Long Distance Religionship - chapter 8
#8
Besoknya, gue bangun jam 7 pagi.
Iman sudah siap dengan seragam pramukanya. Hari ini hari sabtu, gue yang baru
bangun sambil nguap-nguap lucu, nanya ke Iman.
“Man,
lu pulang jam berapa entar?”
“Paling
jam 1-an fan. Emangnya kenapa? Lu mau jalan sama dea?”
“Iya
man, gue rencana mau buat kejutan buat doi sore ini.”
“Bisa
sih, Fan. Emang mau buat kejutan gimana?” Tanya Iman lagi.
“Gak
kejutan juga sih. Kan gue ke sini nggak bilang-bilang ke Dea. Katanya, dia
malam ini mau jalan sama temennya. Entar sore gue mau ketemu dulu sama dia,
tapi tanpa sepengetahuan dia. Kira-kira, dia deket sama siapa di sini, Man?”
“Hmm,
ada nih temen deketnya dulu, mantan gue juga sih, namanya Putri. Mereka lumayan
deket tuh.”
“Oh
yaudah, entar lu tanyain Putri ye, ajakin si Dea jalan entar sore. Ajakin ke
taman aja. Entar kita standby duluan
di sana. Gimana?”
“Nah,
ide bagus tuh. Yaudah, entar gue bilangin ke putri. Gue pergi sekolah dulu,
udah telat nih gue!”
“Oh,
oke sip deh. Hati-hati, Man.”
“Iya,
papa pergi dulu ya maa..”
“Papa!
Papa!! Tunggu Papa!!! Tidakkkkk..” Teriak gue melihat punggung Iman yang mulai
menghilang di balik pintu.
Lalu
gue salim tangan dia, cipika-cipiki. Dan.. ah bukan apa-apa.
Gue
langsung telfon Dea.
“Dea,
lagi di mana?”
“Aku
di rumah, lagi nemenin adek nih. Kenapa sayang?”
“Oh,
gak papa kok. Entar malem jadi jalan sama temen kamu?”
“Jadi
deh kayaknya, temen-temen aku udah iya-in kok. Kenapa sayang?”
“Oh
yaudah, gapapa sayang. Jangan lupa sayang aku ya..”
“Iya sayang. I love you..”
“Love
you too..”
Gue
kasmaran sendirian.
Hampir
setahun gue nggak ngeliat dia. Entar sore bakal ngeliat dia.
Lagi..
“Kau tau, kita seperti
pokok. Mengakar kekeringan, mengukur kejauhan. Dari rindu, ke temu, dari aku, ke kamu.”
Aku
kasmaran.
====
Karena masih ngantuk berat, gue memutuskan untuk melanjutkan tidur yang terputus, gue tidur lagi.
Bangun-bangun,
udah ada Iman di sebelah gue, lagi main hape.
“Man,
sejak kapan lu pulang? Kok lu ada di sebelah gue? KAMU APAKAN AKUUUUHH!!” Gue
Histeris.
“Nggak
gue apa-apain kok.” Bales Iman, datar.
“TAPI
KENAPA AKU NGGAK PAKAI BAJU GINI, MAN? CELANA AKU MANA?! DI MANA CELANA AKU,
MAN?! JAWAB, MAN!! JAWAB!!”
“Tenang-tenang,
tadi pake pengaman kok..” Bales Iman, sekenanya.
Oke, nggak gitu.
Balik
ke cerita.
“Man,
gimana tadi? Udah ngomong ke Putri, belum?”
“Wah,
tadi gue nggak ketemu sama Putri, Fan. Gue malah ketemu guru Geografi, katanya
tugas gue salah semua..” Jawan Iman, nanar.
“Yah,
lu malah curhat. Serius ini!!” Teriak gue sambil nyubit pipi Iman.
“Iya
Fan, tadi nggak ketemu. Tenang, gue punya nomernya. Ini gue sms.”
“Oke.”
Iman
sibuk dengan hapenya. Gue cuma duduk sambil main gitar. Tak lama kemudian..
“Fan,
Putri bales nih. Katanya bisa entar sore. Gimana?”
“Serius?
Okelah. Ayo kita siap-siap!” kata gue semangat.
“Sekarang?
Ini masih jam 2!!”
“Oh
iya.. Yaudah, lu bawa gue keliling-keliling, kek. Bosen nih gue.”
“Mau
kemana? Ini kan siang banget. Panas gila! Entar gue iteman gimana? Entar lu nggak mau lagi sama gue gimana?!”
“………”
Setelah
berdebat sengit untuk waktu yang cukup lama, kami memutuskan untuk hidup
bersama. Ah, bukan..
Kami
memutuskan tetep di rumah, nggak ngapa-ngapain.
krik.
====
Gue yang udah nggak sabar pengin ketemu sama Dea, cuma
bisa menunggu. Menunggu itu hal yang mudah, bagi mereka yang tidak menunggu.
“Fan!
Ayo siap-siap. Udah jam 3 ini!” Kata iman yang udah rapi, dengan rambut yang klimis
disemir Alteco.
