The Handsomology Reloaded
Beberapa
minggu ini, entah kenapa, ada banyak
remaja mampir curhat ke email gue. Yang
paling bikin gue mengelus dada sendiri (harusnya dada pacar), remaja-remaja
ini mayoritas, cowok. Ini sudah seperti ladang curhat para kaum
batangan dan mungkin sebentar lagi akan saling mengadu batangnya dengan peserta
batangan yang lain.
Hebatnya,
nggak semua gue bales. Gue bales cuma beberapa. Ya, beberapa. Ya, satu orang.
Ya, yang cewek.
Pertanyaan
dan keluh kesah mereka itu rata-rata sama. Nggak jauh-jauh dari siklus pedekate-ngajakjalan-nembak-pacaran-putus-ngajakbalikan-dan-begitu-terus-sampai-kiamat.
Sebenarnya,
mereka nggak salah punya pertanyaan dan keluhan kayak siklus kampret di atas. Yang jadi kesalahan
mereka adalah: mereka nanya ke gue. Gue ngetwit dan nulis tema berbau relationshit berdasarkan keberhasilan
kegagalan gue. Otomatis, gue pun jarang nggak pernah kasih solusi. Bukannya
mencerahkan, gue malah memperkeruh kegalauan mereka.
Tapi
belakangan, rentetan keberhasilan kegagalan gue dalam mengarungi
kejamnya dunia pedekate-ngajakjalan-nembak-pacaran-putus-ngajakbalikan-dan-begitu-terus-sampai-kiamat,
membuat gue lebih peka terhadap banyak hal. Terutama kode-kode. They were right,
men are from mars, women are from venus, orang di planet Mars nggak pernah
ngerti kode-kode kampret orang di planet
Venus.
Kegagalan
datang nggak dengan tangan kosong, dia datang membawa jam terbang. Iya, jam
terbang. Di postingan ini, gue nggak bermaksud tipsy atau menggurui, gue cuma mau berbagi cerita berdasarkan
pengalaman kelam di masa silam.
This is, The Handsomology Reloaded!
Semoga
tidak menginspirasi.
PEDEKATE
"Neng, pulang lewat mana? Abang nebeng sampe pengkolan ya, Neng." |
Berjuta-juta
orang udah ngebahas ini di mana-mana. Apalagi di twitter. Apalagi selebtwit. Kalau kamu follow selebtwit, pasti setiap hari ada aja
yang ngebahas tentang hal yang satu ini.
Inget,
gue bukan selebtwit. Camkan itu.
Dari
email yang masuk, mereka ini bertanya tentang hal yang sama. Inti pertanyaan
mereka itu cuma “Gimana caranya gue bisa
deketin dia dengan cara yang benar?”
Gue
harus jawab apa?
Nggak
ada kata salah dan benar untuk urusan cinta. Jadi nggak ada paham saklek untuk memulai jatuh cinta. Ngedeketin
cewek orang aja bisa dianggap benar kok. Contohnya, ketika ngedeketin cewek
yang suka disakitin cowoknya, kamu datang di sana untuk menyelamatkan. Di
primbon playboy, ini disebut menikung
dengan tujuan menyelamatkan.
Satu-satunya
jalan paling benar adalah dengan memulai pembicaraan dengannya. Bisa ngajak dia
ketemuan, atau kalau belum berani, bisa mulai via chatting. Belum selesai gue bercerita, mereka-mereka ini langsung
melontarkan pertanyaan lagi.
“Gue mesti ngomong apa aja ke dia?”
Piye?
Aku mesti njawab apa, Cuk?
Oke,
tehnik paling sederhana yang paling sering gue pakai untuk memulainya adalah tehnik
FORM.
FORM
itu apa ya?
FORM
itu singkatan dari Familly, Occupatiom, Recreation, and Message. Inget, yang
terakhir itu Message. Bukan Massage.
Bingung
mau ngajak ngomong apa?
Nah,
coba tanyain family-nya. Contohnya: “Kamu
asli mana?” “Kamu ngekos di mana?”
