Duta Pacaran Beda Agama?

Atas nama Tuhan kita yang sama, doaku untukmu selalu tanpa jeda.


Bulan Oktober kemarin gue pernah diopname di rumah sakit untuk kategori demam yang paling kontroversial – deman gara-gara kebanyakan mamam durian. Selama diopname di rumah sakit, yang hanya mampu gue lakukan adalah berbaring. Ya, badan lemas  dan segala macam nafsu pun menurun. Dari nafsu belajar, nafsu berpikir positif, nafsu membantu warga sekitar, nafsu untuk setia ke satu perempuan, dan tentu saja nafsu untuk ngetwit.

Penurunan nafsu ngetwit adalah hal yang paling krusial bagi kesehatan gue saat itu. Kehabisan bahan ngetwit adalah salah satu momok menakutkan bagi anak twitter. Tidak mampu menampilkan performa terbaik saat ngetwit, gue yang notabene anak twitter, merasa gagal.

Alhasil gue cuma bisa menarik ulur, skrol atas-bawah untuk melihat isi timeline gue dan tentu aja isi timeline orang. Ya, gue ngebaca timeline orang yang lagi ngasi info tentang agama dan kebudayaan barat yang dianggap sekuler. Gue yang menjabat Duta Pacaran Beda Agama 2013 pun, bergejolak.

Sebenarnya, di dalam Duta Pacaran Beda Agama terkandung makna yang tidak sederhana. Bagi orang yang tidak sengaja melihat bio twitter gue, hal pertama yang mereka tebak adalah, gue ini orang yang sangat melegalkan pacaran beda agama. Sebenarnya nggak sesederhana itu, kalimat Duta Pacaran Beda Agama juga terkandung banyak bentuk kecaman dan kekecewaan gue terhadap konflik agama yang terjadi di Indonesia. Ya, walau kenyataannya gue juga pernah mengecap kenangan pahit ketika diusir bokapnya pacar (yang sekarang berubah menjadi mantan) karena perbedaan agama.


=====

#1 Agama sebagai jurang pembeda

Kekecewaan pertama gue tentang agama muncul ketika melihat semakin beragamanya seseorang, malah semakin mengkotak-kotakan agama. Semakin beragama malah cenderung mengarah kepada fanatisme. Seperti merasa agamanya adalah agama yang paling menunjukkan jalan menuju surga. Jika berani mengatakan bahwa agamanya adalah agama yang paling mampu memastikan tiket surga, apakah lantas agama lain tidak mampu? Ya, dari sinilah pengkotak-kotakan itu berawal. Agama yang menurut gue bisa menjadi alat pemersatu banyak perbedaan, justru malah dijadikan sebagai jurang pembeda.

Gue sadar, kalimat gue di atas terasa sangat subjektif. Nggak semua orang yang pintar beragama lantas mengkotak-kotakan agama. Akan banyak pihak yang menyangkal pendapat gue tersebut. Tapi gue juga nggak lantas dapat disalahkan atas pendapat tersebut, karena gue melihat kejadian ini kerap kali muncul pada petinggi dan pemuka-pemuka agama.

Contoh klasiknya adalah, di Indonesia terdapat lima agama, namun yang disebut hanya satu, yang lainnya disebut non muslim. Gue mengerti, harusnya hal seperti ini tidak perlu lagi dibahas di kalangan orang cerdas. Tapi ini dapat memicu perseteruan di kemudian hari.

Lalu, perdebatan yang muncul setiap kali perayaan hari natal, adalah contoh lainnya. Setiap tahun selalu terjadi tentang halal-haram dalam mengucap selamat hari Natal. Gue bukan seseorang yang pintar agama, tapi gue seseorang yang terus berusaha mengamalkan isi dari ajaran agama. Gue telusuri lebih lanjut, ternyata haram itu terjadi ketika seorang muslim mengikuti misa/perayaan ibadah kristiani, dan memakan roti suci beserta air anggur yang orang kristiani lambangkan sebagai darah dan daging Yesus Kristus.

Tapi hal di atas tidak semua orang ma(mp)u mengerti. Gue juga pelajari, semakin ke sini, ayat-ayat dalam kitab suci bisa ditarik dan dimelarkan sesuai kepentingan-kepentingan golongan, politik, dan masih banyak lagi. Maka tidak heran muncul lah multitafsir yang sering terjadi pada mereka yang bahkan seagama. Banyak yang menyebut haram,  banyak yang tidak, namun lebih banyak yang tidak tahu.

