Korelasi antara Lama Menjomlo dengan Kepakaran Terhadap Urusan Cinta
Sudah
lebih dari satu setengah tahun ini gue nggak pernah menulis apapun yang bertema
teknis dalam mencinta, maksudnya, hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana cara
punya pacar, pedekate, dan bagaimana membuat lawan jenis jatuh hati. Selain
sudah so last year banget, gue juga
merasakan bahwa semua orang pada akhirnya adalah pakar dalam cinta. Semua punya
cara masing-masing untuk menjadi pakar dalam bidang ini. Nggak bisa dipungkiri,
gue dulunya berangkat dari hal-hal seperti itu – yang hari ini orang-orang
sebut sebagai pakar cinta. Ya, membahas hal-hal seperti itu, maksud hati ingin
berbagi pengalaman, jatuhnya malah tipsy dan sok tahu.
Ketika
gue mulai aktif dalam dunia blog, ada banyak tulisan gue yang isinya tip-tip
dan trik tentang cinta. Ketika mengawalinya di kaskus, gue juga kaget sendiri,
responnya beragam. Namun, saat itu, gue beruntung, tip-tip cinta yang gue tulis
secara komedi lebih banyak mendapat kalimat positif daripada cibiran. Kalau
dilihat dari archive di blog,
postingan tentang tip dan trik, juga ada banyak sekali. Dan di hari ini ketika
gue kembali melihat ke belakang, gue kadang suka merasa, “Wah, jaman dulu
ternyata gue tipsy juga.”
Sekitar
awal 2012, ketika gue sangat rajin menulis tentang tip dan trik dalam mencinta,
ada satu hal yang akhirnya gue sadari: Saat itu gue lebih banyak menjomlonya
ketimbang punya pacarnya. Ya, waktu yang gue punya untuk membina bahtera
pacaran, jauh lebih sebentar dari waktu yang gue gunakan untuk kembali mencari tambatan
hati setelah gagal dalam pacaran.
Kalau
gue sederhanakan jadi: pedekate lima bulan, pacarannya tiga minggu, moveon-nya
9 bulan.
Ironis
memang, orang yang nyaris setiap hari memberi tips soal cinta, justru orang
yang paling lama didera oleh kesendirian, kejomloan, dan penolakan. Saat itu,
setiap upaya untuk mendapatkan pujaan hati selalu ingin gue ceritakan. Setiap
upaya yang berhasil, selalu gue tuliskan dengan cetak miring layaknya The Pathway to Glory. Dan semakin
membara ketika upaya yang gue lakukan gagal. Ya ketika gagal, gue selalu
menulis kebalikannya sehingga orang-orang yang membaca – walau gue tahu akan
sedikit yang mau membacanya, tidak mengalami kegagalan seperti yang gue
rasakan.
Dan
setelah lebih dari dua tahun ada di twitter, gue jadi sering bertanya, “Mengapa
jomlo-jomlo yang lebih sering kandas daripada berhasilnya ini, sangat pandai
dalam urusan cinta?” Bahkan, jomlo-jomlo yang punya pengalaman pahit di masa
lalu ini, pengetahuannya tentang membina pacaran lebih hebat daripada
pasangan-pasangan yang telah pacaran lebih dari dua tahunan. Dan yang gue
heran, orang-orang yang punya pacar ini sangat mengidolai jomlo-jomlo yang
hebat soal urusan cinta. Apakah benar jomlo itu sebenarnya lebih peka dan hebat
soal cinta ketimbang mereka yang sudah punya pacar?
Semakin
gue simak dan telusuri, pertanyaan besar pun mencuat, “Adakah korelasi antara
lama menjomlo dengan kepakaran dalam mencinta?”
=====
Kakak
gue yang bekerja di stasiun radio swasta pernah mewawancarai tokoh di twitter
yang bergelar pakar tentang cinta. Selama sesi tanya jawab, otomatis kakak gue
dan kru yang lain diberi “kuliah” sekitar 40 menitan tentang teknis dalam
mencinta. Dari segi kejomloan, mekanisme patah hati, moveon, sampai seks yang
seru untuk nyenengin pacar (Wow, serius ini, pakar cinta memang terkenal
sebagai sosok yang sekuler, Lol). Pakar cinta ini terlihat tahu tentang
segalanya. Sampai pada suatu kesempatan, seorang kru nyeletuk dan memotong, “Kalo
masnya sendiri, udah nikah apa masih pacaran?” lalu dijawab dengan enteng, “Oh,
saya masih single.”
Satu
ruangan hening.
Ini
ibarat di seminar motivasi di mana motivatornya yang ketika di panggung begitu berapi-api untuk membuat hidup orang lain sukses dan dicap
sebagai pengusaha tajir, terus tiba-tiba ditanya, “Pak, kalau boleh tahu, bapak
bisnisnya apa ya?”, terus dijawab, “Oh, nggak ada, saya nganggur aja di rumah.”
