Ujian Awal Kehidupan

Seleksi Bersama Menjadi Playboy Tingkat Nasional.



Dengan perjuangan tanpa kenal lelah, bersimbah darah, dan sepenuh hati, akhirnya gue keterima di salah satu universitas yang katanya sih, katanya sih ya, salah satu yang terbaik di Indonesia. Bisa sampai sejauh ini adalah hal yang tentunya mengharukan, mengingat banyak hal suram yang di masa lalu yang udah gue lakukan.

Waktu ikut ujian yang ternyata melibatkan peserta dari seluruh pelosok Indonesia, gue bener-bener tanpa kenal lelah, bener-bener bersimbah darah, dan bener-bener menjawab dengan sepenuh hati. Hari pelaksanaan ujian adalah hari Minggu pagi. Seperti anak remaja kebanyakan, sabtu malamnya tentu gue habiskan dengan menyantap asmara bersama kekasih. Ah, enggak, gue barusan bohong. Gue cuma nggak enak aja kalau gue dengan santai menceritakan kisah malam mingguan gue di sini, dan kalian hanya bisa membacanya dan meratapi kesendirian di malam minggu. Nggak.. nggak..

Mari kita budayakan toleransi bermalam mingguan.

Kembali ke cerita, gue baru balik ke rumah (setelah puas menyantap asmara bersama kekasih via malam minggu) dini hari. Sedangkan ujian yang mengikutsertakan seluruh pelajar di Indonesia itu berlangsung pukul 07.30 pagi. Seperti yang kalian duga, gue pun bisa bangun pagi dan dapat mengikuti ujian tersebut dengan sangat baik, sangat lancar, bahkan melebihi kelancaran buang air besar orang-orang kebanyakan.

Ujian pukul 07.30 dan kenyataannya gue baru bangun jam 06.42, itu pun alarm-nya udah gue snooze berjuta-juta kali. Tempat gue ujian berlokasi di UNJ. Itu jauhnya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ibarat dari Monas menuju Rio de Janeiro.  Kalian pasti bisa ngerti perasaan gue.

Gue pun hanya dengan bermodal menggosok gigi dan mencuci muka, langsung tancap gas. Untungnya ini hari Minggu, jalanan ibukota nggak begitu macet seperti hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ya, intinya gue tetep kena macet. Tapi dengan perjuangan tanpa kenal lelah, ya tanpa kenal lelah, gue berhasil sampai di UNJ dengan tidak tepat waktu. Gue telat 14 menit. Gue langsung memarkir motor gue secara sembarang di depan pos satpam UNJ.

UNJ adalah kampus yang nggak kecil, gue harus cardio untuk bisa menemukan ruang ujian tempat gue nantinya mengadu nasib. Setelah agak sedikit berkeringat, akhirnya gue sampai di gedung FMIPA UNJ. Di lorong sebelah kanan paling pojok dengan suasana hening, ada ruangan C102. Itu tempat gue ujian. Semua tampak hening sampai akhirnya derap langkah dan nafas terengah-engah gue memecah kesunyian. Di depan ruangan sudah ada seorang pengawas yang tebal kumisnya melebihi Foke, menunggu.

“Selamat Pagi mas, bisa perlihatkan SIM dan STNK-nya?”

“Err.. kok  saya jadi berasa kena tilang gini pak?” gue heran.

“MAKANYA KALO MAU UJIAN, HELM-NYA DILEPAS DULU, MAS!”

“.......”

*NGAHAHAHAHAHAHAHHHHAHAHA!!* dalam hitungan detik, 29 peserta ujian di ruangan itu pecah ngetawain gue sampai mukul-mukul meja. Bahkan beberapa sampai ada yang nebalikin meja.

Gue nangis di bawah meja pengawas.

Dengan wajah yang sudah tak terdeskripsikan lagi bentuknya, juga dengan hati tersayat-sayat, gue meletakkan helm bedebah itu beserta tas di depan ruang ujian. Dalam hati gue pun mulai bertanya-tanya, bagaimana mungkin gue bisa lupa ngelepas helm setelah turun dari motor?

Jangan-jangan ini gejolak kawula muda..

Gue dapet nomor meja paling belakang. Gue dengan langkah gontai diiringi dedaunan yang berguguran, berusaha mencapai meja tersebut. Seluruh mata tertuju ke gue. Seluruh mata pengawas tertuju ke gue. Beberapa peserta ujian sambil memegang erat dompetnya, matanya juga tertuju ke gue.

