Tentang PHP
Gue
masih terdiam sembari menunggu apakah ada notif Watsapp masuk darinya. Satu
jam, dua jam, bahkan sampai kesabaran ini terkikis habis yaitu sampai dengan
dua jam lewat tiga menit, notif yang gue tunggu nggak kunjung datang. Alih-alih
mendapat balasan, centang biru di Watsapp ini pun tidak menunjukkan batang
hidungnya. Pertanyaan paling manusiawi yang terlintas di kepala gue saat itu
cuma satu,
“Dua permen loli milkita setara
dengan berapa gelas susu, sih?”
Ah,
bukan.
“Gue salah apa lagi, sih?”
Masih
terekam sangat jelas kencan pertama kami tiga minggu yang lalu di pertengahan
tahun 2016, saat dia mengenakan rok span, stocking hitam, dan blazer hitam. Gue
selalu terkesima dengan cewek-cewek yang udah abis pulang kantor aja masih embem,
masih wangi toko kayak kutang baru. Udah sore aja masih wangi, apalagi pas abis
mandi.. Hadeeeeeh bikin dengkul nggak karu-karuan aja. Beda banget sama
mamang-mamang di komuter line, masih pagi aja udah bau petasan banting.
Kami
memang sepakat untuk ketemu di mall terbesar di Kota Tangerang. Ketemuan setelah
pulang kantor adalah cara membuat modus janji ketemuan paling gampil. Bilangnya
nunggu macet lah, sekalian makan malem lah, sekalian lewat jalur pulang kantor
lah, sekalian ketemu papa mama kamu lah (ini beneran bapanya punya konter
hempon di mall, gue sampe ditawarin cicilan hempon loh), pokoknya banyak deh..
Rambutnya
hitamnya yang wavy tergerai pasrah.
Senyumya merekah di pipinya yang menggelembung sempurna. Pakaian khas cewek
kantoran, blazer dan rok span merekeceut
yang menunjukkan bahwa dia punya boncengan
depan-belakang yang di atas rata-rata, menjadi pemandangan gue sore itu. Dia
ini harusnya udah masuk di akun wikipedigo.
“Kata
mereka, untuk membuamu jatuh cinta, aku harus membuatmu tersenyum. Namun ketika
kau tersenyum, aku yang jatuh cinta.”
Cuma
kalimat itu yang bisa gue ucapkan keras-keras dalam hati selama ngobrol
dengannya. Seneng banget bisa membuatnya tersenyum dan tertawa di sekali
kesempatan. Senyumnya bener-bener mengisi ruang kosong di hati gue yang cinta
beda agama ciptakan.
Kencan
sore itu pun masih berlanjut hingga chat di malam harinya. Sungguh senang rasanya
mendapati obrolan yang gue buka, dibalas dengan antusias olehnya. Chat panjang
dan penuh hahahihi menghiasi Line gue
saat itu. Padahal dia ini embem dan cantik, harusnya cewek seperti ini merasa
punya privilege untuk membalas chat
dengan b aja. Tapi dia nggak. Khanmaen.
Kencan
kedua dan ketiga di minggu berikutnya pun tak terelakkan. Gue main ke rumahnya,
jemput dia, dan jalan bareng. Seperti pedekate anak muda pada umumnya. Semua
berjalan sesuai rencana dan harapan. Semua gelagat yang menunjukkan kalau dia tertarik
sama gue, terpampang sempurna. Kalau pun dia nggak tertarik sama gue, nggak
mungkin dia mau nerima ajakan jalan yang ketiga. Kalau dari pengalaman gue,
cewek akan sangat jarang ngerespon cowok yang emang dia udah nggak suka di
kencan pertama. Pikiran jelek ini gue buang jauh-jauh untuk Indah, cewek kantoran
embem yang suka pake rok span full
pressed-body ini.
Gue
udah mulai berpikir, “Apakah ini saat yang tepat?”
Kalau
kata orang-orang, nembak atau confession
ini kudunya dilakukan pas lagi momen anget-angetnya. Chance ditolaknya nggak akan sebesar kalau udah kelamaan tarik
ulur. Tapi orang-orang ini juga berkata, kalo nembak kecepetan, gue akan
ngerusak momen. Sesuatu yang prematur pasti nggak enak. Kebanyakan prosedur deh
pokoknya.
Gue
pun mulai menghitung resiko-resiko yang mungkin terjadi kalau gue mengutarakan
perasaan ke Indah. Bisa aja Indah merasa sangat terganggu kalau gue bilang,
“Indah,
aku sayang… emm..”
“Sayang
apa, Don?” Tanyannya balik.
“Eummm,
sayang sekali tendangan Atep masih melebar di atas mistar gawang.”
Kalau
ada cowok nggak ganteng nembak cewek cakep, kayaknya buat Indah udah masuk
kategori tindakan dzolim.