Walau carut-marut seperti ini, gue tetap menyimpan respect kepada presiden kita yang kerap kali menuai kritik dari rakyatnya. Natal beberapa hari yang lalu, beliau menyempatkan diri untuk hadir di perayaan natal kaum kristiani di JCC. Beliau hanya hadir, sekadar memberi semangat kerukunan dalam keberagaman, bukan hadir untuk mengikuti perayaan ekaristi bersama mereka. Tapi hal apapun yang beliau lakukan akan selalu menuai kritik dari seorang rakyatnya, seorang rakyat yang bahkan dapat dikatakan sebagai seorang alim ulama atau pemuka agama.


Pro atau kontra?


=====

#2 Mayoritas dan Minoritas

Gue jadi teringat dengan sebuah cerita dari seorang lelaki yang dibesarkan oleh keluarga yang berbeda keyakinan, namun memiliki kepercayaan bahwa perbedaan keyakinan tidak menghalangi indahnya kekeluargaan. Semasa kecilnya ia mengenal  dan akrab dengan dua agama berbeda yang dianut kedua orang tuanya.

Menginjak usia sekolah dasar, anak itu disekolahkan di sekolah dasar kristiani. Sekolah Dasar Teratai Don Bosco, begitulah ketika ia melihat papan besar nama sekolahnya menjulang di bangunan utama sekolahnya. Anak itu tidak pernah mengerti kenapa kedua orang tuanya sepakat menyekolahkan dirinya di sana. Yang ia mengerti, bahwa cara berdoa teman-temannya di sekolah begitu berbeda dengan caranya berdoa. Awalnya ia merasa sangat minor di sana, ia merasa sangat berbeda di sana, di sanalah ia belajar apa itu perbedaan.

Tak terasa anak itu telah lulus dari sekolah dasar, namun kedua orang tuanya belum mengubah keputusan mereka. Ia disekolahkan kembali ke sekolah menengah pertama, yang lagi-lagi milik yayasan Katolik. Anak itu tidak menolak, ia hanya menurut, bagi dirinya yang harus belajar setidaknya untuk menjadi lebih dewasa, ia yakin selalu ada sebab untuk suatu alasan. Kabar baiknya, ia sudah tidak merasa minor di tengah teman-temannya di sekolah. Pengalaman enam tahun di sekolah dasar kristiani memberikan pemahaman lebih bagi dirinya. Hari itu ia belajar bagaimana menghadapi perbedaan. Anak itu belajar apa itu toleransi.

Tiga tahun setelahnya, ia akhirnya disekolahkan di sekolah menengah atas negeri yang berlokasi di dekat Blok M, Jakarta Selatan. Akhirnya ia sekolah di sekolah yang plural, di sekolah yang tidak membawa panji agama tertentu, walau nyatanya yang minor tetap akan selalu terlihat. Anak itu sungguh senang, ada begitu banyak perbedaan dari segi apapun di sana, terutama agama. Ia merasa inilah sejatinya hidup, ia duduk dan bersenda gurau dengan banyak teman yang berbeda, ia lalu bertanya kepada hatinya, kenapa tidak dari dulu saja ia sekolah di tempat seperti ini?

Tiga tahun berselang,  anak itu lulus dari sekolah menengah atas tersebut. Pagi hari setelah kedua orang tuanya menerima ijazah tanda kelulusannya, ayah dan ibunya menghampirinya untuk mengucap sepatah dua patah kata selamat. Ayahnya berkata, “Nak, sekarang kau lebih dari besar, kau adalah lambang kedewasaan. Kau sekarang bebas menentukan ke mana ingin melanjutkan pendidikan.” Pertanyaan besar yang anak itu pendam sedari dulu pun mencuat di kepalanya, “Ayah, kenapa sejak kecil aku tidak disekolahkan di tempat yang semestinya?” Mendengar pertanyaan tersebut, ayahnya hanya tersenyum.

“Nak, kusekolahkan kau di sana, agar kau tahu rasanya menjadi minoritas, dan ketika kau berkumpul dengan mayoritas, kau tak akan sempat jemawa, kau tak akan besar kepala, karena aku ingin kau bisa duduk sama rendah, sama tinggi, tepat  di tengah-tengah mereka.” Jawab Ayahnya.

Anak itu sekarang mengerti, sudah seharusnya ia duduk sama rendah dan sama tinggi di banyak perbedaan. Dan tentu saja perbedaan dalam cara memuji dan menyebut nama Tuhan. Cerita dari anak itu mengingatkan gue kepada kalimat seseorang, “Teman muslim tak perlu berdebat soal ucapan, kau tetap boleh menggantung Bismillah di pohon natal kami.”

Oh iya, anak lelaki itu adalah gue.


