The Best Denial Ever

Sebagai seorang lelaki yang terkenal dengan banyak kegagalannya, gue malah jadi sering dicurhatin oleh beberapa kalangan yang bernasib kurang baik soal, umm mohon maaf, cinta. Mungkin benar, untuk urusan cinta, kita cuma butuh kegagalan untuk bisa berbicara banyak. Pernah gue menceritakan kisah-kisah keberhasilan gue soal cinta (ya walau cuma sedikit sih), dan setelah selesai bercerita, gue hanya ditanggapi dengan dingin.

“Dasar congkak.”

Serba salah ya.

Beberapa malam minggu belakangan ini, gue lebih banyak menghabiskan waktu di kafe untuk menulis banyak hal. Jika orang lain lebih memilih melupakan untuk bisa lepas dari masa lalu yang buruk, gue lebih memilih untuk menulisnya. Gue menceritakannya kembali dengan alur yang lebih baik. Jika di masa lalu gue berakhir dengan nestapa, di cerita yang gue tulis, gue akhiri dengan penuh makna. Mungkin terdengar seperti denial, tapi itulah hidup, semua tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Cerita paling pahit akan terlihat bermakna jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Di sela-sela kesibukan jari gue yang menari indah di keyboard leptop, tiba-tiba ada yang ngeplak-ngeplak meja gue.

“Wey Don!!”

Gue jelas terkejut. Gue menatap ke sumber bunyi keplakan meja.

“Lah, kok kamu di sini, Don? Kok sendirian aja? Kok nggak malam mingguan? Cieee..”

Gue sebagai lelaki yang lugu, tentu merasa tertekan mendengarnya.

“Pacar kamu mana? Kok nggak diajak? Putus ya? Cieee...”

Gue yang tak sempat mengucap sepatah dua kata, kembali terpojok.

“Aku denger-denger kamu katanya LDR? Apa karena dia wisuda duluan, terus ditinggal? Hahahaha selamet yee.”

Gue mulai putus asa.

“Ce-cella? Kamu kok bisa di sini?” Gue mencoba menatap matanya dan mencoba menyapanya walau dengan terbata-bata.

“Ya, dulu kita emang sering duduk di sini kan?”

WHAT? KITA?

Ya, Cella adalah mantan gue.


=====

Walau sudah setahun berselang, tetep aja semua hal terasa canggung ketika bertemu mantan. Kami putus karena keputusan bersama. Kami beda keyakinan. Dia yakin kalau kami nggak bisa terus, sedangkan gue yakin kalau kami sebenarnya bisa terus, asalkan mau sedikit berpikir lebih terbuka.

Cella adalah seorang cewek yang filosofis. Gue jatuh cinta sama dia karena dia  smart, walau dia terlihat biasa aja kalau gue bandingkan dengan Ema Watson. Nggak seperti yang udah-udah, di mana gue lebih banyak ketemu dengan cewek-cewek childish daripada yang smart, di depan Cella gue menemukan kenyamanan dalam berpikir, bertukar pikiran, dan menatap masa depan. Siapa Cella dan bagaimana cara berpikir Cella, ditentukan dari buku apa yang dia baca dan siapa saja temen-temen di lingkungan pergaulannya. Ya, Cella adalah seorang cewek yang lebih memilih untuk tertidur di tumpukan buku Freud, Nietsche, Marx, serta pemikir-pemikir lehendaris lainnya ketimbang bersolek dan melakukan sesi pemotretan di depan cermin toilet.

Waktu jaman pedekate, gue sering diajak ngumpul dengan teman-temannya. Ketika itu, komunitasnya sedang membedah buku Haruki Murakami dan sepak terjangnya dalam dunia kesusastraan jepang juga internesyenel. Sedangkan gue cuma tau Haruki Sato, ya siapa lagi kalau bukan pemain film dokumenter biologi professional, asal Jepang.
Ya, teman-teman Cella juga merupakan pemerhati sastra dan filsafat.

Selama acara itu gue ngangguk-ngangguk. Gue merasa familiar dengan tempat itu. Ya walau gue kerap kali bertanya-tanya di dalam hati, “Nanti pulangnya dikasi nasi bungkus nggak, ya?”

=====

Yang dulunya berjalan searah, di masa yang akan datang hanya tinggal sejarah. Ya, hubungan kami tidak bertahan lama, kami akhirnya memilih untuk tidak searah lagi. Namun setahun berselang, saat kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, Cella datang tanpa kekasih. Kabar gue putus dengan yang-jauh-di-sana bahkan bisa tersiar sampai di telinganya.

“Pacarmu mana, Cell?” Gue bertanya sambil mempersilahkan dia duduk, bukan karena sifat gue yang ramah kepada mantan, tapi karena di kafe itu hanya tinggal meja gue yang menyisakan kursi. Gue sendirian..

“Nggak ada.” Jawabnya mantap.

