Dahulu,
ada zaman orde lama, zaman reformasi, zaman orde baru dan seterusnya. Nilai
pelajaran Sejarah gue yang sedari duduk di bangku sekolah tergolong mengkhawatirkan,
membuat gue nggak mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan orde lama, orde
baru, dan orde reformasi. Karena pelajaran Sejarah adalah perihal mengingat dan
mengenang.
Tapi
itu dulu.
Sekarang
tidak.
Aku
juara dalam pelajaran Sejarah.
Mengenangmu
adalah caraku berpesta pora dengan kehilangan.
Hari
ini gue mau cerita tentang sebuah zaman yang ada di dalam hidup kita. Bukan
zaman orde lama, orde reformasi, ataupun orde baru, tapi zaman yang tak kasat
mata dan beberapa dari kita terang-terangan hidup di dalamnnya.
“Yang
Nyakitin yang Dipertahanin”
Beberapa waktu yang lalu gue nggak sengaja ketemu
Sang Mantan saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Gue macarin dia sejak
kelas 5 SD dan berakhir di perpisahan kelas 6 SD. Cinta anak monyet ini bertahan
selama setahun lebih. Anak SD aja udah pacaran, masa anak kuliahan masih aja
jomblo? Oke sorry.
Andini. Gue ketemu dia di sebuah restoran cepat saji
di sebuah Mall di bilangan Cinere. Pertemuan terakhir gue ya di acara
perpisahan kelas 6 SD itu. Dalam kurun waktu delapan tahun itu, gue nggak
pernah kontek-kontekan sama Andini. Jangankan lewat SMS, telfon atau apapun,
menyapa di jejaring sosial aja nggak. Bahkan gue nggak nge-add dia FB atau
mention dia Twitter. Delapan tahun menguap begitu saja tanpa cerita.
“Andini?!”
Andini
diam, nampak dari raut wajahnya bahwa ia sedang menerka-nerka. “Ngg..
siapa ya?” Balasnya sampil menyeka poninya.
Dugaan
gue benar, dia bahkan nggak kenal sama gue.
“Don
Juan. Kamu nggak inget aku?”
“Don
Juan? Nama macam apa itu?” Andini masih terjebak dalam nuansa heran.
Hening.
Setelah
gue menyebut nama sekolah dasar tempat gue merajut kisah cinta monyet
bersamanya, sontak dia meletakkan makanan cepat sajinya di meja makan.
“HASTAGA.
KA..KAMU?!! Kok jadi ganteng?!! Dulu kan nggak!!”
Tuh
kan. Jadi gini endingnya. Biasalah cewek.
Gue pun langsung meminta manajer restoran untuk memutar
lagu “Terjebak Nostalgia”-nya Raisa. Pihak manajer menolak. Gue galau. Dia
nggak mau ngerti suasana hati gue saat itu. Kalau kamu ketemu manajer restoran cepat
saji itu di jalan, tolong segera habisi.
Ada sebuah kesamaan di antara kami sore itu. Dia
makan sendiri. Gue juga makan sendiri. Sepertinya sebuah kebetulan ini sudah
tertera di naskah skenario Sang Pencipta. Gue selalu suka sama adegan di mana
gue ketemu mantan yang udah bertahun-tahun nggak ketemu, terus dia dalam
kondisi jomblo. Gue bisa melakukan ritual mengenang dengan bebasnya.
Andini masih berdecak kagum dengan gue yang mampu
mengenalinya hanya dalam sekali pandang. Bahkan nama panjangnya juga gue sebut
berkali-kali. Kalau gue nggak menjelaskan panjang lebar, mungkin Andini nggak
akan mengenali gue sama sekali. Gue hanyalah orang lama yang sudah asing karena
usang dimakan waktu, dan datang kembali dengan bungkus yang berbeda. Menanggapi
rasa kagum Andini perihal kemampuan gue dalam mengingatnya, gue jawab dengan
dingin.
“Aku
pandai mengingat. Kamu pandai membuat kenangan. Ketika aku tak mampu melupakan,
siapa yang harus disalahkan?”
