The Perfect Twin 3

Rombongan yang ternyata cuma berisi tiga orang, yaitu Gandhi dan kedua temen semoknya, sukes bikin gue kerepotan. Sedangkan mereka yang sampai di Jogja subuh-subuh, harus menunggu sampai jam dua belas siang untuk bisa check-in ke hotel. Gue nggak tega melihat ada tiga cewek yang duh gusti ini lantang-luntung di Malioboro. Kuliah pagi pun sirna untuk kesekian kalinya. Barang bawaan Nabila dan Yasha banyak sekali, pergi ke jogja tidak sampai seminggu tapi barang yang dibawa seperti mau pindah warga negara. Hanya Gandhi yang cuma menggendong sebuah tas ransel di punggungnya. Sangat simpel. Wajar, Gandhi kan bidadari bermental cowok.

Gue nemenin mereka jalan-jalan di Malioboro dari subuh, dari ibuk-ibuk penjual gudeg krecek mulai menyiapkan lapaknya hingga terik matahari menyengat para pejalan kaki dan pedagang. Mereka berencana berlibur di Jogja selama kurang lebih lima hari. Ketika Gandhi dijemput Gaby dan keluarganya ke Semarang, Yasha dan Nabila berencana melanjutkan liburan ke Bandung sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Ya, mereka bertiga memang hobi travelling ke banyak kota menggunakan mobil. Acungan jempol buat mereka. Yang gue heran, kenapa juga Gandhi harus bohong sama keluarganya? Kelakuan anak muda jaman sekarang..

Begitu lewat dari pukul dua belas, gue mengantarkan mereka ke hotel yang sudah gue survey sebelumnya. Hotel yang gue pilihkan untuk mereka memang tidak sebagus hotel-hotel yang berada di sepanjang jalan utama Malioboro. Hotel yang gue carikan memang agak masuk di gang, dan berjarak tiga ratus meter dari jalan utama Malioboro. Walau begitu, tetap cukup bagus untuk dijadikan tempat menginap.

“Wihh lumayan kamarnya, Don. Harganya murah lagi, nggak salah deh Gaby nyuruh elo nemenin  kita-kita di sini. Ehehe.” Kata Nabila setelah merapikan barang bawaanya di kamar hotel yang gue pilihkan untuk mereka.

“Iya, satu malam cuma 175 ribu, kita bertiga cuma bayar lima puluh ribuan sehari. Lima hari nginep di sini nggak ada empat ratus ribu loh. Cakep deh kamuu Donn..” Yasha menimpali.

“Iya, kasurnya aja dua, ini mah bisa muat satu orang lagi.” Kata Gandhi setelah mencoba air hangat dari shower di kamar mandi.

“Yaudah, kamu bobok di sini aja sih, Don. Hehe.” Kata Yasha sambil menatap gue.

“Lo gila kali Yas, ntar kalau kita bertiga dihabisin sama Downi gimana?” Nabila memotong sambil menatap Yasha.

“Hey cantik, plis deh, kita ini bertiga, ada juga si Downi keleuss yang kita habisin..” Jawab Gandhi mantap sambil menatap Nabila.

What the hell happened with these girls.

“Hey lihat, cuacanya cerah yaa..” Jawab gue cepat.

Sore hari setelah mereka membawa mobil yang mogok ke bengkel, gue menemani mereka memuaskan nafsu shopping. Berbekal bahasa jawa seadanya, gue menjadi penawar harga di pasar-pasar tradisional di Malioboro untuk mereka. Dari sepatu, sandal, baju, longdress, dan masih banyak lagi. Semua barang yang dilihat mereka selalu dibilang lucu. Dari gantungan kunci, jam dinding, bahkan kuda yang sedang mengunyah rumput di depan delman pun dibilang lucu.

Kami menyisir sepanjang jalan Malioboro dengan berjalan kaki. Menawar harga setiap pedagang yang menjajakan dagangannya. Begitulah cewek, mereka itu melampiaskan nafsu shopping hanya dengan tiga buah alasan sederhana: mereka memang benar-benar butuh, mereka nggak benar-benar butuh tapi harganya murah, dan sama sekali nggak butuh tapi warnanya lucu.

Hingga malam menjelang, Gandhi hanya belanja satu kaus dagadu dan sandal yang katanya lucu, yang nggak bisa gue ngerti lucunya di mana. Yasha cuma membeli sepotong celana gemes bermotif batik yang sangat gue nantikan pemakaiannya. Ya begitulah cewek, masuk konter sana masuk konter sini, nawar sana nawar sini, kelilingin pasar berpuluh-puluh jam sampai kedua kaki mengalami cedera hamstring dan cedera metatarsal, tapi yang dibeli cuma satu. Udah gitu nyesel lagi, katanya harga sendalnya beda goceng sama toko sebelah. Udah gitu uring-uringan tiga bulan lagi.

Udah gitu yang disalahin siapa?

Ya, cowok.

