf, pernah dipakai banyak cowok. Gue berulang kali menasehati bahwa itu cuma masa lalunya. "Sebenarnya di situlah tugas lo sob, lo harus bisa menerima semua masa lalunya, dan menjadi masa depan yang cerah untuknya." Kata gue ke Acong, temen gue yang IPK-nya 1,9 itu.
Nah, sialnya, kaki sebelah gue belum berpijak di pandangan yang sama. Entah karena ilmu sekuler gue yang belum seberapa, atau guenya yang belum seratus persen dewasa, gue juga merasakan apa yang dirasakan Acong.
Gue pernah juga punya pacar kayak gini. Bekas anak dugem. Dia gue selamatkan dari dunia tersebut. Padahal sih, emang guenya aja yang nggak punya duit lagi buat bayarin pacar untuk dugem.
Setiap ada mantannya yang berusaha untuk mendekatinya kembali, gue selalu sedih. Gue selalu kebayang ketika dulu, ketika banyak tangan para lelaki singgah dan bermain di tubuh pacar gue.
Kadang, gue masih nggak rela.
Suatu kondisi yang anjingbanget buat gue. Di satu sisi gue harus jadi dewasa dan berkata, "Gapapa, itu cuma masa lalu kamu kan, cintaku ke kamu adalah tetap, selalu, dan akan." Namun, di satu sisi lagi, "Lah anjing, murahan amat lo jadi cewek!"
Di bungkus gue yang nampak bajingan ini, gue masih menyimpan sisi anak kecil yang merindukan sosok perempuan yang belum dijamah banyak tangan lelaki. Walau gue sadar, perempuan yang gue cari, nyaris hampir nggak ada.
Gue nggak jahat kan, ya?
3) Seagama atau Tidak
Kalau kamu merasa bahwa hidup ini perjalanan dari ketidakberuntungan satu ke ketidakberuntungan lainnya, mungkin akan gue iyakan.
Dari sekian banyak cewek yang seagama, kenapa yang tertarik sama gue yang nggak seagama, ya?
No luck for me..
Apakah, ini disebut kesialan?
Nah, sebelah kaki gue, seperti yang kamu sudah tau, tentu akan sangat mendukung pacaran beda agama. Gue nggak peduli sama agamanya, yang gue tau, gue cinta. Buat gue, mencintai umat beragama adalah lakum dinukum waliyadin yang gue terapkan. Sebuah harga mati.
Ya udah, gue cintai deh yang nggak seagama.
Ternyata, penerapannya nggak semudah itu. Gue nggak nyangka bakal diusir. Gue juga nggak nyangka kalau endingnya dia bilang, "Sayang, papa aku nanya, kamu kapan pindah agama?"
Bahkan, belum pacaran nih, baru nembak aja gue udah kena ospek dari beda agama.
Malam itu gue beranikan diri untuk ungkapkan perasaan, "Aya, kita udah cocok banget kan, kamu ngerasain apa yang aku rasain kan?" Tanya gue sambil memegang tangannya.
"Emang apa sih yang kamu rasain, Don?" Tanyannya kembali.
"Setiap menatapmu, aku menemukan jalan pulang.." Jawab gue, pelan.
"Aww.." Balas Aya sambil menggigit bibirnya.
"Ja-jadi, mau kan jadi pacarku?" Tanya gue kembali.
"Iyah, Downy, kamu ganteng deh kalo ngomongnya pelan gitu." Jawab Aya sambil tersipu-sipu.
Belum selesai, hati gue berteriak "WOOOHH ANJINGGG AKHIRNYA ILANG JOMLO GUEEEEEH!! KENISTAAN DI HIDUP INI TELAH SIRNA!!!! THANKS GOD!!!"
Tiba-tiba Aya memotong,
"Eh tunggu, tapi kamu nanti bakal pindah agama kan?"
Satu kafe hening.
"A-apa, Ya? Gi-gimana?"
"Iya, kamu tapi bakal pindah agama kan?" Tanyanya lagi.
"Ngg, yaudah kita jalanin dulu aja, Sayang.." Jawab gue sekenanya.
"Oh, yaudah, kalo gitu gajadi."
LAH ANJING, NEMBAKNYA HARI INI, DITERIMANYA HARI INI, EH DI-CANCELNYA JUGA HARI INI.
Bayangin, dia udah bilang iya, terus tiba-tiba di-cancel.
Anjing.
Di sinilah sebelah kaki gue yang lain berpijak. Di indonesia, pacaran beda agama 90% tidak bermasa depan. Ketika gue sangat mendukung remaja yang pacaran beda agama, di sebelah sisi lain gue juga sangat menyayangkan.
Karena 90% pasti putus. Dan yang paling sedihnya, ketika kamu udah kasih semuanya, tapi kamu tetap nggak bisa bersatu denganya. Taruhannya berat: pindah agama, atau putus.
Tiga standar ganda terbaik, yang pernah gue miliki..
2 Komentar
asiiik dah taunan gak mampir kesini banyak tulisan baru
BalasHapusHehehe, makasih yha udah mau main ke sini.. x-)
Hapus