Masochist



Sudah lumayan lama gue nggak nulis di blog yang nggak pengin dilihat orang ini. Ya, terakhir gue nulis itu bulan Maret dan sampai Juni ini, gue sibuk dengan hal-hal yang setiap hari biasa kita lakukan dengan senang hati. Ya, menyakiti diri sendiri.

Benar, setiap dari kita memang senang untuk menyakiti diri sendiri.

Selain makhluk social, ternyata kita memang makhluk masochist.

Kata Masochism sendiri diambil dari nama seorang penulis sekaligus jurnalis Austria bernama, Leopold Ritter Von Sacher-Masoch. Secara bahasa, oleh beberapa kamus, Masochist didefinisikan sebagai orang yang suka menyiksa dirinya sendiri. Selain menyakiti diri sendiri, masokisme juga erat kaitannya dengan sado-masokis, atau melakukan hubungan seks yang tak akan terpikirkan oleh anak-anak pesantren sebelumnya.

Kita hanya sedang belajar untuk menikmati rasa sakit..


Setelah melalui perdebatan sengit yang cukup panjang dan melelahkan, kurang lebih lima menit, akhirnya gue bisa menyimpulkan kegiatan apa saja yang biasa kita lakukan di kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan bahwa kita adalah makhluk masokis. Gua tulis berdasarkan kebiasaan yang paling mainstream sampai kebiasaan yang nggak penting, tapi nyakitin.
Berikut adalah contohnya.




=======


1. Ngerokok

Belum lama ini, sekitar akhir Mei kemarin, prinsip bahwa manusia adalah makhluk masokis yang ada di kepala gue makin menguat. Akhir Mei kemarin adalah Hari Tanpa Tembakau sedunia – yang di mana banyak aktivis twitter menyerukan aspirasinya. Dan tentu saja pro-kontra. Gue yang notabene mantan perokok, tentu saja tidak terima dengan adanya hari tanpa rokok atau tembakau ini. Walau gue udah nggak ngerokok, gue nggak pernah ngelarang atau berkampanye mengajak orang lain untuk tidak merokok. Buat gue, ngerokok ya kayak lagi puasa saat bulan Ramadhan. Kalau nggak mau puasa, ya gapapa. Dosanya masing-masing aja. Kalau mau puasa, ya bagus, tapi jangan ngeribetin dan ngambil hak orang lain yang nggak berpuasa.

Buat gue, ngerokok itu lebih ke self control, bukan control others.

Di hari itu, hestek hari tanpa tembakau menjadi ramai di timeline. Dan seperti yang gue duga, foto-foto berisikan pesan supaya jangan merokok, bersliweran dan memberikan rasa takut atau ancaman bagi pembacanya yang sudah tentu merokok. Betul, fear mongering.


Salah satunya adalah gambar di atas. Waktu pertama kali liat, rasa iba, sedih, dan mendukung supaya orang lain nggak ngerokok, muncul di kepala gue. Ya, anak tersebut meninggal karena terkena pneumonia akibat bokapnya suka ngerokok. Namun, selang beberapa hari kemudian, gue ngeliat ada sekumpulan anak SD yang nongkrong di dalem pos ronda. Ada yang nyelipin samsu di kuping, ada yang asik ngerokok samsu, dan ada juga yang lagi bangunin orang sahur. Padahal itu siang-siang. Ketika ada anak kecil meninggal karena asep rokok, beberapa anak lain malah hidup sehat riang gembira dan berprestasi cuma karena menghirup asap rokok.

(NB: anak-anak di atas bisa berprestasi tentunya juga diimbangi dengan rajin belajar dan ikut bimbel di nurul fikri.)

Selain itu, gue juga kasian sama bapak-bapak yang kehilangan anaknya di umur yang masih di bawah lima tahun. Padahal, gue punya temen yang bokapnya udah ngerokok sejak Soekarno masih belum berani nembak cewek. Yang gue heran, temen gue ini masuk SNMPTN bareng gue. Kuliahnya juga sekelas. Pinter dan IP-nya juga bagus. Hal terburuk yang gue liat dari dia cuma satu: rambutnya belah tengah. Mungkin, ini satu-satunya imbas dari kebiasaan bokapnya yang suka ngerokok.