Anti-klimaks.
Hebatnya
para pakar cinta ini, baik yang pakar karena menjual seminar, maupun pakar di
sosmed, mereka selalu punya alasan yang
hebat ketika ditanya kenapa nggak punya pacar atau kenapa di umur yang sudah
matang nggak kunjung menikah. Ideologinya bagus. Filosofinya mantap.
Ada yang bersabda
bahwa menikah bukan satu-satunya jalan untuk menuju bahagia. Ada yang
berargumen bahwa punya pacar tidaklah lebih bahagia daripada jomlo. Ada yang
beranggapan bahwa kenapa dia jomlo karena mobil ferarri itu lakunya nggak cepet
kayak avanza. Ada juga yang berpikir bahwa punya pacar itu bentuknya mengikat,
membelenggu, jadi nggak bisa bebas kayak waktu jomlo. Dan ada juga yang ditanya
kenapa nggak pengin nikah karena Zayn Malik adalah cinta pertamanya. Dia cuma mau
nikah sama cinta pertamanya. Subhanallah..
Semua
paham di atas tentunya ketika ditinjau lebih dalam akan masuk akal. Memang ada yang menjamin kalau
menikah akan membawa bahagia lebih dari bahagia yang didapat ketika single?
Nggak ada. Kalau sudah pasti lebih bahagia, pasti nggak ada orang cerai di
dunia ini. Punya pacar pun pada nyatanya nggak lebih bahagia dari jomlo.
Faktanya, orang galau yang diakibatkan oleh pacarnya, juga sama banyaknya kayak
jomlo yang galau gara-gara chat-nya ke gebetan cuma dibales setahun sekali.
Logika mobil avanza yang lakunya lebih cepet ketimbang mobil ferarri juga masuk
akal. Cewek murahan pastinya menarik banyak cowok untuk memboyongnya ke kosan.
Semuanya masuk akal kecuali Directioners
yang hopeless di atas.
Lalu,
kenapa jomlo-jomlo ini bisa begitu hebat dalam urusan cinta dan bahkan diberi
gelar pakar?
======
Jose
Antonio Bolivar, seorang anak dari kota Ekuador, yang dibesarkan oleh suku
Amazon, mampu menjawab pertanyaan gue di atas. Jose Antonio Bolivar melakukan perjalanan
pertamanya pada usia belia, namun di perjalanan, kapalnya hancur dihajar ombak,
dan terdampar di pinggiran sungai Amazon. Ia ditemukan oleh suku pedalaman asli
sana. Singkat kata, akhirnya ia diangkat menjadi bagian dari suku tersebut.
Orang-orang di sana mengajarkan Jose tata cara berburu dan bertahan hidup di
kerasnya hutan hujan Amazon. Setelah dewasa, Jose Antonio Bolivar telah
menjelma menjadi pemburu yang hebat. Kehebatannya dalam berburu diakui oleh
kepala suku pedalaman Amazon.
Ringkasan
cerita yang tidak seberapa di atas adalah sedikit ringkasan dari Novel “Pak Tua
yang Membaca Kisah Cinta”. Luis Sepulveda, pemenang Sastra Spanyol Premio Tigre de Juan, mengisahkah kisah
Jose Antonio Bolivar dengan sangat teliti dan puitis.
You have to read this book! |
Salah satu bagian yang
menyentuh dari novel tersebut gue rasakan saat Jose Antonio Bolivar berkata, “Ketika berburu, kita harus dalam kondisi
setengah lapar atau kelaparan. Sebab rasa lapar akan menajamkan indra. Macan
akan sangat berbahaya ketika berburu di kondisi sangat lapar, saat mengira ia akan
menyerang dari belakang, ternyata taringnya sudah tepat berada di depan
tenggorokan kita.”
Kurang
lebih begitu.
Mungkin
tidak ada yang spesial dari kalimat di atas.
Tapi
buat gue, ini adalah kalimat yang menjawab pertanyaan.
Pernyataan
tentang “Lapar galak, kenyang bego” nggak sepenuhnya salah. Namun kurang tepat.
Kondisi lapar dan akhirnya emosian disebabkan oleh indra-indra yang sedang
tajam-tajamnya bekerja. Kita jadi lebih peka dan jadi lebih sensitif ke banyak
hal. Begitu juga ketika kenyang, jadi bego dan selow. Ini juga nggak sepenuhnya
salah. Ketika kenyang, indra-indra seperti tenang dan tidak merespon sehebat
ketika lapar. Makanya nego-nego politik sering deal seusai jamuan makan. Indra-indra
dan rasa jadi berkurang kewaspadaannya.
