Standard Logical Fallacies
Tahun
2014 ini adalah tahun yang menurut gue paling keras jika dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Kenapa? Ya, gue sebagai remaja yang aktif merangkai
kata di platform berbasis menulis – Twitter, berhasil mencatatkan statistik
perdebatan tersengit dan pembully-an
paling keras sepanjang karir gue main Twitter. (tsaelah, karir..)
Gue
mengerti, akan banyak terjadi beda
pendapat di hidup ini. Gue juga nggak masalah dengan hal umum seperti itu. Yang
menjadi perhatian serius gue adalah, cara dalam berdebat. Belum sampai di
pertengahan tahun 2014 saja, gue yang termasuk akun yang kalem di Twitter,
terlibat dalam debat sengit dan di-bully oleh akun ratusan ribu follower. Oh
iya, gue juga sadar, keseharian gue di timeline
adalah membahas hal-hal sensitif seperti
cinta dan agama. Buat gue, dua hal itu adalah hal yang cukup mudah memicu pro
dan kontra. Akan sangat mudah untuk disanggah.
Entah
kenapa gue jadi sering mikir, tindakan bullying di Twitter adalah salah satu
bentuk kesalahan dalam berdebat atau cacat dalam mengemukakan logika dan
pendapat yang akhirnya mengacaukan debat. Banyak banget contoh debat di Twitter
yang nggak berjalan semestinya, melainkan cuma adu caci dan trash talk.
Semenjak
gue aktif di organisasi kampus, cacat dalam berpendapat dan berlogika (logical fallacies) sering banget
terjadi. Entah argumen gue yang cacat, atau tanggapan mereka yang cacat.
Pokoknya di akhir debat selalu terjadi misleading
topic. Kalau dalam debat face to face
aja bisa cacat berlogika, apalagi di Twitter yang hanya lewat kata? Suatu topik
A akan sangat mudah diplintir menjad topik B, dan akhirnya malah masalahin topik B yang
ujung-ujungnya mislead menjadi topik C.
Cacat
dalam berlogika ini, menurut gue, akan selalu ada dalam setiap debat. Bedanya
cuma dari seberapa fatal dan dari seberapa jauh melencengnya. Gue rasa, cacat
berlogika ini juga nggak cuma dimiliki orang yang kurang pintar, namun juga
dimiliki orang yang merasa pintar. Debat acara ILC adalah salah satu contohnya.
Ternyata, pejabat publik juga sering mislead
dalam debat. Cacat dalam menanggapi argumen adalah salah satu sebabnya.
Jadi, hampir nggak ada seseorang yang murni tanpa cacat logika. Ego,
kepentingan, dan rasa benci personal terhadap lawan bicara dapat mempengaruhi
kemampuan dalam berpendapat.
Brace your self, logical fallacies are coming.. |
Ada
sangat banyak istilah-istilah logical
fallacies dalam mengemukakan atau menanggapi suatu argumen, di tulisan gue
yang nggak seberapa ini, gue mau membahas beberapa standard logical fallacies yang paling sering
terjadi dan dilakukan ketika bependapat. Iya, yang paling standard dan sering
gue temukan dalam keseharian gue..
1. Argumentum ad Hominem
Dulu, semasih aktif di dunia organisasi kampus,
gue paling nggak seneng cara berpikir kayak shoot
the messenger, not the message. Buat gue, ini bener-bener cacat paling mendasar. Ya, bukannya menanggapi topik dalam
debat, malah mendebat atau menyerang pribadi lawan. Ya, itulah argumentum ad hominem, sebab menyerang
pribadi lawan akan selalu lebih mudah ketimbang menyerang argumennya. Awalnya,
gue sempet nggak bisa bedain antara argumentum
ad hominem dengan mencaci atau menghina. Sebab, di mata orang awam akan nampak sama.
Argumentum ad hominem
tendensinya nggak melulu tentang penghinaan. Kalau dari sepenangkapan gue, ad
hominem adalah mengaitkan dua atau beberapa hal yang nggak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan topik awal. Akhirnya topik jadi melenceng dan bikin-bikin
emosi.