======

#3 Agama sebagai senjata

Belakangan ini dari tahun ke tahun, ah tidak, sudah sejak lama sekali, agama tidak hanya sekadar menjadi alat komunikasi antara manusia dengan penciptanya, tidak hanya sekadar menjadi pedoman moral bagi penganutnya. Agama telah menjadi sesuatu yang lebih dari itu, lebih menyerupai kepada sebuah alat, entah untuk menindas, entah sebagai kuasa tirani.

Gue sebut saja sebagai senjata.

Terutama agama yang para penganutnya kebetulan banyak dipeluk umatnya di suatu daerah. Ya, hal ini seringkali terjadi pada agama mayoritas. Pernah gue membaca koran dan seketika tercengang,  kementrian agama pernah menjadi kementrian yang paling korup (search saja jika tidak percaya) di Endonesa. That’s actually the kampret moment. Suatu kementrian yang secara harafiah dianggap memiliki moral dan adab yang baik, justru melakukan hal paling tidak terpuji dan hebatnya juga paling keji ketimbang kementrian lainnya. Mungkin benar, agama adalah perisai untuk berlindung dari segala tuduhan.

Gue juga pernah melihat video di Youtube tentang seseorang (sebut saja teroris) yang sedang berusaha mengisi amunisi bazooka untuk ditembakan. Dan tentu saja sebelum menembakan senjatanya, ia berkali-kali juga dengan lantang, menyebut nama Tuhan. Gue kira video tadi akan berakhir dengan biadab ketika rudalnya jatuh dan meledakkan banyak tubuh korban, tapi ternyata tidak. Sepertinya Tuhan punya kehendak lain, rudal yang ditembakan tidak melesat dan meledakan korban, tapi malah meledak sebelum lepas landas. Alhasil meledak di tangan si teroris itu.

Ngakak. Mari tepuk tangan sebentar.

Mungkin benar, agama adalah senjata paling ampuh untuk melegalkan banyak hal. Bisa-bisanya menggunakan nama Tuhan dan agama untuk sesuatu yang disebutnya jihad. Sebut saja suicide bomber, ia membunuh dirinya atas nama jihad, yang tentu saja membunuh orang lain. Dan yang paling mengherankan, pahalanya makin besar ketika yang terbunuh adalah seorang kafir. Bagi orang itu, kafir di sini adalah orang yang sesat, orang yang tidak sepaham dan seagama dengan dirinya. Prinsipnya, orang-orang kafir ini harus dimusnahkan.

Mari ketawa sebentar.

Itu kan untuk menindas kaum lain, tapi di tempat lain, agama bahkan sudah dijadikan alat untuk menipu sesama demi keuntungan materi. Bermodal rayuan agamis dan hukum-hukum sedekah, dia menjual jasa titip doa di tanah suci.



Sekilas tidak ada yang salah, sampai akhirnya jasa titip doa ini di-bully di TL.


Semua tampak meyakinkan, gue juga yakin banyak orang yang masih sukar membedakan apa media sedekah yang dibuat oleh seorang syariah financial planner , Ahmad Gozali, benar-benar media sedekah atau sekadar cara menipu syariah. Tanggal 31 Desember kemarin, beliau sudah tiba di Saudi, siap untuk menyampaikan doa-doa para pelaku sedekah yang tentunya sudah membayar sejumlah uang kepadanya.


Jeddah ternyata deket yaa..


Gue juga kesel ketika para pendeta-pendeta yang ingin mengurus masalah perizinan gerejanya tidak mau antre dan melawan birokrasi. Para pendeta-pendeta ini maunya main belakang dan ingin segera disahkan atau dilegalkan. Mereka langsung datang ke ruang kerja Ahok dan meminta Wagub Jakarta ini segera mewujudkannya karena kebetulan Ahok adalah seorang kristiani. Singkatnya nepotisme gitu. Tapi Tuhan memberikan sifat kepempinan berbeda pada diri Ahok, mereka langsung didamprat Ahok. Akhir cerita di video itu, para pendeta tersebut malah balik diceramahi dan pulang dengan langkah gontai.

Lucu juga, agama yang semestinya untuk berkomunikasi dengan pencipta, malah digunakan untuk menindas sesama, menipu sesama, dan sudah tentu kepada yang tidak seagama. #JokeOfTheYear #TheBestJokeEver



======

#4 Agama dan Sekularisme

Karena seringnya gue ngetwit tentang agama dengan kontroversial, banyak yang menyangka gue adalah atheis, agnostic, maupun kaum sekuler. Gue nggak pernah marah ketika mereka mengaggap gue seperti itu. Atheis dan agnostic prinsipnya adalah hidup ini adalah berbuat kebajikan kepada sesama. Bukannya agama-agama yang diakui pemerintah mengiyakan prinsip itu?

