5 Kenyataan Pahit dalam Hidup
Setiap
orang punya kenyataan hidupnya masing-masing. Ada yang nasibnya harus menjomblo
belasan tahun setelah putus dari pacarnya untuk bisa menemukan pengganti yang
baru, ada yang nasibnya datang jauh-jauh hanya untuk ditinggalkan, ada yang
nasibnya mencintai diam-diam dan nggak pernah diungkapkan, ada yang nasibnya
jago di dunia maya tapi melempem pas ketemuan, dan ada juga yang nasibnya cuma
dijadiin tempat curhat. Ada.
Kenyataan
hidup di atas nggak dialami setiap orang. Tapi, ada beberapa kenyataan hidup lain
yang pasti akan kita alami di hidup ini tanpa kecuali. Tidak memandang jelek –
ganteng, kaya – miskin, baik atau kampret, semuanya akan mengalami kenyataan
hidup ini tanpa kecuali. Kenyataan hidup paling sial.
KENYATAAN HIDUP 1: BEDA SELERA
Setiap
dari kita pasti pernah mengalami yang namanya perbedaan selera. Beda di selera
makanan, selera musik, dan selera bundo. Oke, yang terakhir itu nama sebuah rumah
makan padang. Semuanya terasa baik-baik saja sampai akhirnya perbedaan selera
ini menjadi salah satu kenyataan hidup paling sial. Iya, salah satunya adalah “gue suka dia tapi dia nggak gue” dan “dia suka gue tapi gue suka sama yang lain”.
Kenyataan
hidup ini membuat gue pernah berada di dalam kondisi kentang dan mengambang.
Jomblo nggak, punya pacar benaran juga nggak. Seorang jomblo nggak mungkin
terlalu banyak mendapat perhatian dari lawan jenis, seperti yang saat itu gue rasakan.
Iya, gue diajak jalan kemana-mana, tiap hari diingetin makan, bobo, dan mandi.
Dan tentu aja dijadiin tempat curhat, tapi nggak pernah dianggap lebih. Iya,
karena gue sayang dia, tapi dia masih berusaha sayang ke orang yang terus
nyakitin dia. Kondisi ini juga yang membuat bertanya-tanya, “Terus gue pacaran sama siapa?” kalau
gue suka dia tapi dia suka sama yang lain, dan dia suka gue tapi gue nggak suka
sama dia.
Kampret,
nyet.
Di
cerita-cerita sebelumnya, juga udah pernah gue tulis tentang suka-duka pedekate
yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dan gue nggak dapat apa-apa, selain
pembelajaran. Segala usaha seperti mengubah sifat menjadi seperti yang dia
inginkan, walaupun berhasil, tetap nggak membuat gue mendapatkan hegemoni
pacaran yang didamba-dambakan. Dia suka sama cowok cool yang minim ekspresi
ketimbang cowok yang humoris meledak-ledak.
Sampai
pada akhirnya, kalimat dia yang berbunyi,
“Kamu itu baik, kamu itu nyenengin,
tapi maaf, aku nggak bisa anggep kamu lebih dari ini.”
menghentingkan
niat gue untuk melangkah lebih jauh.
Setelah
itu gue sadar, bahwa cinta nggak cuma memberikan kenyamanan, ada sesuatu yang
lebih dari itu. Buat apa memberi kenyamanan jika yang dia cari adalah yang menyakiti.
Ini
kenyataan hidup yang lumayan kampret.
KENYATAAN HIDUP 2: LDR
Hubungan
jarak jauh. Mayoritas remaja menganggap bahwa LDR cuma membicarakan yang
namanya cinta. Banyak yang ceng-cengin pasangan LDR, termasuk gue. Sederhana,
soalnya chemistry itu kan dibangun
dari jumlah waktu yang dihabiskan bersama. Sedang LDR berkekurangan untuk hal
yang satu itu.