Resiko
kalau Indah nggak mau jadi pacar gue, ya udah jelas: gue pasti galau, dan dia
nggak. Gue udah abis duit banyak, dia nggak. Gue kepikiran dia terus, dia
nggak. Gue ngeliatin avatar Line-nya terus, dia ngeblok Line gue. Setelah gue
kalkulasi, resikonya cuma di gue. Indah sama sekali nggak punya resiko. Nggak
jadian, ya tinggal jalan sama cowok lain. Kalo jadian, dia jadi punya tukang
anter galon baru.
“Wah,
bisa kali nih di kencan minggu depan.” Bisik gue dalam hati. Gue akan
mengutarakan love-hurricane ini ke
Indah.
Dua
hari menjelang hari Sabtu, gue masih terdiam sembari menatap layar hempon apakah
ada notif Watsapp masuk darinya. Satu jam, dua jam, bahkan sampai kesabaran ini
terkikis habis yaitu sampai dengan dua jam lewat tiga menit, notif yang gue
tunggu nggak kunjung datang. Alih-alih mendapat balasan, centang biru di
Watsapp ini pun tidak menunjukkan batang hidungnya. Yang biasanya baru
semenit-dua menit langsung dibales, ini berhari-berhari cuma centang doang.
What the hell.
Kalo bisa di-google, mungkin gue nggak perlu nulis ini panjang-panjang. |
======
Pemberi
harapan palsu.
Cuma
itu yang ada di kepala gue saat itu. Kalau dia emang udah nggak suka, udah
nggak niat, kenapa nggak dari depan aja bilangnya? Buat gue, lebih terhormat
ditolak dengan dibilang, “Maaf, kamu terlalu nggak ganteng buat aku, Don..”
atau “Maaf, kamu kayaknya lebih cocok jadi kontak wasap yang nggak akan aku
read wasapnya deh, maaf ya.” atau, “Maaf, aku cuma anggap kamu sebagai fans aku
aja, nggak lebih, maaf ya.” daripada muntaber. Mundur tanpa berak
berita.
Lebih
baik dihina daripada dilupakan.
Inilah
duka-dukanya orang yang jatuh cinta duluan.
Indah
berhasil bikin gue galau 10 hari lebih dua minggu. Gue bahkan udah mendoakan
Indah supaya nantinya dia nggak nikah sama gembok WC. Selama sebulan itu gue
nggak pernah pulang kantor cepet-cepet. Gue duduk-duduk dulu sambil liat langit
sore, perlahan langit sore yang warnanya
jingga itu jadi gelap, persis kayak gue miikirin Indah, tapi dia nggak. Gelap..
Gue
juga sempet browsing, di salah satu Negara di Eropa, adalah legal jika menikahi
infrastruktur. Ada bapa-bapa setengah baya nikahin jembatan di depan rumahnya. Ada
juga mba-mba wanita karir yang nikahin menara sutet karena waktu kecil dulu dia
manjat-manjat terus kesetrum, tapi nggak mati.
Bahkan
kisah mereka lebih bahagia daripada kisah gue. Setidaknya jembatan depan rumah yang
udah kamu injek-injek tiap nyebrang, nggak akan PHP-in kamu. At least, menara sutet nggak akan
ninggalin kamu pas lagi nyetrum-nyetrumnya. Karna mereka benda mati, persis
kayak cinta gue ke Indah, dimatiin gitu aja. Logika sederhana gue pun menyeruak,
“Di Tangerang kalo macarin konter hempon, legal nggak sih?”
========
Sebelum
gue memutuskan untuk macarin konter hempon, lagi-lagi gue teringat kalimat Bolu
di balkon kosan yang dulu gue anggep b
aja, tapi sekarang ada benarnya.
“PHP
itu mitos, yang ada cuma nggak lolos fit
and proper test.” Kata Bolu mantap sambil diiringi klepusan asap rokoknya.
Gue
masih bengong. “Hah, maksudnya gimana Bang?”
“Don,
kalaupun hari ini ada cewek yang udah lo kejar-kejar, dia udah ngerespon
positif, tapi ending-nya nggak sesuai keinginan lo, jangan pernah sebut cewek
itu PHP. Jangan..” Jawabnya tegas sambil nyeruput kopi.
“Tapi
kalau cowok yang ilang gitu aja pas lagi pedekate, kenapa disebut PHP, Bang?”
Tanya gue lagi.
“Nggak,
ini berlaku untuk keduanya, berlaku buat cowok dan cewek.”
Gue
diem sambil berusaha mencerna omongannya.
“Inilah
yang namanya fit and proper test, uji kepatutan dan kelayakan. Saat lagi
pedekate, secara nggak langsung dan nggak sadar, salah satu dari lo atau bahkan
masing-masing dari lo, menerapkan standar kepatutan dan kelayakan itu. Dan standarnya
beda-beda.” Bolu menyeruput kopinya lagi.
Gue
masih terus mendengarkan.
“Justru
lo harusnya beruntung kalau cewek masih ngasi kesempatan sampai di
kencan-kencan berikutnya, atau sebaliknya. Kenapa? Karena lo masih punya
interest dan lo masih mau ngeliat apakah gebetan lo ini sebenernya patut dan
layak. Lo butuh beberapa kali kencan dan waktu lebih lama aja buat
menguji itu semua.”