Yang gue nggak setuju, mereka tidak percaya eksistensi Tuhan. Mereka menyebutnya karma baik dan karma jahat. Ketika berbuat baik, tentu saja akan menuai balasan yang baik, begitu juga sebaliknya. Tapi terserah, gue bahkan nggak sempat mempermasalahkan anggapan mereka. Nyatanya, prinsip mereka diiyakan oleh hati nurani gue.

Sekularisme adalah memisahkan sisi agama dari kehidupan. Mereka dikenal sebagai kaum barat. Seks bebas, miras, merayakan perayaan-perayaan yang seringkali kaum timur anggap haram. Kaum timur seperti Endonesa mengaggap orang-orang seperti kaum barat adalah kaum yang mudharat. Tapi toh pada kenyataanya, kaum barat banyak yang lebih maju daripada kaum timur. Ya, mereka lebih sibuk membicarakan teknologi untuk memajukan kehidupan manusia ketimbang mempermasalahkan halal-haram suatu hal, atau mendebat agama mana yang paling mengantarkan umatnya kepada surga.

Oke, mungkin kaum barat memang lebih banyak mudharat-nya, lebih banyak kafirnya. Tapi orang yang beragama, yang kelakuannya jauh dari kata beragama, lebih banyak di kaum timur.


Hari Ibu adalah haram, perayaan orang kafir.

Tahun baru identik dengan miras, foya-foya, berarti haram.

Walau gue terlihat pro kepada prinsip atheis, agnostic, dan sekularisme, gue tetap setia pada salah satu keyakinan dari 5 keyakinan yang diakui pemerintah. Janganlah cepat mengharamkan banyak hal tanpa mempelajari isinya terlebih dahulu. Serap maksud baiknya, buang jika tidak sesuai dengan nurani. Mari menghargai keberagaman tanpa mengurangi kerukunan dan kekeluargaan. Bagaimana caranya dihormati jika kita tidak ingin menghormati?


=====

Mungkin, setelah melihat makna dari Duta Pacaran Beda Agama, banyak dari kamu yang tidak setuju, ingin menyanggah atau apapun. Tidak masalah, ini adalah opini gue yang kemudian menjadi prinsip dan akhirnya menjadi sebuah perjalanan.

Gue sudah terlalu jenuh dibedakan dan membedakan. Toh dalam urusan cinta gue kerap kali mengenyam rasa pahit. Udah deket, lalu tiba-tiba dia menjauh karena dia tau kalau kami nggak seagama. Udah pacaran lama, akhirnya diusir karena ortunya nggak memaklumi yang namanya perbedaan agama.

Cinta nggak pernah masalahin agama, tapi restu masalahin agama.



Duta Pacaran Beda Agama..

Ya, sebuah idiom untuk perjalanan hidup gue yang mengedepankan kemurnian dari toleransi. Ya, sebuah anekdot untuk kemampuan menerima keberagaman. Terserah mau berasal dari suku apa, agama apa, ras apa, dan terserah mau berasal dari latar belakang apa, kita adalah saudara, saudara jauh yang merasa saling asing, walau pada akhirnya kita memperkenalkan diri dengan caranya masing-masing.

Gue juga selalu yakin, manfaat belajar Agama adalah membangun kedekatan dengan Tuhan, Allah, Jesus Christ, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan apapun cara kita menyebut Sang Maha Pencipta. Lantas apakah dengan sembahyang, shalat, beribadah, atau melantunkan kidung pujian kepada-Nya sudah dirasa cukup?

Buat gue, belum.

Nurani gue selalu berkata, Tuhan tidaklah mabuk pujian.  Ia akan tersenyum ketika para hamba-Nya bisa saling menghargai dan menyayangi satu dengan yang lain.  

Ia juga tidak jauh,  Ia selalu berada di tempat yang dekat para hamba-Nya. Ia sering hadir di wajah Ibu ketika menunggu anaknya hingga larut malam, Ia juga hadir di senyum getir Ayah yang khawatir harus dengan apa membuat dapur istrinya dapat kembali berasap, Ia bahkan juga hadir di sekitar kita, di tempat-tempat yang seringkali dianggap haram, di tempat yang dianggap suci dan di samping kita.

“Mereka yang merasa paling dekat dengan Tuhan berkoar tentang memeluk Agama, tapi lupa memeluk Tuhan, yang seringkali berwujud sesama.”



Share:

1 Komentar