Tapi kebahagiaan gue nggak bertahan lama. Kalimat
dia yang berisi “Nanti pacar aku jemput ke sini kok” membuat gue ngeremes gelas
minuman soda sampai tumpah. Gue tau, dia bukan fans Arsenal yang bisa hidup
tenang delapan tahun tanpa gelar. Jadi wajar saja kalau dia punya pacar.
Sore itu terasa begitu panjang, setiap tatapan
disela-sela rasa lapar ditelan makanan, membuat gue seperti kembali ke masa
kecil. Di mana gue yang bercelana pendek berwarna merah, menggandeng Andini
yang juga masih memakai rok berwarna merah. Sebelum menyudahi nostalgia dadakan
ini, dia nanya watsap gue. Seperti
potongan puzzle, gue memberi nomor watsap gue. Mungkin saja dia potongan puzzle
terakhir yang hilang selama ini.
Hendak menuju parkiran, sambil merogoh-rogoh kunci,
gue melihat Andini dan cowok itu di samping mobilnya. Gue menghentikkan langkah
kaki, dan sedikit menyembunyikan badan di balik tembok agar mereka nggak
menyadari kehadiran gue di sana. Andini dan garem rujak itu berbicara terlalu
keras sehingga gue dapat dengan jelas mendengarnya.
“Kamu
ke mana aja, kok aku ditinggal sendirian di Mall?!” Andini terlihat marah.
“Aku
nganter ibuku ke dokter.”
“Bohong!”
“Apa
sih, kamu ini curigaan aja kerjaannya!” Garem rujak menyangkalnya dengan keras.
“Kamu
nganter cewek itu pulang dulu kan?! Iya kan?! Ngaku!”
“Kamu
tau apa soal dia!! Dia itu temen aku dari kecil!!”
“Temen
katamu?! Kamu peluk dia!! Kamu cium bibirnya!! Kamu tidurin dia!! Iya kan!?”
Andini bener-bener marah sama si Garem rujak.
*PLAKKKK!!*
Pipi
kanan Andini ditampar sama si garem rujak.
Melihat bagian dari masa lalu gue ditampar
semena-mena sama garem rujak itu, gue gelap mata. Hati gue mendidih. Gue
bergerak mendekati mereka. Atas dasar kedonjuanan, gue harus menyelamatkan
Andini.
“Ngomong
sekali lagi!! Hah, coba ngomong sekali lagi!!” Garem rujak dengan mata
terbelalak mengangkat telapak tangannya.
“Kamu
jahat.” Andini memegang pipinya, hatinya mungkin sudah menangis.
“Sekali
lagi lo nampar Andini, gue yang bakal gantiin tangan cewek ini buat ngebales
tamparan lo.” Gue menyilangkan tangan di dada, tatapan lurus, ganteng-ganteng
gimana gitu.
Andini
menengok ke belakang, mata si garem rujak makin terbelalak akibat kehadiran gue
di medan perang itu.
“Lo
barusan mukul cewek. Empat kata buat lo. CEMEN BANGET LO KAMPRET.” Gue mendelik
ke arah garem rujak.
“Anjing!!
Lo siapa?!!” Teriak garem rujak.
*GEDEBUK!!!*
“GUE
SIAPA? NGGAK PENTING! ITU BUAT LO YANG BARUSAN NAMPAR MASA LALU GUE!!” Jab kiri gue telak mengenai pipi kanan
si garem rujak. Dia tersungkur di kap mobilnya sendiri.
“ANJING!
JAHANAM!! LO SIAPA!!” Sambil memegang pipi kanannya dia terhuyung bangkit dari
kap mobilnya.
*JEDUGG!!*
“DAN
ITU BUAT LO YANG UDAH NGEBENTAK-BENTAK MASA LALU GUE!!!” Jab dari tangan kanan gue mendarat indah di pipi kirinya.
Si
Garem rujak kembali tersungkur mencium kap mobilnya.