Disaat-saat itu gue merasa jadi pusat perhatian. Di FTV-FTV yang gue sering tonton, cowok-cowok ganteng bakalan jadi pusat perhatian. Ketika cowok ganteng itu lewat, angin yang berhembus dari blower datang dan menerbangkan poni cowok tersebut. Seketika  gerakan pun menjadi slow motion berbarengan dengan daun-daun yang telah menguning, berguguran. Cewek-cewek yang melihatnya pun menjadi histeris, tidak terkontrol, dan akhirnya tewas mengenaskan dengan mata berbinar-binar.

Keren abis.

Gue duduk di kursi dan meletakkan tas di bawah meja. Mengambil pensil dan penghapus, gue siap ngerjain tes pertama, yaitu Matematika Dasar, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Semua soal yang ada di depan gue ini gampang. Gampang banget. Jawabnya yang susah. Goddamnit. Gue jadi sadar, gue jadi menyesal, kenapa dulu gue nggak serius ketika belajar matematika di sekolah. Gue lebih memilih nongkrong di pojokan dan nongkrong di WC sekolah ketika pelajaran berlangsung.

Andai dulu gue rajin belajar, mungkin Nicholas Saputra nggak akan seberuntung ini sekarang..

#krik

Beberapa jem kemudian sesi pertama ujian selesai. Gue masih tetap optimis. Ya, masih. Sampai pada akhirnya gue dipertemukan dengan sesi kedua yaitu, Fisika, Matematika, Biologi, Kimia, dan IPA Terpadu. Ini soal ujian bener-bener nggak berperikemanusiaan. Tiap soal yang gue baca selalu diakhiri dengan kekhawatiran, kecemasan, dan menurunnya kinerja otak.

Gue memutuskan untuk memilih jawaban yang mudah terlebih dahulu. Ketika gue terjebak dengan soal yang sulit, di saat yang bersamaan, gue telah kehilangan banyak waktu. Sama halnya ketika terjebak di hati yang salah, di saat yang bersamaan, kita telah menghabiskan banyak waktu.

Gue pun nggak nyerah, apa kata dunia kalau mereka tau lembar jawaban gue nggak ada yang diitemin. Perlahan namun nggak pasti, gue mulai menemukan kembali kinerja otak yang nyaris berhenti berfungsi. Satu per satu gue mulai konsisten menemukan jawaban dari soal-soal yang tak berperikemanusiaan itu. Persetan dengan benar atau salah dari jawaban yang gue pilih. Pokoknya, gue harus bisa keluar dari ruang ujian ini hidup-hidup.

 Ternyata benar, sesulit apapun soal ujian, pasti ada tersisa kemudahan. Sama kayak  cewek jutek. Sedingin-dinginnya cewek jutek, pasti ada tersisa sedikit kehangatan.

Percayalah..

Selang satu jam setengah gue bergelut dengan soal-soal di sesi kedua ujian, gue mulai merasakan kejanggalan. Kepala gue terasa panas sekali. Ternyata selain panas, kepala gue mulai mengeluarkan darah. Pantes hari ini gue merasa lebih basah dari biasanya. Kepala gue mulai blow engine memecahkan soal-soal ujian tersebut. Gue pun mengerjakan soal ujian dengan bersimbah darah..

===

Jam 14.00 pun tiba. Itu adalah saat dimana ujian akhirnya selesai. Perhelatan akbar gue hari ini sampai pada titik tertinggi. Gue udah tampil dengan performa mantap, respon tanggap, dan akselerasi prima. Mungkin ini yang disebut dengan sepenuh hati..

Tapi berakhirnya ujian tersebut nggak lantas membuat gue selow. Gue harus menunggu satu hal yang membuat hati bergemuruh dan kalut. Ya, kepastian. Kepastian hasil ujian. Hari itu gue belajar bahwa yang namanya menunggu kepastian itu nggak enak. Semakin dekat dengan hari pengumuman, suasana hati semakin bergejolak tak menentu. Harap-harap cemas.

Tapi ada satu hal yang terus membayang-bayangi rasa optimis. Ya, ketika harus kecewa karena gagal dalam ujian dan mulai flashback perjuangan-perjuangan yang telah ditempuh sampai sejauh ini.

Gue bisa ngerti bagaimana jadinya kalau gue ada di posisi cewek saat menunggu kepastian. Ketika udah seneng diajak jalan, ketika udah senyum-senyum sendiri saat mulai rutin diperhatikan, ketika mulai bahagia saat secara nggak langsung dijanjikan hubungan yang lebih baik, dan... akhirnya semua yang dinantikan itu nggak berlabuh sesuai harapan.

