The Most-Simple Annoying Thing
Katanya
orang-orang, gue adalah salah satu contoh lelaki yang sial. Entah dari mana
mereka mendapat pernyataan tersebut, gue hanya bisa merenung meratapi jendela
di sudut kamar. Tapi jika dilihat dari kesialan-kesialan yang pernah
menyambangi hidup gue, kayaknya mereka ada benarnya juga. Ketika proposal
skripsi gue dicoret-coret dan disobek di depan mata gue oleh pembimbing
skripsi, ketika gue diusir tidak hanya sekali oleh ortunya pacar karena beda
agama, ketika waktu ujian gue ngasih contekan ke teman di belakang gue dan
begitu nilainya keluar, gue dapat D dia dapat B. Dan masih banyak lagi.
Kejadian-kejadian
di atas terjadi begitu saja, tanpa perlu berulang kali gue sesali. Semenjak
itu, gue punya prinsip bahwa sebenarnya rasa sakit tak pernah hilang, hanya aku
yang bertambah kuat karenanya.
Gue
seringkali merasa aneh sendiri, gue jarang tersakiti dengan hal-hal berat yang
pada umumnya membuat galau orang-orang normal. Gue nggak galau ketika
menghadapi masalah-masalah seperti itu. Gue justru galau ketika dihadapkan
masalah-masalah kecil. Ya, gue justru tersakiti dengan hal-hal sepele kayak
gini.
1) Orang yang jalannya lelet
Sampai
sekarang, gue masih belum paham kenapa ada orang yang jalannya lelet.
Motivasinya untuk berjalan lelet itu apa? Apa dengan berjalan lelet dapat
membuatnya punya pacar? Coba liat Lala
dan Po yang berjalan lincah, riang gembira kesana-kemari, apa mereka punya
pacar? Nggak kan? Kalau yang berjalan lincah dan riang gembira saja tetep nggak
punya pacar, apalagi yang lelet?
Jadi
gini, hari Senin kemarin, gue baru bertemu kembali dengan dosen pembimbing
untuk konsultasi skripsi di ruangannya yang berada di lantai 4. Gue udah
janjian jam delapan pagi. Gue hanya diberi waktu 15 menit, sebab jam 08.15
beliau akan menghadiri rapat dengan tamu dari luar negeri. Setibanya di kampus
pukul delapan kurang, gue langsung ngacir ke tangga di lantai 1. Tapi tidak
seperti hari-hari biasanya, hari itu agak ramai. Ya, tangga untuk menuju lantai
2 dipenuhi ibu-ibu S3 dan maba-maba cewek. Gue berjalan di belakang mereka
semua.
Setelah
empat anak tangga dilalui, lalui, gue merasa ada yang janggal. Ya, mereka
jalannya lelet semua. Terutama ibu-ibu S3. Ditambah maba-maba cewek yang hidupnya
selo tenan, gue akhirnya cuma bisa
ngikutin betapa lambatnya jalan mereka.
Dengan
perasaan agak dongkol, gue akhirnya sampai di lantai dua. Tapi belum selesai
sampai di situ, maba-maba cewek yang dari logat bicaranya seperti putri Solo,
datang dari lantai dua dan menaiki tangga menuju lantai 3. Ya, penderitaan gue
bertambah. Maba-maba yang datang dari lantai dua ini leletnya di luar perkiraan
gue. Tangga menuju lantai 3 makin sesak dipenuhi mereka. Gue mau nyerobot
paksa, tapi nggak enak sama orang tua. Akhirnya gue cuma bisa mengikuti
pelannya speed dan acceleration mereka semua. Budaya taat
antre yang mengalir deras di dalam tubuh ini mau nggak mau membuat gue
mengikuti alur kejamnya hidup ini..
Setibanya
di lantai 3, ada sekitar delapan orang bule yang sudah tua, hendak menuju
lantai 4. Ya, mereka memperkeruh suasana, speed
dan acceleration mereka tidak kalah
lambat dengan maba-maba cewek ini.
Gue
mulai panik.
Sudah
sampai di lantai 4, sekumpulan orang-orang yang berjalan lelet di depan dan di belakang
gue, dari ibu-ibu S3 sampai orang-orang bule ini pun menuju ruangan rapat. Tapi
tidak hanya mereka, gue juga melihat
dosen pembimbing gue memasuki ruangan tersebut. Tentu gue tidak tinggal diam,
gue langsung berlari dan mencegah beliau memasuki ruangan itu lebih dalam.