Setelah
puas membuat pasangan-pasangan LDR ini mulai mempertanyakan kejelasan masa
depannya, beberapa menit kemudian, gue disambar sebuah pemikiran yang tidak
biasa. Ternyata, semua dari kita akan mengalami yang namanya hubungan jarak
jauh. Akan mengalami momen - momen temu kangen via kening gagang telepon. Akan
saling mengabari via pesan singkat. Wujudnya yang dulu sering berlalu-lalang di
depan mata, kini berubah menjadi sebatas untaian kata.
Mahasiswa
rantau. Setelah tiba di kampusnya, mereka akan melakukan hubungan jarak jauh
dengan kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, dan mantan-mantannya. Kalaupun
nggak merantau saat kuliah, kemungkinan besar akan merantau pada saat masuk
dunia kerja. Kalaupun nggak merantau saat kuliah dan kerja, kelak, pada
akhirnya, kita akan tetap melakukan hubungan jarak jauh dengan sesama, via doa.
Dia di surga, kita di sini. Atau sebaliknya.
Karena pada akhirnya, hanya lewat
doa, satu-satunya komunikasi yang akan tetap mendekatkan kita, sejauh apapun
jaraknya.
Sebuah
kenyataan hidup yang tak dapat dipungkiri.
KENYATAAN HIDUP 3: NGANTRE
Pagi
itu, sekitar jam sepuluh, belum sarapan dan belum mandi, gue sudah berdiri
manis membelakangi punggung-punggung lelaki. Mungkin, lelaki-lelaki ini
bernasib sama dengan gue, ya, mengemban tugas mulia untuk mengantre tiket Man
of Steel.
Antrean
yang mencapai parkiran di luar gedung XXI itu memunculkan pemikiran di kepala
gue: Jika gue datang pukul sepuluh dan membutuhkan waktu lima belas menit untuk
memilih tempat juga membayar tiketnya di loket, kapan gue akan mencapai loket?
Ya,
minggu depan.
Tebak, gue yang mana? Ya benar, gue yang paling belakang. |
Sampai
pukul sebelas lewat, gue masih antre di luar gedung. Satu jam kemudian, gue
akhirnya masuk ke dalam gedung. Karena takut kehabisan tiket, gue lekas
menelfonnya, “Mbem, aku udah dari tadi pagi ngantri Man of Steel, kalau dapetnya
malem gimana”? “Usahain sore lah, gimana sih?” jawab dia. “Ya, seandainya yang
sore penuh, nonton malem masih mau?” Bales gue. “Ya, dicoba dulu, jangan
pesimis gitu dong.” “Ngg ba-baik, kanjeng ratu.” Jawab gue.
Dia
maunya nonton yang sore, sekitar jam 16.45. Dan sekarang pukul satu, gue makin
resah kalau bakal kehabisan tiket. Dua puluh menit kemudian, gue tinggal
selangkah lagi dari garis finish, satu punggung lelaki lagi maka gue akan
berhadapan dengan loket yang didamba-dambakan.
Akhirnya,
“Mbak, Man of Steel untuk dua orang.” “Yang jam berapa, mas?” “Jam 16.45,
mbak?” “Mau duduk di mana mas, tinggal ini yang tersisa.” Tanya mbak-mbak
cantik itu lagi. Gue memajukan badan, melihat monitor. Oh shit, belakang dan tengah udah penuh semua. Gue langsung telfon
dia lagi.
“Mbem,
tinggal kursi C, B, dan A doang nih. Tengah dan belakang abis semua untuk pukul
16.45” “Ya terserah kamu ajalah.” Jawab dia. Beberapa detik kemudian, dia
menutup telfonnya. “Mbak, yang B aja deh.” Gue mengeluarkan selembar uang
seratus ribu untuk dua tiket itu. Selesai sudah ritual mengantre siang itu. Gue
kembali ke kosan, masih ada sekitar tiga jam sebelum film dimulai.
Pukul
16.00, gue jemput dia di kosannya dan membawanya ke XXI. Selama di dalam
bioskop, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Begitu film selesai, sebuah
tragedi terjadi.