Pada akhirnya, merokok ini kembali ke pilihan masing-masing. Ya, gue tau semua akibat jelek dari merokok. Semua orang tau. Yang nggak kita banyak tau, kita nyatanya terlahir sebagai makhluk yang senang untuk menyakiti diri sendiri. Kita suka dengan sakit yang datangnya pelan-pelan, yang tidak pasti, yang nikmatnya hari ini, namun ada harga yang mahal yang harus dibayar di belakang.


2. Begadang

Salah satu parameter seseorang dapat dikatakan dewasa adalah dengan menekuni kebiasaan yang satu ini. Semakin dewasa seseorang, semakin merasa bahwa tidurnya harus semakin sedikit. Kebiasaan begadang ini gue mulai semenjak menginjak bangku kuliah. Gue yang sedari SMA nggak bisa begadang karena harus bangun jam setengah lima pagi setiap harinya, begitu merantau untuk kuliah, rasanya seperti fans Arsenal yang ngangkat trofi setelah delapan tahun lamanya berpuasa. Gue lampiaskan semua ketidakbolehan gue dalam begadang saat SMA di tempat rantau. Prinsip gue saat itu mungkin hampir sama dengan prinsip cowok-cowok jaman sekarang: setia itu nggak usah sering-sering, cukup sekali-sekali saja.

Ya, gue bobok cukup sekali-sekali aja.

Aktivitas begadang yang gue tekuni membuat gue mempunyai banyak waktu luang. Dari pagi sampai pagi lagi. Saking luangnya, gue sampai bisa mengikuti perjalanan cinta temen kos gue. Dari dia pedekate, ngajak jalan, lalu mencoba berbuat yang tidak senonoh, lalu dia digampar, lalu akhirnya nggak jadian. Pokoknya dia kasian.    

Bertahun-tahun lamanya gue menggeluti hobi baru gue tersebut. Nongkrong sama temen sampai pagi, main di warnet dari pagi sampai pagi, ngomongin bagaimana cara menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan sama anak-anak BEM kampus sampai pagi, dan masih banyak lagi. Semua kegiatan itu terasa sangat menyenangkan sebelum gue terkapar lemah dan harus diopname di rumah sakit. Temen gue, Acong, sampai kena hepatitis B karena hobi tersebut.

Pada akhirnya, begadang ini kembali ke pilihan masing-masing. Ya, gue tau semua akibat jelek dari begadang. Semua dari kita, tau. Yang nggak kita banyak tau, kegiatan begadang telah mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Tanpa begadang menyusun naskah teks proklamasi, mungkin kita sampai hari ini masih dijajah oleh bangsa asing. Walau sudah merdeka pun, kita masih menjajah diri kita sendiri dengan rasa sakit.

Tanpa begadang chatting dengan kamu, mungkin kita tak pernah ada hingga hari ini, mungkin hanya ada aku dan kamu yang hanya bisa merenungi takdir masing-masing.

Kita hanya sedang belajar untuk menikmati rasa sakit.



3. Mabok

Aku dan kamu belumlah lengkap tanpa bibir yang saling memeluk satu sama lain. Begitu juga dengan rokok dan begadang yang belum sempurna tanpa mabok. Pasti ada yang kurang. Mabok dengan minuman keras adalah salah satu dari banyak kegiatan para masochist yang nggak gue lakukan hingga hari ini. Setidaknya, liver gue selamat untuk kegiatan yang satu ini. Namun, masochist bukanlah seseorang yang mudah menyerah. Hal ini sesuai dengan prinsip hidup gue yang terinspirasi dari Mother Teresa: Mulailah dari yang paling sulit.

Gue tetep mabok namun dengan cara yang lebih sulit.

Setiap masochist pasti punya kekurangan. Tiada masochist yang sempurna. Ketidaksukaan gue terhadap rasa minuman keras membuat gue berpikir hebat untuk menyakiti diri sendiri dengan sensasi mabok, namun tetap syariah dan tetap berada di koridor hukum. Maka, hari itu berangkat lah gue untuk menyakiti diri ini. Gue mulai dengan duduk di angkot madep belakang. Begitu turun dari angkot, gue muntah. Persis kayak orang mabok, kan. Lalu gue juga coba untuk membaca buku di dalam bajaj. Pening bener kepala. Mata gue terasa kliyengan. Kemudian, gue coba untuk naik Trans Jakarta dan selama setengah jam gue terus memandangi jendela dari tempat duduk.

Belum ada setengah jam, gue udah teriak, “BANG, TURUNIN SAYA BANG, KIRI BANG!!!!”