“Kamu punya saudara kembar ya, kok mirip
sama mantan aku?” “Kamu punya anjing ya?” (anggap aja anjing adalah salah
satu keluarganya). Dan masih banyak lagi.
Setelah
kelar ngepoin family-nya, coba masukin topik recreation atau hobi. Ajak ngobrolin
hobinya. Menurut ilmu psikologi, orang itu paling suka kalau ditanyain tentang
hal yang dia suka. Kalau dia cewek clubbing,
udah jelas jangan ajak dia ngomongin tentang sembahyang mengaji. Bukannya
dia nggak suka sembahyang mengaji, tapi saat itu cuma Si Doel yang kerjaanya
sembahyang mengaji. Coba ajak ngomong tentang minuman. Seperti wedang jahe,
bajigur, atau STMJ. Kalau dia cowok gamer,
coba ajak ngomong tentang permainan yang dia suka. Gue yakin, dia bakal
panjang lebar ngomongin game kesukaannya. Intinya, tanya hal kesukaannya dia,
dan gali terus di sana. Biarkan dia menceritakan semuanya ke kamu.
Be a great listener.
Udah
puas ngomongin hal kesukaannya, coba masuk di occupation atau kerjaan, atau
minimal kesibukannya. Setelah ngomongin hal yang disuka, pada topik pekerjaan,
dia kemungkinan akan bercerita tentang keluh kesahnya. Pengalaman gue, jangan
tergoda untuk memberi solusi, dengerin aja sambil manggut-manggut pertanda
menyimak keluhannya.
Tak
terasa obrolan ringan di depan indomaret berlanjut ke obrolan di kamar kosan. Ah
bukan. Bukan itu. Tak terasa obrolan ringan itu berlangsung berjam-jam lamanya.
Nah, di sinilah sesi Message
dibutuhkan. Bukan, bukan Massage. Ini
nggak seperti yang kamu pikirkan. Abis ngajak ngobrol terus minta dipijet? Tidak
tahu diri sekali kamu. Message di
sini adalah meninggalkan pesan. Ini contoh
sederhana yang paling sering gue pakai saat menyudahi obrolan dengan cewek
embem: “Eh, bentar lagi aku ada kuliah,
kayaknya kita bakal ketemu lagi besok, kamu bisa save nomor aku. Miskol ya.”
Dapet
deh nomor telfonnya.
Tapi
ini nggak harus nomor telfon. Bisa pin BB, skype, atau yang lain. Kalau Line,
Kakao, Wechat, Watsap, dll itu mudah. Jaman sekarang, orang udah dengan
sendirinya memberi tau alamat chatting mereka di profil FB dan twitter.
Kemungkinan
dapat nomer telfon dia, ditentukan dari seberapa hebat kamu melakukan ice-breaking di awal dengan
topik family, occupation, dan recreation. Semakin seru dan enak jalan obrolan,
kemungkinan berhasil dalam meninggalkan pesan akan semakin besar. Oh iya, gue
juga belajar bahwa saat ngobrol, usahakan jangan tergoda untuk menceritakan
diri sendiri, buatlah lawan bicara yang menceritakan semua tentang dirinya.
Dulu,
hal kecil di atas adalah hal yang paling besar gue sepelekan.
NGAJAK JALAN
Kids Today. |
Udah
dapet nomor telfonnya, udah sering BBM-an, udah sering telfon-telfonan,
kemungkinan besar hubungan yang sedang dibangun tersebut akan berakhir di kamar
kosan. Ah bukan. Bukan itu.
Hubungan akan menuju pada step ngajak jalan. Yang paling
berharap besar pada hubungan itu pasti yang akan berinisiatif ngajak jalan. Kalau
cewek, bisa ngajak lewat telfon dengan cara seperti ini: “Eh, aku besok mau
nyari buku di Gramed, kamu nggak mau temenin aku?” tentunya keberhasilan juga
ditentukan dari desahan. Semakin mendesah, cowok akan semakin tidak punya
pilihan selain, iya.
Oke,
gue becanda.
Pada
awal-awal membangun hubungan, mayoritas step ngajak jalan akan dilakukan oleh cowok.