“Kenapa
duduk di B yang paling pojok sih? Nggak ada tempat lain? Jereng tau nggak mata
aku nontonnya!”
“Kata
kamu tadi, terserah kan..” Jawab gue sambil meminum coca-cola yang belum habis.
“Ya,
kalau udah nggak dapet tiket jam 16.45, bisa di jam yang lain kan?!”
“Lha,
kamu kan maunya cuma yang jam segitu?”
“Ya,
kamu nanya dulu ke aku bisa kan?!”
“Anjis,
tadi kan udah gue tanya sama elu, nyet.” Gue ngebatin.
Dia
pun ngeloyor gitu aja keluar dari gedung bioskop.
Kampret
bener. Udah ngantre dari pagi sampe siang, tiketnya gue yang bayar, gue yang
jemput, gue yang beli pop corn sama minum, tetep aja dia yang uring-uringan. Ya
gini deh cowok, untuk hubungan yang nggak pasti aja rela berbuat banyak.
Kecewanya pun nggak kalah banyak.
====
Selain
ngantre di bioskop, kenyataan hidup yang nggak kalah kampret adalah ngantre di
ATM. Kalau ada ibu-bu, udah ngebuka dompet dan ngeluarin struk-struk tagihan di
depan pintu ATM, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan saat mengantre di
belakangnya adalah: Mendirikan tenda.
Gue di mana? Itu lagi ngerjain skripsi di dalem. |
Juga
akan tiba waktunya mengantre di belakang mahasiswa yang ngambil duit aja lama
bener. Sempet curiga jangan-jangan dia ngerjain skripsi di dalem.
Selain
ngantre di ATM dan di bioskop, kita juga bakal kena yang namanya ngantre di
jalan, atau tepatnya macet. Asal tau aja, di Jakarta, macet itu udah kayak
Tuhan. Ada di mana-mana. Berangkat dengan keadaan punya pacar, pulang-pulang
itu pacar udah nikah sama orang lain. Menua di jalan. Mendua juga di jalan.
Kenyataan
hidup yang kejam.
KENYATAAN HIDUP 4: PENOLAKAN
Isi sempak yang malang.. |
“Aya,
aku sayang kamu. Kamu jadi pacarku sekarang. Deal?”
“What?! Kita baru kenal satu minggu!
Apaan deh..”
“Tapi
Ay, cinta kan nggak kenal durasi.”
“Aku
udah punya pacar. Kamu ngerti itu, kan?”
“Ta-tapi,
dia nggak sayang sama kamu, Ay.”
“Kamu
tau apa emangnya soal dia!? Kamu nggak tau!!” Balas aya dengan muka bete sambil
merapikan poninya.
“Aku
memahamimu, kamu malah memahaminya. Tapi kamu tak memahami jika dia tak pernah
memahamimu.”
“UDAH,
CUKUP!! CUKUP, DON!! CUKUPP!! AKU MAU PULANG SEKARANG!!”
“Aya,
tunggu! Tunggu dulu!”
BRAK!!
Aya
membanting pintu mobilnya di depan pagar kosan gue. Beberapa detik kemudian,
mobil merahnya hilang di persimpangan. Begitulah lika-liku tentang mengutarakan
rasa. Nembak kecepetan, ditolak. Nembak kelamaan, friendzone. Intinya, ujung-ujungnya ditolak. Udah nebeng, udah
nembak, dan.. ditolak.
Lengkap
sudah kekampretan gue hari itu.
Untung
gue nggak nembak Aya di jalan, kalau iya, pasti gue udah disuruh turun di sana.
Emang bener kata Sobirin, teman gue, satu-satunya orang yang nggak akan nurunin
kita dari mobil kalau lagi berantem adalah supir angkot.
“Kalaupun
diturunin dari mobil, itu juga karena dioper, Don.” Kata Sobirin, menambahkan.