Menatap jendela dari kendaraan yang sedang berjalan, itu rasanya kayak mabok, pusing, kliyengan, vertigo, dan patah hati di sekali tatapan.

Kucing ini abis duduk di angkot madep belakang.


Pada akhirnya, mabok ini kembali ke pilihan masing-masing. Ya, gue tau semua akibat jelek dari mabok. Semua dari kita, tau. Yang nggak kita banyak tau, kegiatan mabokadalah salah satu cara untuk berbicara jujur dan lepas tanpa perlu urat malu. Gue pernah ngajak ngobrol temen gue yang sedang mabok. Dia bicara sangat lepas yang diikuti dengan tatapan mata yang kriep-kriep, dan lemes. Waktu itu gue tanya sama dia, 

“Cuy, lu cerita lah sama gue, cewek mana sih yang lagi lu suka?”. 

Sambil menenggak satu sloki, dia jawab dengan santai, “Ah, nggak ada.” 

Gue yang semakin kepo pun bertanya lagi, “Yaelah, cerita aja sih, lu kan banyak deket sama cewek di diskotik.”

Matanya udah merah, gue takut matanya berubah jadi Sharingan.

“Gue nggak suka cewek.” Jawab dia lagi sebelum gue sempet bertanya.

Gue diem sebentar.

“Gue suka sama lu, Don.” Jawab dia lagi sambil menenggak satu sloki.

Gue langsung mengeluarkan jurus Hiraishin - The Flying Thunder God, punyanya Hokage Keempat.

Jurus yang sangat ampuh untuk menghilang dalam sekali kedipan mata.

Hari itu adalah hari terakhir gue bertemu dengannya.



4. Kebiasaan Yang Nggak Penting Tapi Nyakitin

Kegelisahan pertama, muncul dari kebiasaan bapak-bapak yang suka jalan-jalan sore pake sendal rematik. Sandal bergerigi yang memijit seluruh telapak kaki ketika berjalan. Karena heran melihat kebiasaan tersebut, gue jadi merasa ingin memakainya juga. Alhasil gue berjalan sambil meringis. Senyum-senyum kayan nahan berak. Perpaduan antara ngilu, sakit, dan dipijit di sekali pijakan. Baru berjalan 5 meter, gue udah cedera bahu (nginjeknya pakai kaki, yang sakit malah bahu). Kepala gue pening, pandangan kabur, pacar jadi bales chat pendek-pendek.

Ternyata, sandal rematik ini emang cocok untuk nyakitin diri sendiri dalam hitungan detik.

Belum cukup sampai di situ, bahkan nggak cuma jalan-jalan sore, ada banyak bapak-bapak yang menyelipkan sandal rematik berbentuk alas kaki ke dalam sepatu kerjanya. Berarti, mereka menggunakan sandal rematik di setiap saat! Masokisme sejak dalam pikiran..


Kegelisahan kedua gue datang dari aktivitas di sosial media. Segala hal yang diposting di Twitter, path, instagram, dan lain-lain, adalah upaya untuk menyakiti diri sendiri. Di twitter, setiap dari kita melakukan stalking, kepo, atau upaya apapun yang bersifat menginvestigasi dan menemukan jawaban dari keingintahuan yang sangat deras mengalir di sekujur tubuh – yang endingnya lebih banyak penyesalan ketimbang kebahagiaan.

Di Path, atau yang lebih baik kita sebut sebagai aplikasi pamer terbaik tahun ini, juga tidak kalah masokis. Banyak yang memosting harta, tahta, dan raisa di sana. Mungkin motifnya untuk mendapat pengakuan. Makan gorengan di parkiran indomaret, check-innya di Holy Cow. Entah apa alasannya kalau bukan untuk menyakiti diri sendiri.

Di instagram, sejak awal bulan kemarin hingga hari ini, deras mengalir beritanya ke twitter, yaitu ada tante-tante yang melesat lewat hestek-hestek di setiap picture instagram-nya. Kalau melihat hesteknya, gue harus menyarankan Syahrini untuk minder. Tante ini memamerkan foto kemesraan bersama seorang lelaki yang sejatinya tidak pernah terjadi. Sebuah upaya untuk menyakiti diri sendiri.