Fase
jomlo gue ibaratkan sebagai kondisi “kelaparan”, sedangkan jatuh cinta gue
ibaratkan dengan “berburu di tengah hutan amazon”. Di novel tersebut, diceritakan
bahwa hidup di hutan amazon tidaklah mudah. Jika tidak pergi berburu,
hewan-hewan buas akan pergi memburu kita. Bahkan, hewan seperti monyet bisa
membunuh manusia hanya karena keingintahuan terhadap barang-barang yang dibawa
manusia. Begitu juga tentang jatuh cinta, sudah banyak penulis yang mengisahkan
bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Jatuh cinta adalah
sesuatu yang berbahaya bagi pemburu yang tidak “lapar”.
Pemburu
yang “lapar” adalah pemburu yang awas, waspada, dan gesit. Indra-indranya tajam
melihat kondisi sekitar. Intuisinya cepat memprediksi langkah apa yang harus
dilakukan. Ini persis seperti jomlo yang
hebat soal cinta. Dengan menjadi jomlo, mereka lebih peka terhadap
masalah-masalah seputar cinta. Jomlo yang “lapar” akan membekali dirinya
dengan banyak senjata. Seperti banyak membaca buku soal psikologi lawan jenis,
cara mempengaruhi orang lain, dan tentu saja cara-cara untuk tampil well-groomed.
Kalimat-kalimat motivasi
pun jadi mudah diingat ketika dalam kondisi “lapar”. Entah mengapa, jomlo-jomlo
punya banyak sekali referensi kalimat yang bisa meluluhkan banyak lawan jenis.
Macan yang kelaparan bisa menyerang dari mana saja, persis seperti jomlo. Kadang,
pacar temen ditikung. Pacar orang aja disepik di DM. Cowok yang “lapar” bisa
ngelakuin apa aja untuk bisa bikin targetnya mau diajak one night stand.
Ini
juga gue rasakan ketika berada dalam fase “lapar”. Ketika jomlo, gue
benar-benar kelaparan. Gue jadi peka banget soal cinta. Ada banyak sekali
unek-unek gue tentang cinta dan teknis di lapangan. Tapi itu dulu, sekarang gue
seperti udah “kenyang’. Gue udah selesai berburu. Pacaran yang sudah lebih dari
setahun ini gue jalani, membuat gue tidak ingin lagi pergi berburu. Gue sudah
pulang ke rumah, tidak lagi berada di tengah belantara hutan. Indra-indra gue
sudah tidak ingin merespon cara-cara mendekati lawan jenis. Jujur, setelah
pacaran cukup lama, gue jadi kehilangan interest
soal tata cara mendekati lawan jenis dan cara mendapatkan hatinya. Buku-buku
tentang psikologi lawan jenis juga udah nggak pernah gue baca. Gue seperti udah
nggak up to date seperti dulu.
Pacar
gue juga pernah bilang kalau gue yang dulu, lebih romantis dari gue yang
sekarang. Dia nggak tau, dulu gue sedang berada dalam kondisi “lapar”, sekarang
tidak. Ngegombalin pacar sendiri ada filosofinya sendiri, bukan lagi tentang “berburu
di tengah hutan”.
Terakhir
dari gue,
Mungkin
bukan cuma gue yang sering bertanya kenapa pakar cinta yang mengusung tata cara
punya pacar dan mekanisme patah hati ini, mayoritas bukan dari orang-orang yang
punya pacar atau bahkan sudah menikah, itu karena: ketika kita punya pacar,
hasrat kita untuk “berburu” yang lain perlahan memudar (bukan berarti ketika
pacaran jadi nggak kepengin selingkuh), tapi cuma perlahan memudar, seperti
orang yang sudah makan lalu kenyang, jadi perlahan ngantuk dan selow. Itu aja.
Sedangkan
teori-teori tentang cinta itu harus terus up
to date, harus terus diperbaharui. Materi-materi seminar pun harus terus
di-update agar terus menambah minat peserta seminar. Seminar pun ramai dan
menjadi bisnis yang menjanjikan. Untuk bisa menjadi pakar cinta, orang harus
terus “lapar” dan haus akan ilmu-ilmu tentang cinta. Harus terus belajar dan
mencoba teori-teori baru. Atau dengan kata lain, harus terus menjomlo dan terus
mencoba. Sebab, tiada yang lebih berbahaya daripada macan kelaparan yang sedang
berburu.
Mungkin,
ada pakar cinta yang udah menikah, tapi gue nggak yakin kalau dia lebih hebat
dari pakar cinta yang udah “kelaparan” bertahun-tahun lamanya.
Tags:
Filosofi kacang
3 Komentar
Thx,buat info bukunya.
BalasHapussedikit aneh juga karena lapar dijadikan perumpamaan.
jadi teringat ttg buku yang isinya jelasin kekuatan kepepet.
different theme, but its like the same concept
Thanks kk don postingan tetang percintaanya gokil n gua jadi temotivasi nehh..
BalasHapushahahha mantep bangettt
BalasHapus