====
Nggak
cuma untuk cinta, penolakan adalah kenyataan hidup yang akan terjadi pada
siapapun yang memutuskan untuk berusaha. Waktu kecil, gue suka merengek meminta
sesuatu ke orang tua. Hebatnya, the power
of rengekan gue itu, sering membuahkan hasil. Hasilnya adalah ditolak.
Waktu kelas 2 SD gue pernah nggak mau sekolah kalau nggak dibelikan sepatu yang
bisa nyala-nyala saat dipake jalan. Gue juga pernah nggak mau tidur kalau belum
dibeliin oreo. Dan banyak hal nggak penting itu ditolak, alias nggak dikabulkan
orang tua gue.
Waktu
kelas 5 SD, gue adalah anak lelaki yang besar di lingkungan Pokemon. Saat itu,
permainan kartu Pokemon sangat digandrungi. Di saat yang bersamaan, gue
menjelma menjadi pemain kartu Pokemon yang hebat. Satu per satu teman-teman gue
di kelas harus merasakan kehebatan gue dalam memainkan permainan yang
membutuhkan kecerdasan lebih itu. Pernah terbersit di kepala kalau nantinya gue
akan menjadi atlet kartu Pokemon profesional.
Tapi
gue urungkan.
Contoh kartu Pokemon jaman sekarang. |
Semakin
lama, kemampuan mengatur strategi dalam permainan itu membawa gue ke cerita
lebih jauh. Memasuki liburan kelas 5 SD, gue mulai mengikuti Tournament of Pokemon Trading Card –
Turnamen kartu Pokemon di Kidstation, PIM, yang mengikutsertakan bocah-bocah
ingusan lainnya. Kartu Pokemon, saat itu, bukanlah mainan murah. Satu deck elemen fire and fighting (berisi 60 kartu) yang gue punya untuk bisa
mengikuti turnamen itu, harus ditebus bokap gue dengan merogoh koceknya sebesar
dua ratus ribu rupiah lebih. Sebuah angka yang cukup besar pada awal tahun
2000.
Contoh deck kartu Pokemon jaman sekarang. |
Hari
ketiga turnamen, gue melawan anak kecebong dari SD Al-Azhar Pondok Labu.
Sialnya gue kalah telak. Kartu Pokemon yang kalah, harus diberi pada pemenang
pertandingan itu. Gacoan gue banyak
yang diambil dia. Intinya, gue rugi bandar. Untuk bisa melanjutkan ke ronde
berikutnya, gue harus mengganti starter
deck dengan Pokemon elemen lain. Intinya, gue beli harus menyusun deck baru yang lebih kuat. Intinya lagi,
gue harus beli kartu pokemon lagi.
Iya-iya,
inti pokoknya, gue harus merengek lagi ke bokap supaya mau beliin.
Tapi
nggak dikabulkan. Bokap gue menolak permintaan gue.
Gue
merengek.
Bokap
gue marah dan ngegendong gue pulang dari Kidstation siang itu.
Sesampainya
di rumah, gue nangis ke nyokap.
“Mas,
papa lagi nggak punya uang, papa harus nebus biaya perawatan kakakmu di rumah
sakit.” Bisik nyokap sambil meluk gue, ngelus-ngelus rambut gue.
“Nggak
mau, aku mau kartu Pokemon itu! Papa jahat! Jahat!”
Di
teras, bokap gue melihat gue nangis kejer di pelukan nyokap. Sepertinya beliau
sedih. Sebentar kemudian, bokap pergi ke luar. Entah ke mana.
Esok
paginya, begitu bangun dari tidur, starter
deck kartu Pokemon yang paling gue idam-idamkan, ada di samping bantal gue.
Seingat gue, harganya nyaris lima ratus ribu. Gue berlari ke kamar bokap dan
memeluknya yang masih tidur. Bokap gue mengelus-elus kepala gue. Dan semuanya
kembali ke kebahagiaan semula.
That’s the power of rengekan
anak kecil..