“Oh
gitu ya Bang.” Gue nyeruput kopi Bolu.
“Dan
kenapa banyak yang milih ngilang gitu aja kalau emang ternyata nggak cocok pas
pedekate? Ya gitu, yang namanya minta maaf kan selalu sulit. Nggak semua orang
punya kedewasaan untuk lakuin itu. Apalagi minta maafnya cuma buat ngomong kalo
lo bukan apa yang dia cari, nggak sesuai standarnya.”
Gue
masih mendengarkan sambil nyeruput kopi Bolu.
“Kalau
nanti lo udah wisuda dan nyari kerja, jangan kaget juga kalo lo udah lolos
sampe tahap tertentu di saringan masuk suatu perusahaan, dan tiba-tiba lo nggak
dikabarin lagi. Itu perusahaan nggak PHP, lo cuma bukan yang mereka cari.”
Tambahnya kembali.
“Dan
kalaupun nggak ngilang, biasanya sifat dia bakal berubah drastis. Dia mungkin
masih akan bales chat lo, dia akan masih nyapa lo, tapi ketika lo sadar dan
tatap matanya, sebenernya dia udah bukan orang yang sama yang lo pedekatein
dulu.”
Gue
masih dengerin Bolu.
“Jadi
jangan galau kalo besok lo diginiin lagi, atau jangan merasa bersalah banget kalau
besok lo yang giniin cewek. PHP itu cuma sebutan untuk hal yang lo nggak tau
sebabnya. We are always afraid to things
we don’t know. Dia nggak ngasih harapan palsu kok, lo cuma nggak lolos fit and proper test aja, nggak masuk di
standarnya. Itu hak dia. Dan itu hak lo juga, apalagi lo yang ngejar duluan. Lo
ngejar-ngejar dia bukan cuma karena fisiknya demplon aja kan? Pasti ada hal
lain yang ingin lu pahami dari dia. Percuma demplon kalau ngambekan, percuma
cantik kalau tiap hari lo harus ngasi makan egonya, nurutin egonya. Percuma cantik
kalau tiap hari yang jatuh cinta cuma lo, dia biasa aja. Lo doang yang berjuang
buat menghidupi cinta lo ke dia. Percuma.. lo butuh lebih dari itu..”
“ANJJIR
KOPI LU ENAK, BANG! BIKIN LAGI DONG BANG! HAHAHAHA.” Paragraf terakhir
sekaligus penutup pembicaraan kami sore itu berhasil bikin gue ngabisin kopi
Bolu.
Semenjak
sore itu, Bolu kalau ngobrol sama gue nggak pernah bikin kopi lagi. Dia cuma bawa
air putih..
=======
Berselang
empat bulan kemudian, salah seorang teman gue yang kebetulan pindah kerja ke
kantornya Indah, bercerita, ternyata Indah nggak suka sama gue karena gue
terlalu riang dan gembira. Dia minder karena gue terlalu lucu buat dia. Dia takut
nggak bisa ngimbangin gue karena dia orangnya sangat pendiam. Indah takut gue
akan berakhir seperti mantannya dulu, yang lucu, riang, mudah akrab dengan
orang lain, dan akhirnya selingkuh.
“Jadi
gitu, Don. Lo ini persis banget kayak mantannya. Dia nggak pernah berhenti
ketawa kalo sama lo, tapi ya gitu, yang diawali ketawa-ketawa, endingnya pasti
nangis-nangis. Dia kapok sama cowok yang kayak gitu, Don.”
Ow shit..
Nggak
ganteng, salah. Jadi lucu, salah. Udah paling bener kayaknya gue macarin konter
hempon..
Mungkin
benar, PHP itu cuma mitos, PHP hanyalah alasan untuk hal-hal yang belum kita ketahui penyebabnya.
Dan
mungkin juga benar, bahwa hidup ini adalah perjalanan dari fit and proper test satu ke fit
and proper test lainnya..
4 Komentar
Bang pacaran ama gue aja hayuuuuk hahahaha soalnyangue riang gembira juga dan tipe yg ngechat dulua kwkwk. becanda. Btw, cewek sebenernya emang makhluk dengan alesan seabreg untuk nolak entah itu nolaknya karena ga suka atau kayak Indah, abang dikata trll riang kek mantannya. Itu mah cuma alesan sih, padahal mah dia males, dan keselnya tu ga ngomong langsung ya? Padahal kamu ganteng ih. Salahnya juga, elu cowok, bang. Lo ga bisa apa apa. Kuasa ada di cewek mau php, mau nolak pake alesan konyol, terserah dia. Ngeselin ya? Hahaha. Cari yg laen aja..yang ngarepin dirimu masih ada kok...konter hape misalnya.
BalasHapusYeeyyy setelah lama gak pernah nengokin, tampilan baru, tulisan baru... mayan 2017 dah ada 2 artikel... target 12 artikel ya don?
BalasHapusahaha trus gak jadi juga sama gaby?
selamat di kerjaan yg baru ya, ditunggu tulisan berikutnya
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHaha thanks udah mau balik main ke sini lagi. 😂
Hapus