Sedikit berbeda dengan kedua temannya, Nabila nggak membeli baju atau sandal, tapi dia beli semua jajanan yang dia liat di pinggir jalan. Dari jajan serabi, sate bakar yang ada di dekat pasar Bringharjo, dan gudeg krecek pun tak luput dijadikan cemilan. Semua disikat sama dia. Gue juga heran, dengan nafsu makan yang seperti kuli membangun rumah, bagaimana mungkin Nabila punya lekuk tubuh se-dangerous ini..

Mungkin benar, malaikat bersayap itu hanya di fairytale, malaikat sesungguhnya adalah cewek yang makannya banyak tapi tetap langsing sampai kiamat.


=====

Gandhi, Nabila, dan Yasha sudah empat hari di Jogja, sudah banyak tempat coba gue antarkan kepada mereka. Dari Candi Prambanan, Ratu Boko, Borobudur, sampai wisata kuliner di berbagai sudut di kota Jogjakarta. Kata Gandhi, orang tuanya dan Gaby akan sampai di Jogja esok hari. Artinya hari ini adalah hari terakhir Gandhi liburan di Jogja. Maka, pagi itu kami sepakat untuk main ke Pantai Parangtritis. Mobil yang sudah diservis pun langsung dijajal kebolehannya menuju pantai tersebut.

Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai di di pintu masuk. Hari belum dapat dikatakan siang, namun langit  biru cerah sudah menyambut kami. Angin yang sepoy-sepoy membawa aroma laut sampai ke area parkir kendaraan. Di sana juga banyak pedagang yang menjajakan suvenir Pantai Parangtritis dan makanan olahan dari laut. Gandhi berhenti di pedagang yang menjajakan layangan, ia membeli sebuah layangan koang, ekornya panjang,

Hari itu tidak begitu ramai. Ketika kami menginjakkan kaki di pasir pantai, tidak banyak orang yang berlalu-lalang, hanya ada beberapa orang yang sedang berlari-larian dan sebuah delman berpenumpang tiga orang yang tengah menyisir bibir pantai dengan perlahan. Mereka  duduk sebentar di pasir sambil mengoleskan sunblock. Ketika gue mencoba menawarkan diri untuk mengoleskan sunblock di punggung mereka, gue ditampar. Nggak peka, salah. Bermaksud baik, juga salah.

Di pantai Parangtritis itulah gue bertemu dengan kuasa dan keagungan ilahi. Ya, cewek-cewek gaul seperti mereka tentu saja hanya memakai pakaian minim di pantai. Celana gemes dan tanktop adalah buktinya. Yasha lebih hebat lagi, ia hanya memakai bikini dan selendang pantai yang ia bawa dari rumah. Rambut mereka disapa angin pantai, senyum mereka dipantulkan cahaya matahari, dan tubuh mereka dihiasi percikan air laut.

Nikmat Tuhan mana lagi mampu yang aku dustakan.

Angin yang kencang namun terasa sepoy membuat adrenalin pria sejati yang ada di dalam diri gue memuncak. Ya, adrenalin untuk bermain layangan. Layangan yang cukup besar ini ditebus dengan harga cukup mahal oleh Gandhi. Ya, Gandhi memang suka main layangan. Baginya, layangan membawa banyak pesan untuk hidupnya. Ketika sedang menggulung benang, Gandhi bertanya kenapa layangan bisa terbang. Gue yang tidak pintar pun langsung menjawab, “Ya karena kita tarik-ulur.” Gandhi menggeleng. Katanya, layangan itu bisa terbang karena menaiki angin, bukan melawan angin.

Gandhi pun memegang layangannya dan gue yang akan menariknya. Tidak mudah sebenarnya menerbangkan layangan sebesar ukuran tubuh lelaki dewasa. Begitu Gandhi mengangkat layangan dengan kedua tangannya, gue yang sudah siap dari kejauhan langsung menarik benang layangannya. Dengan seketika layangan besar itu menaiki angin yang datang padanya. Oke, ternyata mudah deng menerbangkan layangan. Gandhi berteriak kegirangan melihat layangannya mengangkasa.

Sementara gue asik dengan Gandhi, Yasha dan Nabila asik dengan berfoto di tepi pantai, mereka mempertunjukkan kebolehan mereka dalam berfoto selfie. Memainkan air laut yang menggenangi pergelangan kaki mereka, berpelukan sambil mengambil foto angle atas menggunakan salah satu tangan, dan sudah bisa diduga jika foto mereka akan di-post ke Facebook dan diberi caption, quality time at Parangtritis beach.

Gue duduk di atas pasir, di sebelah Gandhi, kami menatap layangan yang tengah tegak mengangkasa jauh di langit biru. Di depan kami, di jarak yang cukup, Yasha dan Nabila masih tetap main air di bibir pantai, sesekali mereka jongkok dan mengais-ngais pasir pantai, mungkin mencari umang-umang.

“Terus kita mau ngapain ini, Gan?” Gue menengok ke arah Gandhi yang masih menatap layangannya di langit biru.

Gandhi menengok, “Ya ngeliatin layangan aja, gue ngerasa damai aja kalau ngeliat layangan manteng di langit.”

“Pacar lo anak mana, Gan?” Gue coba mencari topik baru.

“Nggak punya, setelah putus dengan yang kemarin, gue males aja punya pacar lagi.” Jawabnya pelan.