Hebatnya,
baru dua tahun kemudian, gue mengerti dari mana bokap gue mendapatkan uang
untuk membelikan gue kartu Pokemon itu, di saat terbelit biaya berobat kakak
gue di rumah sakit.
Ya,
bokap gue ngegadai sertifikat rumah ke Bank untuk melunasi seluruh biaya
berobat kakak gue, dan tentu aja untuk kartu Pokemon yang tak seberapa artinya
itu. Semenjak saat itu, kelas dua SMP, gue berhenti menuntut orang tua untuk
hal-hal seperti itu. Orang tua bisa melakukan hal-hal di luar kendali atas nama
cintanya pada anaknya.
Kartu
Pokemon yang dibeli dengan cara menyedihkan oleh bokap, masih gue simpan sampai
sekarang. Setiap melihatnya, gue selalu ingat dengan tiga hal ini: Penolakan, Pengorbanan, dan Penerimaan.
Pada
saat berusaha di kesempatan pertama, kita akan ditolak. Untuk bisa mendapat sesuai keinginan, kita harus
memberikan usaha lebih dengan pengorbanan.
Setelah semua usaha dan pengorbanan telah dilakukan, kita akan bertemu dengan
yang namanya penerimaan. Kita
mendapat apa yang dinginkan, atau kita menerima hikmah bahwa beberapa hal
memang datang dan baru bisa didapatkan pada saat yang tepat, hanya pada kita
yang siap.
====
Dari
kecil, kita udah ditolak. Lulus dari SMP dan memasuki SMA unggulan, kita juga
bisa ditolak. Setelah lulus dari SMA, kita akan ujian menuju perguruan tinggi.
Dan semua orang tau, yang namanya ujian perguruan tinggi negeri, udah pasti ada
yang ditolak. Begitu diterima di perguruan tinggi yang diinginkan, di semester
akhir, kita akan bertemu yang namanya skripsi. Yang namanya mengajukan judul
skripsi, pasti ada yang namanya ditolak. Setelah diwisuda, ada yang melamar
kerja dan ada yang merambah dunia bisnis. Melamar kerja udah tentu ada yang
ditolak. Jualan atau bisnis, juga udah tentu ditolak konsumen.
Dan
tentu aja tentang cinta, selalu ada kata penolakan di dalamnya.
Dan
tentu aja ketika gue menulis ini, gue ditolak pembaca dan ditolak oleh
penerbit.
Hidup
adalah tentang penolakan, menolak untuk menyerah.
KENYATAAN HIDUP 5: BEDA AGAMA
“Emang
kenapa kalau dia beda sama gue?” Jawab Sobirin sambil tetap chatting sama
gebetan barunya.
“Ya
gapapa sih, iya ya, apa salahnya kalau beda? Nggak ada yang salah.” Balas gue
sambil menatap langit malam di genteng kosan.
Saat
itu pukul sepuluh malam, gue ngebantuin Sobirin benerin antena di genteng. Belum
sempet bener, Henfonnya Sobirin bunyi terus. Iya, Sobirin lagi deket-deketnya
sama seorang cewek. Wajahnya cantik, nggak kayak Sobirin.
“Emang
lu punya masalah kalau lu beda agama sama pacar, Don?” Tanya Sobirin sambil
ngebuka baut tempat kabel di antena itu.
“Nggak
sih, Sob, gue mah santai.”
“Buset
Don, ini mah angus kabelnya, pantes tipi di bawah kresek-kresek. Kudu diganti
yang baru ini mah.”
“Ngg..
nggak sih, gue mah bisa nerima. Orang lain yang nggak bisa nerima.”
“Don,
ini kudu beli antena baru. Apa namanya tuh yang diiklanin Mastur, PF Goceng?”
“Itu
yang jadi masalahnya, kenapa orang lain nggak bisa nerima perbedaan semenerima gue?”
“Hmm,
kalau beli sekarang, udah tutup tokonya, jadi dibiarin dulu aja apa gimana nih,
Don?”