Ambil
contoh kasus Zarry Hendrik yang berpendapat tentang Prabowo lewat tulisannya di
Tumblr. Lalu, tidak beberapa lama kemudian datanglah Armand Dhani memberikan
kritik terhadap tulisan Zarry dan beberapa cacat berpikir di dalamnya. Menurut
gue semua berjalan baik-baik saja ketika Armand Dhani menyerang opini-opini
Zarry. Sampai pada akhirnya, followers Armand Dhani dan banyak orang yang
nge-RT twit mereka, membuat kecacatan berlogika yang sangat fatal. Ya, argumentum ad hominem. Ketika gue
telusuri lebih dalam, mereka-mereka ini bukannya menanggapi opini Zarry tentang
Prabowo, melainkan nyerang kenapa Zarry ini tukang dugem, kenapa Zarry ini suka
nyepik cewek, kenapa bukunya Zarry nggak laku. Bahkan ada yang lebih fatal, ada
yang nyerang kalau Zarry ini selebtwit murahan. Demi duit, ngebaser tukang
culik pun halal. Bahkan ada yang nyerang kalau Zarry ini gigolo. (Gue sengaja
nggak ngasih bukti twit lewat screen
capture, takutnya nanti memperkeruh suasa. Tapi bisa di-stalk.) Gue nggak
berada di pihak Zarry maupun Armand Dhani, gue cuma melihat kasus ini dari
sudut pandang sendiri. Akhirnya, tindakan bully berbau ad hominem kepada Zarry sukses membuatnya nutup akun selama sehari.
Udah,
gitu doang sih..
Contoh
lainnya ketika gue bicara empat mata dengan sang kekasih, sambil menggenggam
kedua tangannya dan menatap lekat-lekat matanya, “Bagiku, kau adalah yang tetap
selalu akan..” Ucap gue pelan.
Lalu
dia menjawab dengan Argumentum ad hominem,
“Emang orang ganteng bahasanya harus gitu, ya?”
See?
Bukannya
menanggapi pendapat gue, dia malah nyerang kegantengan (fisik pribadi) gue.
Akhirnya pembicaraan pun menjadi mislead. Sungguh-sungguh disayangkan..
Ada sangat banyak jenis kecacatan berlogika, namun
buat gue, argumentum ad hominem
adalah standar kegagalan dalam berdebat.
Kalau kamu lagi berpendapat di TL, lalu ada orang yang menanggapi twitmu dengan
melakukan argumentum ad hominem,
janganlah ditanggapi. Dia bahkan nggak layak mendapat attention-mu. Jika kamu
memang suka berdebat, pilih-pilihlah lawan debatmu.
2. Straw Man
Gue
sempat mengira bahwa Strawman adalah nama seseorang yang menciptakan istilah tersebut.
Ternyata bukan Strawman, melainkan Straw Man – yang artinya manusia jerami. Dulu, gue sering
denger istilah “nge-straw” saat masih menjabat di kabinet orginisasi kampus.
Ya, saat itu “nge-straw” adalah suatu
cara untuk menyangkal argumen lawan
dengan menggantinya dengan sesuatu yang mirip, tapi mudah untuk diserang.
Saat itu gue baru sadar bahwa straw man bukanlah suatu cara dalam berdebat, melainkan
kecacatan dalam berpikir yang menyesatkan. Berarti, gue dan teman-teman gue
saat itu, semuanya cacat. Cacat kok massal.. kayak kesurupan aja.
Straw
man yang artinya manusia jerami ini dianalogikan sebagai sasaran yang empuk dan
mudah diserang. Dengan menyerang manusia jerami yang diciptakan dari
memanipulasi argumen lawan, nantinya dapat membuat argumen sendiri terlihat
kuat dan bagus.
Kecacatan
berlogika straw man ini sering banget ditemui pada debat-debat bertema agama.
Seperti yang baru gue baca belum lama ini di sebuah koran yang mengkritik hukum cambuk di Aceh. Isi kritik tentu saja
mengenai hukum cambuk dan tata caranya, namun malah ditanggapi sebagai
penentangan terhadap hukum Islam. Pengalihan isu cambuk menjadi penentangan ke
hukum Islam, menurut gue adalah manusia jerami yang empuk. Ini adalah satu
contoh bahwa nggak butuh skill bagus dalam berpendapat, tinggal diplintir aja
isunya. Kelar dah urusan..
Selain
isu agama, para fans bola yang aktif di Twitter juga sering banget melakukan
straw man. Sebut saja para fans MU yang tinggal di Cileduk, tapi bio Twitternya
mengaku seorang Manchunian (padahal Manchunian adalah sebutan untuk fans yang
tinggal di Manchester). Ketika ditanya kenapa prestasi MU merosot di musim
2013-2014, jawabnya, “Yaelah, lu nggak tau MU udah juara EPL 20 kali dan treble winner tahun 1999? Hah, nggak
tau??”
Jawaban
fans MU-yang-tinggal-di-Cileduk-tapi-mengaku-Manchunian di atas, adalah salah
satu bentuk kecacatan berlogika. Jawaban straw man di atas nggak menjawab
kenapa prestasi MU bisa merosot, melainkan membuat manusia jerami dengan
menyerang balik menggunakan prestasi MU di masa lampau.
Dan di saat itulah
pelajaran sejarah dimulai..
Keren
ya..
Selain
ngomongin bola, logika straw man ini juga sering banget terjadi dalam dinamika
pacaran anak muda. Contoh sederhananya gampang. Pernah liat cewek yang minta
diturunin di pinggir jalan ketika masih di dalam mobil? Conversation di dalam
mobil dapat dengan mudah kita analisa.