#kemudiangalau

Setelah dua minggu berlalu, akhirnya besok adalah adalah hari yang dinantikan. Gue udah melapangkan hati buat nampung kebahagiaan atau bahkan kekecewaan. Tapi rasa-rasanya gue optimis mengingat perjuangan gue yang begitu dramatis. Ketika gue harus telat bangun dan telat ujian gara-gara malamnya begadang di jalan via malam mingguan, ketika gue harus mengerjakan soal hingga bersimbah darah akibat gue nggak rajin belajar, ketika gue mengerjakan semuanya dari soal yang paling mudah sampai ke soal yang sangat paling mudah, dan ketika gue menyelesaikan ujian hari itu dengan sepenuh hati.

Pfftt.

Pucuk dicinta teh pucuk harum pun tiba. Tukang Koran langganan pun tertangkap mata melempar koran yang gue tunggu-tunggu ke dalam rumah. Untung yang dilempar bukan Molotov, gue jadi agak tenang. Tanpa harus menunggu hasil quick count pemilihan presiden periode yang baru, gue langsung membuka koran itu secara membabibuta. Tiap halaman koran gue sibak secara cepat diiringi degupan jantung yang mulai tak beraturan.

Akhirnya gue sampai di halaman koran yang terdapat headline “Daftar Peserta yang Lolos SNMPTN tahun 2009”. Di situ isinya nama orang semua, gue udah nggak ngerti lagi harus memulai darimana. Akhirnya gue mulai dari mencarinya dari nomer ujian.  Nomer ujian gue 60415, jadi gue memutuskan untuk mencarinya di sekitaran nomer 60xxxx.

“60207 – Fernando Syarifudin”
“60308 – Muhammad Rojali”
“60382 – Andi Rozak”
“60395 – Allesandro Khoirudin”
“60415 – Don Juan”
“60455 – Cynthia Linimasa”
“60467 – Bunga Citra Hapsari”

“T-tunggu, I-itu barusan apa?”

“60415 – Don Juan”

*kucek-kucek mata* *baca sekali lagi*

“60415 – Don Juan”

“.....”

“.....”

...........

“WUANJENGGGGGGGGG!!!! AKUHH KETERIMA! PAPIII MAMIIIHHHH AKUHHH KETERIMAAAAAAAA!!!”

Tak lama kemudian langit pun menghitam. Petir bergemuruh. Kilat menyambar-nyambar. Seketika itu juga TV langsung menyala dan menyiarkan ramalan cuaca. Kata Penyiarnya, Jeremy Tety, Jakarta bakal dilanda hujan deras sebulan penuh. Roman-romannya air bah bakal menyapu bersih rumah gue.

===

Gue nggak menjawab semua soal SNMPTN itu dengan benar. Bahkan banyak yang gue kosongin, nggak diitemin. Semua peserta ujian tau, jika salah menjawab dapat mengurangi poin. Jika nggak dijawab dengan benar, juga nggak bisa lolos passing grade jurusan yang telah dipilih. Jika terpaku pada suatu soal yang bernafsu untuk dijawab dengan benar, waktu akan habis, dan soal-soal yang sebenarnya lebih mungkin bisa dijawab nggak sempet dikerjain.
Mungkin benar, soal-soal itu dirancang untuk tidak dijawab semuanya dengan benar. Ada yang dibiarkan kosong saja. Ada juga yang dijawab kemudian salah. Dan tentu ada jawaban yang dijawab dengan benar. Soal SNMPTN ini mirip kayak perempuan, jangan jawab semua pertanyaannya, karena beberapa pertanyaan nggak butuh dijawab, tapi butuh didengar atau dipeluk.


====

Gue cuma bisa senyum-senyum sendiri menatap langit di beranda kosan ketika flashback masa-masa silam. Gue yang dipastikan bermasa lalu menyedihkan dalam hal pelajaran, malas, dan sungguh mengkhawatirkan, bisa-bisanya lolos dalam memasuki bangku perkuliahan. Khususnya memasuki perguruan tinggi negeri.

Buat gue, kuliah di PTS atau di PTN itu nggak ada bedanya. Tapi entah, paradigma masyarakat terus menganggap bahwa orang yang lulus ke PTN lebih bergengsi daripada yang nggak.

Tapi yang telah terjadi biarlah terjadi. Sambil menyeruput kopi pertama, pagi itu, di beranda kosan, gue mengikat tali sepatu dan bergegas untuk kuliah pagi.

Share:

0 Komentar