“Padahal
ni ya Sob, kalau bisa menerima, nggak akan ada tuh orang ribut-ribut cuma gara-gara
perbedaan agama.”
“Tapi
sebagai anak tehnik elektro, gue bisa benerin ini. Ini cuma kabelnya doang yang
angus, masih bisa diganti kabelnya, Don.”
“Gue
jadi inget dia, Sob. Waktu itu udah malam, hujan deras, gue anterin pulang ke
rumahnya pakai motor nerabas hujan. Dia gua pakein jas hujan, ketiup angin,
udah kayak jubah superman, Sob.”
“Pas
semester tiga, gue ada tuh praktikum nyolder-nyolder alat listrik, gue dapat
nilai lumayan bagus sih. Kalau cuma antena rusak kayak gini mah, nggak perlu
beli baru.”
“Pas
nyampe di depan pagar rumahnya, gue matiin motor. Tiba-tiba bapaknya keluar
dari dalam rumah bawa payung. Nyuruh masuk anaknya, ninggalin gue tanpa sepatah
kata apapun.”
“Tapi
gue juga masih bingung sih, Don, kenapa kabel ini bisa angus ya? Padahal
kesamber geledek juga kagak.”
“Begitu
buka pintu rumahnya, pacar gue masuk ke dalam, gue masih di balik jas hujan,
tiba-tiba bapaknya keluar lagi, nyamperin gue yang belum cabut dari depan pagar
rumahnya.”
“Ya
udah coba lu pikirin deh Don, ini nggak masuk akal kali, ini antena belum ada setaun
umurnya, masa bisa angus gini kabelnya? Wah, ini pasti ada yang sabotase, Don!
Pasti ada anak lain di kosan ini yang jealous sama tipi kita! Pasti!”
“Terus
bapaknya nanya ke gue, “Oo, jadi kamu yang namanya Downy itu ya?” gue jawab aja
iya. Belum gue sempet memperkenalkan diri, bapaknya udah nyamber lagi, “Kamu
agamanya apa? Besok-besok nggak perlu anter – jemput Andini lagi ya.” Kata
bapaknya, pelan.
“Don,
lu sebenernya curiga ngga sih sama anak di kamar paling pojok?! Waktu itu dia
nggak diajak nonton Liga Champion bareng, terus dia mengurung diri di kamar
seharian. Kayaknya dia yang nyabotase antena kita! Menurutlu gimana, Don?!”
“Gue
akhirnya sadar, Sob, gue diusir sama bapaknya, jangan deketin anaknya lagi
karena gue sama Andini beda agama.”
....
....
Gue
menatap Sobirin.
Sobirin
menatap Gue.
Sebentar
kemudian gue dan Sobirin menatap antena itu.
....
....
“Lu
ngomong Apaan sih, Sob?”
“ELU
NGAPAIN CURHAT, SETAN?!” Bales Sobirin.
“LAH
ELU NGAPAIN NUDUH ANAK DI KAMAR PALING POJOK NYABOTASE ANTENA?!!” Jawab gue lagi.
“LAH
EMANG KENAPA?!”
“ITU
KAMAR GUE, NYET!!”
Akhirnya,
perbincangan di atap genteng malam itu kami sudahi. Percuma berkomunikasi dengan
Sobirin. Dia memang selalu begitu. Tapi walaupun kampret, dia nggak pernah ninggalin
gue cuma gara-gara beda agama.
Udah suka sama dia, eh dianya yang nggak suka. Dianya udah suka, eh akunya yang nggak suka. Udah sama-sama suka, eh beda agama. Udah beda agama, eh bapaknya nggak merestui.
Ya, kenyataan hidup yang pahit.
Tags:
Filosofi kacang
2 Komentar
Karena pada akhirnya, hanya lewat doa, satu-satunya komunikasi yang akan tetap mendekatkan kita, sejauh apapun jaraknya.
BalasHapusni cerita panjang amat. tapi tetep enak dibaca tulisannya
BalasHapus