Mungkin cowok punya nafsu lebih untuk urusan yang satu ini. Oke, urusan di
kamar kosan juga. Oke-oke, untuk banyak urusan, cowok memang lebih bernafsu. Yang
cewek, ati-ati aja.
Lah,
sampai di mana tadi?
Kembali
lagi ke masa lalu, gue ini adalah tipikal cowok glory hunter. Gue mengejar cewek seperti Cheetah yang mengejar
Impala. Niat abis. Nggak berhenti sampai Impala berhasil diterkam. Makanya, cara
gue ngajak jalan itu sering barbar
atau lebih tepatnya cara “mbuh piye
carane dek’e kudu jalan karo aku”.
Yang paling kampret, gue pernah nelfon
ngajak jalan seorang cewek tepat di depan pagar kosannya. Ketika ditelfon dia
mengelak lagi di luar sama temennya, otomatis gue nggak bisa ditipu. Ya karena
gue tau dia ada di dalem. Mau nggak mau akhirnya dia keluar nemuin gue dengan
rasa malu.
Kampret
kan?
Sekali
lagi, belajar dari kegagalan, dulu gue selalu ngajak jalan dengan kesan “memohon”.
Seperti misalnya di telfon, “Eh, malem
nanti kamu ada acara nggak?” dan tentu aja bakal mudah dijawab, “Oh, ada.” Atau seperti, “Eh, kemarin kan kamu janji jalan sama aku, nanti aku jemput ya?”
Akhirnya
gue tau, kalau ini bukan cara yang elegan. Gue kehilangan postur di sini.
Gue
memutuskan untuk belajar dari teman lain. Ya, dari telemarketer! Itu tuh, yang
suka nawarin asuransi atau langganan internet lewat telfon. Jangan salah,
mereka bisa ngejual barang cuma lewat telfon! Itu keren! Makanya, setiap
ditelfon telemarketer yang nawarin asuransi, internet, atau produk lain, gue
selalu pelajari kalimat-kalimat yang mereka ucapkan.
Intinya,
bukalah sebuah ajakan dengan memberi peluang atau tawaran. Bukan dengan
memohon. Percaya nggak percaya, itu naikin postur gue saat ngajak jalan.
Awalnya
agak ragu, tapi jika melihat status jomblo gue yang mulai berkarat, gue
beranikan diri untuk mencoba tehnik baru ini. Berikut adalah contoh yang sering
gue praktekin lewat telfon:
“Eh, kebetulan aku punya 2 tiket
nonton, dan kayaknya kamu adalah orang yang tepat untuk tiket ini.”
“Kita baru bertemu, dan aku tau ini
gila, tapi seneng bisa ngobrol sama kamu, aku pengin ngobrol-ngobrol lagi sama
kamu di kafe ini. Dan aku juga tau kalau kamu punya waktu.”
“Kebetulan aku mampir di daerah
sini, kita kayaknya bisa ketemu di situ deh.”
“Kamu lagi senggang kan? Nah, aku
juga. Kalau kesenggangan di antara kita digabungin, itu bisa jadi kesibukan
baru loh.”
Kampret
nggak?
Tapi
cara kampret ini yang bikin temen-temen kosan gue manggil gue dengan “Don Juan”.
Orang yang nggak nyerah dengan segala keterbatasan. Yang penting maju dulu. Karena
aksi punya pacar yang niat ini juga, salah satu temen gue, anak otomotif, bikin kalimat ini.
“Mesin
boleh standar, tapi cara bawanya tetep moto jipi.”
Mungkin,
tampang boleh standar, tapi cara ngajak jalan nggak standar.
Entahlah.
Tapi
sekali lagi, cara-cara ini nggak akan langsung berhasil. Ingat lagi kalimat di
awal-awal postingan ini. Nggak ada cara yang saklek buat mengawali semua ini. Kembali pada diri masing-masing. Saat
itu, gue gagal di mana-mana. Gue belajar bahwa ada cara lain yang bisa dilakukan
untuk menaikkan intesitas kegantengan.
That’s The Handsomology.