“DON,
KAMU UDAH GILAK!! ITU COWOK AKU!!!!” Andini berusaha melerai gue dengan terasi
rujak itu.
“ITU
BUKAN COWOK KAMU! DIA INI GAREM RUJAK!!”
Andini
hening. Garem rujak juga hening. Orang-orang yang ngeliat keributan di parkiran
juga seketika hening. Apa ada yang salah dengan kata “Garem rujak”?
“Don,
kamu pulang aja sekarang!! Cepet pulang sana!!” Andini ngusir gue.
“Ndin,
kalau aku biarin, Garem rujak ini bisa bikin kamu jadi rujak beneran!”
“Dia
cowok aku!! Pulang sana cepet!! AKU PANGGILIN SATPAM NANTI!!”
Andini
menangis.
===
Esoknya paginya, gue mencoba menghubungi Andini.
Setelah agak lama gue terdiam di nada tunggu, akhirnya Andini mengangkat
telfonnya.
“Andin,
aku mau minta maaf kejadian kemarin.”
“Kamu
jahat tau nggak!”
“Aku
jahat, andin? Cowokmu itu yang jahat.”
“Udahlah
Don, aku udah maafin kok. Yaudah ya.”
“Eh
tunggu andin, cowok yang baik itu nggak main tangan!!”
“Udahlah,
kamu tau apasih, Don.”
“Masa
yang kayak gitu kamu pertahanin?! Yang kayak gitu bagusnya dimasukin ke tong
rujak bebeg. Terus diulek!!”
“Yaudah
sih Don, aku udah biasa diginiin!”
“WHAT? UDAH BIASA? Kamu pacaran aja udah
dikasarin, masa yang kayak gitu mau kamu nikahin?!!”
“UDAH
DON, UDAH!! KAMU NGGAK USAH IKUT CAMPUR!!”
“Tapi
Andin..”
“Tau
nggak, aku nyesel ketemu kamu!! AKU NYESEL!!!”
Dari
nada suaranya, andini seperti sesegukan menahan tangis.
“Andin,
tunggu dulu!”
Telfonnya
mati.
====
Dari kejadian itu gue belajar, bahwa di zaman yang
modern ini, di mana wanita sudah sejajar dengan kedudukan pria apapun
kondisinya, masih ada saja yang bertahan dengan zaman “yang nyakitin yang dipertahanin”.
Gue pun coba menghubungi teman-teman SD dulu yang
deket sama Andini. Gue cari di fesbuk dan Twitter. Akhirnya gue ketemu sama
seseorang bernama Tia. Dari SD hingga sekarang, dia deket sama Andini.
Hebatnya, Tia ini juga nyaris nggak kenal sama gue waktu gue telfon.
Dari telfon itu, Tia cerita bahwa kejadian yang gue
alami sore itu, bukanlah kejadian pertama yang dialami Andini. Tapi udah sering
dan terjadi sejak dulu. Andini udah pacaran sama terasi rujak itu lebih dari
empat tahun. Dan tentu saja kekerasan fisik yang dialami Andini terjadi di
tahun-tahun itu. Kalau Andini bisa tahan diperlakukan seperti itu, apa gerangan
yang dapat membuatnya bertahan sehebat itu?
Akhirnya gue sadar bahwa Andini bukanlah seorang
yang meminta dikasihani. Dia bahkan sudah terbiasa dengan kekerasan fisik.
Jangankan kekerasan fisik, kekerasan hati seperti dikecewakan, diduakan,
mungkin sudah jadi sarapan setiap hari buat Andin.
Logika
berpikir gue nggak masuk di kepala Andin.
Mungkin
benar,
Kadang kita memilih
untuk menyembunyikan luka ketimbang menyembuhkannya.
Sore
itu, saat melihat masa lalu gue dipukul dan dibentak, juga suara sesegukan
Andin di telfon, adalah pertemuan kami yang terakhir kali. Lagi.
Kali
ini, delapan tahun gue tutup dengan sebuah cerita.
Menyedihkan.
From Don Juan