“Pak,
Pak Sastro, saya mau konsultasi, Pak. Saya yang minggu lalu sudah janjian
dengan Bapak.”
“Oh,
kamu toh Mas, minggu lalu kan saya sudah bilang pukul 8.00, kamu telat 15
menit. Saya ada rapat penting dengan tamu luar negeri.” Jawabnya pelan.
“Tapi
Pak..”
“Sudah-sudah,
temui saya lagi minggu depan.” Balasnya sembari membuka pintu ruangan.
“Tapi
Pak..”
Gue
melihat Pak Sastro menutup pintu ruangan rapat yang dibarengi bunyi KREK! di hati ini. Bisa-bisanya gue merasa
diasingkan seperti ini karena hal sepele. Belum selesai gue menenangkan hati
ini, tiba-tiba maba-maba cewek yang jalannya selo tenan itu berkumpul di belakang gue. Salah satu dari mereka
bertanya,
“Kak,
kalau ruangan A320 itu di mana ya?”
Gue
menengok dengan tajam ke arahnya, “ITU DI LANTAI DUA, DEK.”
Mereka
semua pun ngacir menuruni tangga.
Tunggu
sebentar, mereka nyasar sampai ke lantai 4, dan menaiki tangga dengan lelet.
Begitu menuruni tangga, mereka ngacir. Ini pasti konspirasi Wahyudi!
Besok-besok
kalau ada yang jalan lelet di depan gue, bakal gue tackle dari belakang.
cen asu og.. |
Hatiku
benar-benar kacau dibuatnya..
2) Hujan
Gue
pernah mencoba menulis sesuatu tentang hujan. Gue punya pandangan bahwa hujan
adalah sesuatu yang getir, romantis, dan penuh kekalutan. Kayak gini..
Di bawah sana, kepada langit mendung, tanah gersang
berpuisi tentang kekasihnya.
Tanah gersang meminta kekasihnya dijatuhkan dari
pelukan langit. Namanya, rintik hujan.
Langit tak sengaja mendengar, langit terharu, langit menitikkan air mata.
Tanah gersang tengadah menyambut jatuh kekasihnya.
Lalu kepada langit, tanah gersang yang lain ikut berseru, “Aku juga ingin
dijatuhi kekasihku!” Langit kembali mendengarnya. Tubi-tubi rintik hujan pun
membasahi para pipi tanah gersang.
Hujannya deras sekali.
Tapi aku bukan tanah gersang, Kekasih..
Sebab dadaku, dada yang lebih gersang dari tanah,
adalah dada yang membendung hujan tangismu,
sebelum sempat mencium tanah.
Setelah
tau bahwa cuma kayak gitu yang bisa gue tulis, gue sadar, gue nggak pernah bisa
menulis puisi seperti remaja masjid pada umumnya. Sebenarnya, hujan itu lebih
banyak apes dan sial ketimbang romantisnya buat gue.
Jadi
gini..
Malam
itu, gue telah resmi memproklamirkan acara ketemuan dengan gebetan. Sebagai
anak semester awal yang tengah mencicip kerasnya realita cinta, gue merasa
bangga. Setelah serangkaian akal bulus dan tipu muslihat yang gue lancarkan
kepadanya, akhirnya cewek cantik di kampus seberang mau gue ajak jalan. Sip,
pukul setengah tujuh malam kami sepakat ketemuan di suatu mall.
Tapi
sepertinya nasib gue nggak langsung bagus seperti yang gue bayangkan.
Sedari
pukul setengah enam sore, langitnya gelap. Entah karena mau menjelang malam,
entah karena diselimuti mendung. Feeling gue
udah mulai nggak enak. Angin mulai memukul sela-sela pepohonan hingga
mengeluarkan bunyi whuzzz. Kilat
mulai menyala-nyala di atap langit. Wah, kayaknya mau malam takbiran.
Ah,
bukan.
Ini
mau hujan deras. Daripada gue kejebak hujan di kos, motor pinjaman pun langsung
gue engkol dengan membabi buta. Gue harus melarikan diri ke Mall secepatnya.
Belum ada setengah jalan gue melaju di antara dua roda, hujan deras mulai
terdengar gemericiknya ketika jatuh di helm yang gue kenakan. Alamat, hujan
deras. Gue seketika langsung minggir dan berhenti di halte untuk berteduh.
Gue
rogoh saku celana jeans gue, ada satu pesan BBM dari yang tercinta, gebetan.