“Lo nggak bisa move on?”

“Nggak kok, sebenernya jadi jomblo asik juga sih, gue jadi punya waktu untuk diri sendiri.” Katanya sambil mengulur benang layangan yang sekarang terlihat makin kecil di langit.

“Sampai kapan, Gan?”

Gandhi menengok ke arah gue lagi, kali ini ia juga memalingkan tubuhnya ke arah gue, sebelum ia bicara, angin laut membelai rambutnya. “Buat gue, pacaran itu bukan perihal mencari kebahagiaan, tapi tentang berbagi kebahagiaan. Harusnya, kita udah bahagia sebelum ketemu dengan pasangan kita. Percuma mencari kesenangan dalam wujud orang lain kalau menyenangkan diri sendiri aja nggak ngerti caranya.”

Gue menatap matanya. Gue terdiam.

Gue rasa kalimat Gandhi ada benarnya, gue dari dulu hanya sibuk mencari dari mana datangnya kebahagiaan, padahal bahagia yang paling sederhana datangnya dari dalam diri, dari diri sendiri. Gue terus mencari dan mencari, gue lupa memberi kesempatan pada diri gue untuk menyenangkan dirinya dengan caranya sendiri.

“Gan..”

“Ya?”

“Lo ini lucu, dibalik kelucuan lo, ternyata lo banyak menyimpan hal yang menarik. Lo cantik banget, Gan..” Gue menambahkan.

“Apasiii Don.. Lo jangan overexcited kayak Spongebob gitu deh. Hufft.” Gandhi membalas sambil menembem-nembemkan pipinya.

“Nggak, gue lagi nggak bercanda, lo cantik banget. Kalau dulu gue ketemu Gaby dan lo secara bersamaan, gue pasti nggak akan memilih keduanya.”

“Loh, kenapa?” Gandhi memotong dengan cepat.

“Karena kalian berdua nggak layak dijadikan second option, lo dengan Gaby hanya layak dijadikan first option. Tapi yang namanya first option itu kan cuma satu.”

“Apasiii Don, lo ngegombal panjang bener, hih.”

Gue mendekat lagi ke Gandhi.

“Gue nggak nyangka kalau Tuhan menciptakan Gaby lebih dari satu, Gan. Gue sayang sama Gaby, tapi ketika gue ketemu sama lo, gue nggak bisa membohongi diri gue sendiri, Gan.”

“Maksud lo? Lo pengin macarin gue juga?” Gandhi mengernyitkan dahinya.

“Nggak Gan, tapi..” Gue mendekat dan berbisik ke Gandhi.

Gandhi menggeleng.

Gue berbisik lagi di samping telinganya.

“Nggak mau.” Gandhi menggeleng lagi.

“Oh, yaudah.” Gue meletakkan tangan di pundaknya, meraih lehernya, dan mencium bibirnya.

Gandhi melingkarkan lengannya di pundak gue.

“Kan gue udah bilang nggak mau, tapi kenapa lu masih nyium gue?” Bisiknya tepat di depan mata gue selepas menarik bibirnya.

Gue melepas rangkulnya, “Karena matamu mengangguk padaku.”

Gandhi tersenyum.

See? Lo ini udah cukup bahagia, Gan. Lo tinggal berbagi kebahagiaan dengan cowok yang baru.” Balas gue sambil menyeka poninya. “Aku merasakan Gaby di bibirmu, Gan.”

“Apasii Don, dasar playboy! Nggak ada bibir Gaby, bibir gue yang lo emut. Hih!” Gandhi berdiri meninggalkan gue dan berlari membawa benang layangannya menuju Nabila dan Yasha yang masih sibuk di dekat debur ombak.

“Haha, dasar cewek, terus saja kau gelengkan kepalamu, kau sangkal cintamu, namun matamu tak pernah mampu menyembunyikan angguknya.” Bisik gue dalam hati.

Her lips taste, strawberry.



=====

Air laut mulai pasang, di pasir tempat kami duduk dan bersenda gurau, sekarang sudah digenangi air. Tidak terasa hari mulai sore, mungkin karena senyuman yang bercahaya dari ketiga cewek ini, matahari merasa minder dan ingin pamit kepada siang hari, matahari memutuskan untuk tenggelam saja.

Kami memutuskan untuk kembali pulang ke Jogja. Di perjalanan pulang, Gandhi yang duduk di belakang terlihat masih senyum-senyum. Senyumannya selalu mengingatkan kepada senyum Gaby ketika pertama kali bertemu dengannya. Dua orang saudara kembar yang begitu menyita perhatian. Mirip dari paras, lekuk tubuh, senyuman, walau berbeda dari sikap dan perilaku.

Aku bahkan bisa memeluk Gandhi dalam keadaan mencintai Gaby.

Sebegitu gilanya aku mencintai mereka.

The perfect twin, ever.










Share:

2 Komentar

  1. waduuuh nggak boleh donn... tar kalo jadi masalah keluarga gaby bisa rusak xixixixi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gapapa, hati aku juga dirusak sama dia..

      #Laaaah

      Hapus