NEMBAK
"Mbakyu, iki atiku sing paling njero. Nyoh." |
Setelah
banyak kencan dilalui, setelah getaran di hati kian bergejolak, mungkin inikah
saat yang tepat untuk nembak?
Nggak.
Nggak
tau, maksudnya.
Pertanyaan
paling tidak ingin dijawab adalah, “Kapan
waktu yang tepat untuk mengutarakan rasa?” Satu-satunya orang yang bisa
menjawabnya adalah orang yang tengah menjalin cinta itu sendiri. Kalau dari
pengalaman temen-temen gue, katanya sih, nembak itu harus menciptakan momen. Momen
saat lagi manis-manisnya, saat lagi ketawa-ketawanya, saat lagi intensnya
percakapan di telfon, dan saat dia sudah tak ragu lagi nginep di kamar kosan
kamu.
Yang
terakhir, tolong diabaikan.
Lalu
kenapa nggak pakai pengalaman gue?
Semenjak
sering ditolak, gue udah dari lama nggak nembak. Buat gue, mengutarakan rasa
lewat “Aku sayang kamu, kamu mau kan jadi pacarku?” sekali lagi menurunkan postur. Di sini gue sebagai pihak yang
memohon. Harusnya kalau udah sama-sama cinta, nggak ada lagi yang harus saling
memohon untuk dicintai.
Beberapa
momen terakhir, cara gue mengutarakan rasa udah seperti pihak yang menawarkan kerja sama.
Salah
satunya ini.
Waktu itu hari Jumat, seperti biasa gue udah nongkrong di depan
kosannya buat nungguin dia kelar dandan. Hari itu kami sepakat nonton di
bioskop. Kami menonton film boneka beruang yang hidup karena wish anak kecil – TED. Sesampainya di
mall tersebut, gue reflek ngegandeng tangannya. Dia cuma bisa menatap gue
sembari sedikit melihat apa yang tengah terjadi di antara tangan kami.
Gue
tau dia kaget.
Kejadian
gue menggandeng tangannya dan dia cuma bisa bengong, berlangsung sampai naik di
eskalator.
“Downy,
ini maksudnya apaa?”
Gue
menatap matanya, “Kamu bisa ngerti kan apa yang aku rasain ke kamu selama ini?”
Dia
menggigit bibirnya.
“Oke,
bibirmu telah menjawabnya.” Bales gue lagi.
Eskalator
terus berjalan dan semakin ke atas.
“Kalau
kamu belum siap, kamu bisa lepasin tangan aku. Kalau kamu merasakan hal yang
sama dengan apa yang aku rasakan sekarang, diamlah di sana. Biarkan genggaman
kita yang bicara.” Bisik gue dekat di telinganya.
Dia
hening.
Sampai
mengantri di depan loket tiket, tangannya masih ada di genggaman tangan gue. Mungkin
itu jawabannya. Kami pun bahagia sehidup semati sampai akhirnya pihak ketiga
memisahkan.
Kisah
cinta yang seperti menawarkan kerja sama
ini, mengingatkan gue pada ucapan Muhadkly Acho – Stand up comedian.
“Relationship is am open tender,
everyone can submit their proposal, so make sure you have an excellent
portfolios.”
Sekali
lagi, nggak harus dengan cara di atas, kalau dengan “Aku sayang kamu, kamu mau jadi pacarku” udah bikin dia
klepek-klepek, kenapa nggak? Nggak ada cara yang runut dalam mengutarakan
perasaan.
Itu
cerita nembak gue, bagaimana cerita nembakmu?
Apa?
Ditolak?
Hahaha.
Ciyan.
NGAJAK PUTUS
"Salahku apa lagi sih beb? Aku kan cuma lupa komen status FB-mu dua hari ini.." |
Pacaran
udah, kemana-mana pegang tangan udah, nyium udah, digampar bokapnya gara-gara
seharian anak gadisnya nggak dipulangin udah, nah terus apa lagi?
Biasalah.
Tiga bulan pertama, semua terasa surga dunia. Semua milik berdua. Hati-hati,
pulang berbadan dua.