Katanya, ia sudah sampai di TKP sejak pukul enam. “Wah, udah sampe apaan kagak
pernah sholat.” Cuma itu yang ada di batin gue setelah membaca pesan darinya.
Gue membalasnya dengan sigap, “Oke, aku sebentar lagi sampai di sana.”
Hujan
makin deras, gue makin tertegun sambil mencium aroma hujan yang berkolaborasi
dengan aroma petasan banting yang berembus
dari kelek kondektur kopaja yang kebetulan sedang berhenti tepat di depan gue. Wuih.. semtenan!
Gue
lihat kembali jam di tangan kiri, sudah lebih dari setengah tujuh. Gue nggak
bisa diam dan berpangku tangan di sini, gebetan udah menunggu. Gue coba buka
jok motor tersebut, dan.. secercah sinar mencuat keluar dari sana. Ya, ada jas
hujan tersemat di sana.
Sip,
dalam hitungan detik gue telah berubah menjadi superman dengan jubah
kesayangannya. Jas hujan gue berkibar ditiup angin. Gue langsung menerjang
derasnya hujan tanpa ampun. Sesampainya di parkiran Mall, gue coba rapikan
kembali rambut yang telah acak-acakan, gue lipat kembali jas hujan, dan
menghela napas sebentar. Walau sedikit basah di pergelangan tangan, pergelangan
kaki, dan sepatu, gue tetep pede melangkahkan kaki dari parkiran Mall menuju
lokasi tempat bertemu dengan yang tercinta, gebetan.
“Hai,
Devita, maaf sudah menunggu, aku telat lima belas menit.” Gue menyapa Devita
yang sedang berdiri di depan Timezone dan menatap layar henfonnya.
“Eh
halo Don, iya gapapa, aku ke sini emang udah dari tadi, soalnya nemenin temen
beli buku dulu, baru ketemu kamu.” Jawab Devita sambil berjalan mendekat ke
arah gue.
“Oh,
iya gapapa, soalnya tadi ujan Dev, jadi ribet gitu haha.” Balas gue lagi sambil
mendekatinya lagi.
“Okay,
sekarang kita mau ke..” Devita terdiam. Devita mundur perlahan.
“Ke
mana ya? Mau nonton apa gimana?” Tanya gue balik.
Devita
masih terdiam sembari melangkahkan kakinya menjauhi gue.
“Ayok,
nonton aja gimana?” Gue kembali melanjutkan.
Devita
cuma diam sambil menutupi hidungnya.
Gue
mengernyitkan dahi, pasti ada yang tidak beres dari adegan Devita menutup
hidungnya dengan tangan. Sebagai lelaki yang pandai membaca kode, sudah sangat
jelas jika gue mampu menebak kode tersebut. “Devita, hidungmu kenapa? Hidungmu
sinusitis ya?” Tanya gue sopan.
Giliran
Devita yang mengernyitkan dahinya.
“Kamu
sebelum ke sini mandi nggak sih?!” Devita akhirnya membuka mulut dan kembali
mundur selangkah menjauhi gue.
Kali
ini gue yang mundur selangkah. Gue coba mengendus aroma tubuh yang telah
membuat Devita kena sinusitis. Gue coba sedikit mendekatkan hidung ke arah
pundak, dan anjir..
Aroma
ketek kondektur kopaja melekat di kemeja gue.
Ini
pasti gara-gara gue pake jas hujan lembab dan pliket yang ada di bawah jok motor pinjaman itu. Gue cuma bisa memandangi
Devita dan berbisik dalam hati, “Sumpah
Dev, ini bukan bau badan aku yang sesungguhnya! Aku bisa jelasin semua ini Dev,
aku bisa jelasin!”
Kencan
gue malam itu berakhir dengan mengenaskan. Setelah nonton dari bioskop, Devita
pun buru-buru pulang. Keesokan harinya, hubungan gue dengan Devita tidak
seperti dulu lagi. Kalau gue dijauhi karena ketahuan selingkuh, atau karena gue
mesum, gue masih bisa terima. Itu masuk akal.\
Tapi
ini?
Gue
dijauhin karena bau badan. Hebatnya, bau badannya bukan gue yang punya.
Ini
semua gara-gara hujan! Kalau nggak hujan, gue kan nggak akan pake jas hujan pliket dan lembab kayak ketek sopir kopaja itu!
Jadi,
hujan itu romantis?
Hujan
itu romantis apaan kagak pernah solat.
Hih.
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar