Warisan Mantan
Sore itu gue ada janji kencan
dengan Murni. Cewek yang namanya udah seperti nama samaran sehingga nggak perlu
repot-repot lagi gue samarkan namanya ini, udah chatting dan telponan sama gue
selama kurang lebih tiga bulan.
Kalau anak lulusan sekolah cinta
bisa ngajak kencan cewek dalam hitungan hari, gue baru bisa ajak Murni kencan
di hitungan bulan. Bulan ketiga.
Gue memang sangat berhati-hati
ketika pedekate-in Murni. Gue nggak pengin berakhir seperti yang sudah-sudah. Ya,
seperti biasa, kalau nggak disangka mau nawarin MLM, paling banter ya disangka
tukang duku. Gue deketin Murni penuh dengan kesabaran dan ketelitian.
Victory
loves preparation.
Maka, tibalah gue di sore yang
ditunggu-tunggu. Sore hari yang lahir dari buah kesiapan dan kesabaran. Gue
sudah di depan kosan Murni setengah jam sebelum jam lima. Sembari memarkir
motor agak jauh dari gerbang kosnya, gue memandangi kos murni. Kosnya cukup
bagus untuk cewek secakep Murni. Nggak kayak kos gue yang kamar mandinya di
dalem, tapi tidurnya di depan toko.
"Hai, Don, udah nunggu lama ya?" Suara
Murni di seberang pagar memecah lamunan gue tentang baju apa yang akan
dipakainya.
"Idiiihhh, kamu mau ke mana kok cakep
sekali." Tanya gue kembali sambil menerka-menerka seberapa dekat gue
dengan bahagia.
"Ya ampun, kamu bisa aja. Oh iya, Don, kos
kamu kan jauh dari sini. Naik apa ke sini?" Tanyanya lagi sambil sesekali
menyeka poninya.
"Ohh, nggak jauh kok, kan naik itu."
Jawab gue sambil menunjuk ke arah motor.
Murni melihat ke arah yang gue tunjuk.
Murni diam sambil mengernyitkan dahi.
"Ayo, jadi ke Mall? Udah sore loh."
Murni masih diam.
"Kok Murni diam aja? Nanti bisa kesambet
loh. Yatapi aku belum pernah sih liat cewek cakep terus kesambet. Hehe."
Tanya gue lagi.
"Anjis, apa Murni ilfil sama gue ya
gara-gara gue jemput dia pakai motor?" Bisik
gue dalam hati.
Mampus nih gue.
Murni kembali melihat ke arah motor gue.
"Anjir, apa jangan-jangan Murni tau kalau
motor yang gue bawa itu motor pinjaman??? Terus kenapa juga yang gue pinjem itu
motor supra? Aturan mah motor gojek! Bego lu, Don, bego!" Gue menjerit dalam hati dan kembali menyalahkan diri
sendiri.
"Aku nggak biasa dijemput pakai motor."
Murni tiba-tiba menjawab.
DHEG!
"Duh mampus lu, Don,
mampus." Bisik gue lagi.
"Te-terus kamu kamu maunya naik apa? Aku
bisa telpon taksi kok. Aku telpon sekarang ya." Jawab gue sambil berusaha
tegar.
Murni diam lagi.
"Aku biasa dijemput pakai kereta api."
Jawab Murni datar.
DHEG!!!
"Wanjer! Gue harus minjem kereta
api sama siapa cobak? Boro-boro punya kereta api, korek api aja gue minjem di
warung. Gimana ini.." Bisik gue sambil sedikit
merapal doa.
Gue pun berpikir keras. Kendaraan apa yang mirip
kereta api, tapi bisa masuk gang kosannya Murni.
Akhirnya, kita sepakat naik ini.
Real man use three pedals. |
Sore itu menjadi sore yang
sangat panjang, dan sekaligus penuh penderitaan. Setiap melewati perumahan,
selalu aja ada ibu-ibu yang menatap gue dengan tatapan ingin mencemooh.
Gara-gara gue, anaknya nggak bisa ikutan naik. Sedih..
=====
Pengalaman gue di atas adalah
sebuah kejadian yang penuh makna. Pesan moralnya bukan dari odong-odongnya,
namun dari sifat dan kebiasaan sang gebetan.
Bahwasanya, setiap
masing-masing dari kita, punya kebiasaan yang sebenarnya nggak pernah kita
lakukan dan mungkin nggak kita sukai sebelumnya. Kebiasaan dan sifat itu
sebenarnya adalah kebiasaan yang dimiliki orang lain.
Orang lain yang kita cintai.
Ya, kebiasaan dan sifat yang diwariskan oleh
pacar ataupun mantan.
Warisan mantan.
Gue juga sempet kaget kalau
ternyata mantannya Murni adalah seorang masinis kereta. Dari kabar yang
berhembus, Murni putus sama cowoknya karena cowoknya nggak bisa diajak selfi. Cewek-cewek pada umumnya kan selfi di mobil sama cowoknya. Si
cewek berpose senyum, kepalanya dimiring-miringin. Si cowok pake kacamata item,
menatap mantap ke depan, tangan kanan megang stir, tangan kiri megang
perseneling, dan pura-pura nggak tau kalau ceweknya lagi selfi.
Si cowok cool abis.
Itulah yang membuat Murni putus dengan cowoknya.
Gimana nggak putus, cowoknya bawa kereta api, stirnya nggak bulet, dan Murni
nggak bisa selfi di samping seorang masinis.
Murni nggak biasa dibonceng naik motor karena dia
terbiasa dibonceng naik kereta api.
Murni kasian banget.
=====
Begitu juga halnya dengan gue.
Banyak yang bilang kalau gue terlalu banyak menyindir dan sarkas ke nyaris
semua hal. Terutama soal agama. Teman-teman gue banyak menegur untuk jangan
terlalu keras melakukan sindirian dan koreksi terhadap agama, karena itu tugasnya
atheis. Bukan tugas gue.
(LOL)
Pengalaman buruk gue di masa
lalu bisa jadi adalah warisan para mantan. Drama-drama melankolis mantan dan
sikap intoleran dari ortu pacar ke gue yang diakibatkan perbedaan agama,
mendatangkan sifat baru di dalam diri gue yang gue nggak gue sadari.
Bad relationship change good people.
Banyak juga yang bilang kalau
gue puitis dan bijak. Padahal, setiap harinya, gue cuma cengengesan dan nggak
pernah baca buku puisi atau filsafat. Bertolak belakang.
Mungkin, ini adalah peninggalan
Gaby. Seorang cewek berkaca mata, dan suka menyeka poninya ketika membaca
buku, secara nggak gue sadari mewariskan sifat itu ke gue. Dia adalah cewek
yang suka melahap buku.
Dia sangat pintar. Bahkan ketika IPK gue
berdua sama temen gue dijumlahkan, masih belum bisa mengalahkan IPK Gaby. Waktu
IPK gue 2.3, temen gue menyembah gue. Katanya, gue pinter banget. Padahal, otak
dia yang segede biji cabe. Gaby selalu meminjamkan buku untuk gue baca setiap minggunya. Dari buku novel sampai buku kalkulus (penting abis).
Dari Gaby, gue mulai mengenal hobi membaca buku dan mulai tertarik menulis. Walau semua tulisan yang gue buat, nggak ada yang penting.
Dari Gaby, gue mulai mengenal hobi membaca buku dan mulai tertarik menulis. Walau semua tulisan yang gue buat, nggak ada yang penting.
Begitu juga dengan cewek yang disebut saja Naya. Semasa pacaran, gue sering berantem dengan dia. Sifat sarkas gue yang muncul karena warisan mantan sebelumnya, sering menyakiti Naya. Dia juga sering menyebut gue sebagai cowok yang kasar. Gue langsung teringat ketika Naya bercerita tentang mantannya. Mantannya adalah cowok yang bertutur kata rapi, omongannya halus, dan romantis. Itulah yang membuat Naya tergila-gila dengan mantannya dulu. Berbeda terbalik dengan gue yang kalau ngomong secepat Eminem nge-rap, tapi suka berenti-berenti kayak Ajis Gagap. Naya terbiasa dengan cowok yang halus dan bertutur kata seperti ujian bahasa indonesia.
Mungkin benar, mantan tak pernah pergi dari hidup kita, beberapa sifat mereka masih kita bawa hingga hari ini.
Dan mungkin benar, kita adalah apa yang mantan kita wariskan..
Tags:
Filosofi kacang
2 Komentar
lanjut terus pantang untuk mundur,gua tunggu postingan selanjutnya kak don
BalasHapusWarisan mantan? Hmm...ga ada sih, bang. Oranng dia blom mati.
BalasHapus