Biasalah.
Tiga bulan kedua, semua masih terasa surga dunia. Masih terasa milik berdua,
walau sudah ada yang mulai menganggu. Tapi tetep, hati-hati pulang berbadan
dua.
Biasalah.
Tiga bulan ketiga, atau sembilan bulan lamanya, mulai diganjar batu kerikil. Jalan
kini tak lagi mulus. Bebatuan dan terjal pun terlintas di depan mata. Mulai saling
menyalahkan satu sama lain. Kini ego yang bicara. Suara mulai meninggi. Suara yang
tinggi itu dibalas dengan dengki. Pecah ketuban. Selamat, anak telah lahir
setelah mengandung sembilan bulan lamanya. Anak itu diberi nama, Cemburu.
Biasalah.
Menginjak tahun pertama. Jika bertahan, akan saling menguatkan. Mulai tumbuh
kedewasaan antar pasangan. Yang tadinya marah karena satu pihak lupa nge-like
status FB pacar, kini mulai rutin nge-like tanpa diminta. Yang tadinya emosi
karena mention twitter nggak dibales, kini mulai rajin bales. Timbul pengertian
yang tidak biasa di tengah mereka. Kini mulai melihat tentang masa depan. Melihat
sebuah rumah. Rumah yang dibangun dari fondasi kesetiaan.
NB: Ini tidak berlaku bagi kaum LDR
(Ketemu aja jarang).
Iya,
bagi mereka yang bertahan? Yang tidak?
Selamat,
anda kandas di persimpangan jalan.
Salah
satu pihak yang paling dirugikan akan mengucapkan kalimat penuh kode-minta-putus seperti “Ayang, nyadar nggak sih kalau kita setiap
hari berantem terus?” atau “Mbem,
kamu sekali-sekali ngertiin aku bisa nggak sih? Aku capek kayak gini terus!”
atau bisa juga “Beb, mama kamu kok makin
cantik?”
Salah
satu kalimat putus paling absurd menurut gue, “Sayang, kamu terlalu baik buat
aku” bener-bener kampret. Ini contoh minder yang tak pantas ditunjukkan oleh
generasi muda. Harusnya kalimat itu direvisi jadi, “Sayang, kita mending sampai
di sini aja, aku terlalu baik buat kamu”. Nah, di sini pihak yang mutusin
bener-bener punya postur saat
mutusin. Seakan-akan dia adalah pihak yang benar-benar dirugikan. Dan dia
berusaha menyelamatkan hidupnya dari kekangan pacarnya.
Sebelum
menutup tulisan ini, salah seorang temen gue pernah menepuk bahu gue, dan
berkata, “Don, kalau ada duit, semua yang
lu bilang barusan itu nggak ada gunanya. Money always talks louder than anything.”
Gue
cuma bisa berdehem sambil mengiyakan. The Handsomology yang pertama udah gue bahas
tentang cinta dengan uang dari banyak sudut pandang. Nggak ada yang salah. Kembali
lagi pada pelaku yang ingin menjatuhkan cintanya.
Pengalaman
mengajarkan bahwa pedekate, pacaran, sampai menemukan pasangan yang tepat,
layaknya memancing di lautan bebas. Ikan yang dipancing tergantung dengan
umpannya. Jika umpannya uang, akan banyak ikan yang terpancing. Jika uangnya
tidak ada, ikan tidak akan kembali lagi ke kail yang sama. Jika umpannya
attitude, mungkin akan sedikit ikan yang tergiur, tapi gue yakin, ikan itu
adalah ikan yang sebenar-benarnya dibutuhkan, bukan sekedar diinginkan.
Sekali
lagi, iya sekali lagi, ini semua tidak menggurui. Pilih mana jalan yang
dianggap sesuai. Kembali pada diri masing-masing. Semoga tidak menginspirasi.
Mungkin tak bisa mendapatkan semua
yang diinginkan, tapi jika sedikit lebih bersyukur, Tuhan bisa kasih sesuatu
yang benar-benar kita butuhkan.
Tags:
TIPS AND ARTS
0 Komentar