 Atau, dengan menumpuk-numpuk ratusan filter di satu foto. Sebuah bentuk masokisme di bidang fotografi. Setelah selfi dengan Camera360, lalu diedit lagi menggunakan Beauty Plus. Wajah jadi licin bagai ubin yang dipel dengan air mata. Cukup dalam sapuan jari di layar hp, wajah pun menjadi putih bersih layaknya hati anak yatim. We were born as masochist..


Kegelisahan ketiga gue kembali datang dari aktivitas bapak-bapak yang hingga hari ini tetap nggak gue temukan di mana letak keasyikannya. Kalau kamu suka jalan sore-sore, melewati komplek atau perkampungan, sedikit banyak pasti kamu akan menemukan bapak-bapak dengan kebiasaan absurd ini. Ya, betul sekali, bapak-bapak yang suka menyiram air got ke jalanan.
Gue sering lihat bapak-bapak ini juga ikut terkena cipratan air got yang dia siram sendiri ke jalan. Tidak sedikit gue lihat ada bapak-bapak yang kaki dan tangannya ada item-itemnya karena kena air got. Bapak-bapak ini tengah menyakiti dirinya sendiri..

Kalau anak ini nyiram air got ke jalan pakai mulut..


Karena nampak menyakitkan, gue pun tertarik untuk mencobanya. Sore-sore, sekitar jam 4-an, dengan penuh antusias gue pergi ke luar rumah dan menyerok air got menggunakan pengki, lalu menyiramkannya ke jalan.

Udah.

Gitu doang.

DI MANA LETAK KEASYIKANNYA, PAK? DI MANA?

Melakukan kegiatan yang tidak jelas visi dan misinya, tidak jelas manfaatnya, tidak jelas faedah dan pahalanya, sudah tentu termasuk upaya untuk menyakiti diri sendiri.





========

Ya, kadang gue berpikir, kesenangan-kesenangan yang gue lakukan sebenarnya adalah upaya untuk menyakiti diri sendiri. Setelah berhenti merokok, tidak minum miras, dan mengurangi aktivitas begadang, gue tetap saja menyakiti diri sendiri. Banyak orang yang bilang kalau gue adalah orang yang punya gaya hidup yang sehat, padahal tidak juga. 

Gue punya gaya hidup yang sangat tidak sehat.

Ya, gue selalu jatuh cinta dengan tidak sehat.

Ya, jatuh cinta adalah cara paling menyenangkan untuk menyakiti diri sendiri.

Bahkan tidak hanya untuk menyakiti diri sendiri, ada penulis yang terang-terangan menceritakan bahwa jatuh cinta adalah cara yang paling baik untuk bunuh diri.

Gue yang masokis ini juga terang-terangan pacaran beda kota, pacaran beda agama, pacaran beda kondisi finansial, dan pacaran beda restu orang tua. Semua hal-hal yang menyakitkan di hidup ini gue rangkum dalam satu kata: Cinta.

Gue juga dengan bangga mempropagandakan pacaran beda agama sebagai simbol bahwa cinta adalah pemersatu segala agama, walau kenyataannya tidak.

Ketika ada banyak yang dekat, yang satu kota, yang seagama, yang sama-sama kaya atau sama-sama sederhana, dan yang sama-sama direstui orang tua, tapi gue malah jatuh cinta kepada seorang yang bertolak belakang dengan itu semua.

Cara yang baik untuk bunuh diri, bukan?

Mungkin kalian juga.

Hah, nggak?? Jadi cuma gue doang?

Oke fine.


--------

Ada berapa banyak dari kita yang menyakiti diri sendiri dengan cara yang paling menyenangkan? Saya seringkali menyakiti diri sendiri dengan cara yang paling kamu inginkan. Ya, dengan mencintaimu, saya turut menyakiti diri sendiri. 

Saya seorang lelaki yang tahu bahwa pertemuan hanyalah cara untuk menunda perpisahan, yang tahu bahwa dengan melihatmu tersenyum hari ini saya menunda menangis di kemudian hari – dan hingga hari ini tetap bersikeras mencintai kamu.

Kamu juga senang menyakiti diri sendiri, dan kamu tidak sadar bahwa saya tinggal di dalam kamu.

Mungkin benar, kita adalah sepasang yang saling menyakiti satu sama lain..








Share:

4 Komentar

  1. yoi don lu terlalu jarang nulis di blog ini, gw aja ngeceknya sebulan sekali wkwkwkwk

    BalasHapus
  2. makasi don, karena abis baca blog lo
    gue jadi lupa nyeri haid hari pertama :'D

    BalasHapus