“Sayang,
kamu ngapain sih ngambek terus? Aku salah apa lagi sih sama kamu?” Tanya Randi dengan raut wajah pucat pasi.
“Pikir
aja sendiri.” Rani memotong.
“Ya,
ampun sayangg, jangan kayak anak kecil gitu dong.” Randi menimpali.
“Oh,
jadi selama ini kamu anggep aku anak kecil? Iya, gitu?”
“Ng-nggak
gitu, maksudnya..” Randi semakin pucat.
“Yaudah,
aku mau turun di sini aja, pinggirin mobilnya!”
See?
Ya,
Rani nggak pernah menjawab argumen Randi. Rani menyerang balik dengan aksi
minta diturunin di tengah jalan. Sebuah straw man yang sempurna. Kesimpulan: Tingkat Straw man terhebat adalah straw man tingkat cewek ngambek.
3. Red Herring
Istilah
Red Herring juga pernah gue denger
ketika berada dalam kelas debat Pemilihan Mahasiswa Raya. Dulu, gue dengernya
itu Red Hearing – yang artinya mendengarkan merah (absurd abis). Belum lama ini gue baru ngeh kalau yang bener itu
adalah Red Herring – yang merupakan seekor ikan mati dan udah berbau busuk (anjir penting banget). Fungsinya ya
jelas, untuk mengganggu topik utama dengan bau busuk (opini cacat), dan tentu
saja tujuannya untuk menghindari topik utama. Bangke benar ini yang bikin
istilah..
Jujur,
gue masih suka kebalik-balik antara straw man dengan red herring. Soalnya
sama-sama melintir sebuat topik karena merasa terdesak dengan opini lawan. Jadi
kalau seandainya ini beneran kebalik, maafin gue ya. Nggak kok, gue cuma minta
maaf, nggak ngajak balikan. Beneran..
Sepenangkapan
gue, cacat logika Red Herring ini adalah tentang mendistraksi atau mengalihkan
perhatian orang dari topik yang sedang dibahas dan menggiringnya ke kesimpulan
berbeda. Contohnya gini, “Aku ingin temani kau hingga lembar terakhir novel
hidupmu.” Kataku padanya. “Emang novelnya udah terbit? Bukannya novelmu ditolak
penerbit?” Tanyanya kembali.
Cewek
yang gue sepik barusan telah melakukan Red Herring, yaitu mengalihkan topik
romantisme gue menjadi topik kegalauan. Akhirnya kesimpulannya malah menjadi,
“Gue ditolak penerbit karena tulisan gue garing.”
Pedih..
Contoh
yang lain, waktu itu gue nelfon ibuk tentang tarif SPP kuliah yang mengalami
kenaikan, gue menjelaskan kepada ibuk dari sisi kebijakan Universitas dan
undang-undangnya. Namun, ibuk gue malah menyerang progress skripsi gue.
Katanya, “Mbok digarap skripsinya Le, ojo ngentek-ngentekke
duit tok, cepet lulus biar iso nggolek duit.”
Tak
disangka-sangka, ibukku melakukan Red Herring kepada anaknya sendiri..
Topik
yang seharusnya membahas kebijakan Universitas dan kenaikan SPP, malah berakhir
kepada pembahasan skripsi. Akhirnya, niat awal gue yang mau minta duit ke ibuk,
malah berakhir ceramah satu jam penuh gara-gara gue nggak cepet wisuda.
Aku
ini anakmu, Buk..
Anakmu..
Mengapa
engkau tega melakukan Red Herring kepada anamu ini, Buk..
Mengapa..
4. Argumentum ad Verecundiam
Argumentum ad Verecudiam?
Duh, lagi-lagi pake bahasa latin..
Kejadian
Argumentum ad Verecundiam sering
banget gue temuin dalam berpendapat atau berlogika. Awalnya, gue mengira bahwa
ini semacam ego semata atau ego karena superior dalam hal tertentu, bukan
sebuah kecacatan berpikir. Ternyata memang benar logical fallacy. Ini terjadi pada seseorang yang dianggap pakar
dalam suatu hal. Otoritas kepakaran seseorang diakui sebagai sesuatu yang pasti
benar walau belum tentu relevan.
Contoh
sederhananya ada pada kasus poligami. Tentu banyak yang pro kontra. Selalu saja
ada bentrok dengan sisi kemanusiaan. Jika yang poligami bukan dari pemuka
agama, dengan kata lain hanya orang biasa, seringkali dianggap salah. Namun,
jika yang berpoligami adalah pemuka agama, nggak sedikit yang membenarkannya.