“Lalu kamu mau ngapain ke sini?” Gue menatapnya sambil menutup leptop. Ya gue nggak bisa konsen menulis jika ada yang ngajak bicara. Apalagi yang ngajak ngobrol itu, mantan.

“Mau baca buku aja sambil minum susu coklat hangat.” Dia meletakkan sebuah novel Tere Liye di meja.

Sebelum Cella sempat membuka novel yang diletakkanya di atas meja, gue dengan cepat kembali bertanya. “Kenapa Cell, kenapa kamu nggak cari pacar lagi?”

“Kenapa kamu nanyanya gitu? Apa setelah ini kamu akan nanya ‘Kamu nggak bisa move on dari aku?’ ke aku, Don?”

“Nggak kok Cell, tapi selalu menarik kalau mendengar filosofimu di balik setiap hal.” Jawab gue sambil tersenyum.

“Oh.. Ya belum ketemu yang sreg aja.” Jawab Cella dingin.

“Jujur nih Cell, aku nggak pernah ngerti tipikal cowok idamanmu itu kayak apa.”

“Kalau jawabannya klisenya, ya yang bikin nyaman. Tapi yang klise-klise itu kan basi.” Kemudian Cella menyeruput coklat hangatnya yang baru saja diantarkan oleh waiter.

"Emang kamu lagi nggak dideketin cowok atau gimana gitu?

“Ada sih beberapa, setiap hari mereka berusaha untuk memangkas jarak dengan aku. Tapi ya gitu..”

“Tapi apa?” Gue dengan cepat memotong.

“Ya beda agama lah, ya kuliahnya nggak bener lah, ya suka mamer-mamerin mobil papanya ke aku lah. Ada juga yang suka beliin ini itu, dikira aku bakal tertarik gitu? Padahal dia kan pakai uang papanya. Heran ya sama cowok, untuk hal yang nggak pasti aja rela berbuat banyak.” Cella kembali menjawab dengan dingin, dan diakhiri pernyataan yang tidak kalah dingin.

Gue cuma bisa diem.

Nampaknya, Cella  tau terlalu banyak.


=====

Sebenarnya nggak ada yang salah dari ucapan Cella. Semua orang berhak menentukan pilihannya masing-masing, terutama kaum cewek. Sedari kecil, kalimat “Cowok memilih dan cewek itu menentukan” udah sering masuk ke kuping kanan dan nggak keluar melewati kuping kiri. Ya, kalimat itu menetap di kepala. Nggak heran kalau cewek lebih sering menentukan hasil akhirnya.

Cella adalah orang yang pintar. Orang pintar selalu diiringi keingintahuan yang besar. Keingintahuan yang besar menghasilkan pengetahuan yang luas. Intinya, Cella adalah seseorang yang tau terlalu banyak.

Lawan kata sukses bukanlah gagal, melainkan tidak mencoba. Pun dengan cinta, lawan katanya bukanlah patah hati, melainkan tidak berani memutuskan atau menentukan. Jika seseorang tau terlalu banyak, maka ia akan hebat dalam menimang segala baik-buruknya.

Kemampuan tentang cinta adalah pedang bermata dua. Di satu sisi ia akan membuat bijaksana dan menjauhkan dari kekecewaan. Di sisi lainnya, ia akan membuat seseorang terlalu penuh pertimbangan, dan akhirnya tidak mampu menentukan.

Dari cerita Cella dan curhat teman-teman lain, belakangan ini gue mulai menganggap, ketika ada seseorang yang ditanya kenapa masih jomblo dan menjawab, “belum nemu yang sreg aja” adalah sebuah bentuk denial.

“Belum nemu yang sreg aja” adalah sebuah bentuk denial dari trauma masa lampau. Baiknya pengalaman, ia mengajarkan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di masa depan. Buruknya, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana belajar dari kesalahan dan mana trauma.



Dan ketika seseorang semakin mengerti tentang cinta, semakin banyak juga pertimbangan tentang baik-buruknya. Ia akan banyak mempertanyakan, “apakah gue bisa bahagia sama dia?” “Apakah gue bisa direstui orang tuanya?” “Apakah jarak akan mengganjal hubungan dengannya?” “Dia kan playboy, apa dia bisa setia sama gue?” "Dia naiknya motor, sedangkan gue penginnya naik mobil." “Kalau dia bisa ninggalin pacarnya buat gue, apa dia juga bisa melakukan hal itu ke gue?”

Dan masih banyak lagi.

Apakah penuh pertimbangan itu salah?

Nggak.

Tapi itu akan menghambat untuk urusan cinta, yang harus memutuskan dan menentukan.


Jadi, kalau ada cewek cakep, jago ngomong cinta-cintaan, dan.. jomblo, mungkin penyebabnya ya itu. Dia punya alasan yang nggak bisa disanggah banyak orang.

The best denial ever.                          



Share:

0 Komentar