Pemuka agama pada konteks ini dianggap sebagai pakar dan memiliki pengetahuan
lebih tentang poligami walau belum tentu relevan dengan kehidupan sekitar. Cara
berlogika seperti ini adalah bentuk Argumentum
ad Verecundiam.
Ini
juga terjadi ketika gue berada di ruang dosen pembimbing skripsi. Bab 1,2, dan
3 gue yang sudah di-acc di saat pengajuan proposal, malah dicoret-coret lagi
saat revisi bab 4 dan 5. Gue yang bingung pun langsung bertanya, “Pak, bukannya bab 1,2 dan
3 saya sudah Bapak acc, ini salah di mananya lagi ya, Pak?” Gue bertanya sambil
menunjuk tinta stabilo di lembar skripsi.
Beliau
pun dengan tegas, “Lho, itu kan kemarin, sekarang sudah ada jurnal baru lagi, bab 1,2 dan 3-mu harus di-update lagi.
“Tapi
Pak, itu kan jurnal tahun 2013, bukannya masih baru, Pak?”
“Lho,
dosennya itu saya apa kamu, Mas?” Jawab beliau sambil menaikkan kaca matanya.
SKAK MAT.
Gue
cuma bisa pasrah ketika di-skak pake Argumentum
ad Verecundiam. Gue pun terhuyung-huyung keluar dari ruangan dosbing.
Nampaknya, perjalanan hidup gue masih panjang di kampus ini..
5.
Two Wrongs Make a Right
Ini
juga sering terjadi dalam dinamika pacaran, terutama ketika lagi berantem. Ya, Two
wrongs make a right adalah saling menyeimbangi satu sama lain dengan
argumen atau tindakan yang negatif. Jadi, jika ada satu tindakan salah, maka
tindakan salah yang lain akan menyeimbanginya. Contoh,
“Rani,
kamu jalan sama cowok siapa itu? Kok kamu jalan sama cowok lain nggak
bilang-bilang aku? Kamu jahat, Rani, kamu jahat..” Tanya Randi kepada Rani
sambil menghela napas.
“Iya
maafin aku, tapi kamu kan juga sering nggak ngasi kabar ke aku.” Jawab Rani
cepat.
Randi
dan Randi sama-sama melakukan kesalahan. Tapi, walau Randi sering nggak ngasih
kabar, bukan berarti Rani boleh jalan sama cowok lain diam-diam.
Daaaannn..
masih banyak lagi. Sebenarnya ada banyak banget daftar logical fallacy yang gue baca. Ada kategori formal fallacy, ada
kategori informal fallacy. Jika dikupas semua, gue bukannya nulis artikel di
blog, malah bikin skripsi baru. Pokoknya ada banyak! Ini menandakan betapa
banyaknya kecacatan dalam cara berpikir manusia. Tapi, yang seringkali gue temukan di keseharian gue, ya cuma yang
gue tulis di atas.
Dari
sekian banyak logical fallacy yang
dimiliki manusia, ada satu yang paling parah dan paling menyesatkan.
Ya,
cinta.
Cinta
adalah logical fallacy terparah yang pernah kita argumenkan.
Jika
kita berargumen tentang cinta, sudah pasti kesimpulannya adalah sesat.
Aku
tersesat dalam tubuhmu, kau tersesat dalam tubuhku.
sumber: pengalaman pribadi.
dan juga baca-baca di: http://www.nobeliefs.com/fallacies.htm
atau bisa download pdf-nya di:
https://yourlogicalfallacyis.com/pdf/Logical_Fallacies_on_A4.pdf
Tags:
TIPS AND ARTS
9 Komentar
Tulisanmu enak dibaca,Don. Sayang nutupnya buru-buru,aku lg enak baca tau-tau udah selesai hahaha
BalasHapusHaha, jangan banyak-banyak, nanti malah jadi skripsi. :))
HapusKeren bro! Temanya bagus, bahasanya mudah dimengerti, gak lupa segelintir lawakan khas donjuan. Terus berkarya ya!
BalasHapusTerimakasih sudah main ke sini. :')
HapusNinggalin jejak dulu gan..
BalasHapusGue gak terlalu tertarik apa yg dibahas sih. Tp, lumayan pengetahuan baru. Gue baca buat nambah vocabulary gue aja, sama penyusunan kata2. Soalnya dr semua blog yg gw kunjungin, ntah knp gue lebih nyaman tulisan di blog ini. Yah kentang lagi dah, postingan selanjutnya..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuskeren bang hahahahhaa
BalasHapusKalau dialog ini masuk falacy gak?
BalasHapusA: Tidak ada gajah di dalam kamarku
B: Masa sih, coba buktikan ada gak gajah itu dikamar kamu.
A: Lah, kamu ini bagaimana sih kok minta bukti sesuatu yang tidak ada? Kalau saya bilang ada gajah di kamar, baru kamu minta bukti.
Nah bagaimana tuh?