Gue
yang belum mandi dari pagi pun, tanpa pikir panjang langsung bergegas mandi.
“SMS
Putri, Man. Bilang kalau kita udah mau ke taman.”
“Oke,
ini gue SMS!” Jawan Iman, mantap.
Waktu menunjukan pukul 4 sore, tidak
terlalu panas, tidak terlalu mendung. Hari yang cerah untuk jiwa sepi. Gue sama Iman duduk di bangku taman, sambil
menunggu Putri sama Dea yang sedang menuju ke sini. Sembari menunggu
kedatangan, sekali lagi, iya sekali lagi, Iman memecah kesunyian.
“Nama
kamu Irfan, aku Iman. Sama-sama I. Jangan-jangan kita jodoh..”
“Ah ngak gitu.. nggak…. Lama banget ini si Putri
sama Dea.” Gue mengalihkan pembicaraan.
“Iya
nih, udah hampir setengah jam nih. Sabar Fan, paling bentar lagi… Oh ya, entar
kalau ketemu sama dea, gue entar menjauh sama Putri, ye. Ya itung-itung
nostalgia sama mantan..”
Ternyata momen ini dimanfaatin buat nostalgia sama
iman. Sial. Pantes aja dia semangat banget nganterin gue ke taman!
“IYA
MAN, IYA.” Kata gue nyolot.
“HAHAHAHAHAHA!
Oke. Jadi, udah berapa lama lu sama dea?”
“Hmmm,
udah hampir setahunan sih ini man. Tapi ya gini, ldr. Capek juga lama-lama.
Lagian….”
“BRO, DEA ITU BRO!” Iman memotong.
“HAH?!
MANA BRO, MANA?” Kata gue sambil celingak-celinguk.
“Arah
jam 5, bro!”
“Sekarang
masih jam 4, bro.”
“Ah
taik, bro.” Jawab Iman, ketus.
Gue noleh ke arah yang ditunjuk Iman. Di sana
gak ada siapa-siapa. Hati yang dari tadi deg-degan, kini makin keras bunyinya.
Iya, jatuh cinta kan perihal jantung yang deg-degan.
“Apaan
man? Gak ada siapa-siapa..” Gue komplain ke Iman.
“Yaelah,
gitu aja nggak liat. Bego benar. ITU BRO, ITU DEA, BRO!” Iman nunjukin pake
jari.
“Ah
taik bro, itu arah jam 2, bro.”
“Gapapa
bro, meleset dikit, bro.”
Facepalm.
Gue
langsung keluarkan diary dari dalam
saku, kutulis saja barang semenit dua menit.
“Dari
kejauhan, telingaku menangkap jauh suaramu. Semakin detak, semakin cepat.
Semakin detik, semakin dekat. Dia yang tersenyum malu, seperti tidak menyangka
bahwa aku berada tepat didepannya. Dia bahagia sekali, bahagianya tak bisa ia
ungkapkan, ia lebih memilih lewat pelukan. Ia memelukku dari belakang. Erat
sekali. Mungkin, cara terbaik merayakan pertemuan, adalah dengan pelukan.
Karena pelukan, mampu mengutarakan apa yang tak mampu diutarakan.”
Akhirnya aku
menemukanmu.
“I-irfan?
Kok kamu di sini sih? Kok bisa?” kata Dea, sambil menyembunyikan heran dalam
senyuman.
Gue
cuma diem, sembari mengambil tangan Dea yang haus akan genggaman.
“Kok
lama sih, Put? Gue nunggu dari tadi nih.” Tanya gue sambil menggenggam Dea.
“Hahaha,
ya maaf, Fan. Ini si Dea, dandannya lama banget.” Bisik Putri sambil ngelirik Dea.
Setelah berhasil menggenggam,
sekarang Dea berada dalam pelukan. Hangat sekali, ya Tuhan. Gue ngeliat iman,
dia cuma senyam-senyum cemburu ngeliat gue sama Dea yang masih dalam pelukan.
Begitu juga dengan putri. Begitu juga dengan Dea. Begitu juga dengan taman ini.
“Put,
kita jalan yuk, di sini panas..” Kata iman sambil ngelirik ke gue. Padahal ini
kan sore, nggak panas. Putri yang nangkep maksudnya iman, langsung meng-iya-kan
ajakan iman. Alhasil di tempat ini, cuma tinggal gue dan Dea.
“Engg,
hehehe. Ini mau meluk sampai kapan? Aku gak bisa napas nih..” kata gue
bercanda.
“Hahahaha,
iya.”
Dia duduk disebelah gue sambil senyum-senyum
sendiri. Gue nyangka, dia gila karena senyum-senyum sendiri. Ternyata benar,
dia gila karena pertemuan, aku gila karena dia. Entahlah.
“Ehem..
jadi, entar malem fix jalan sama temen kamu?” Tanya gue dengan nada mengejek.
“Emmmm
gimana ya. Hahahaha.”
“Sama
temen, atau sama aku nih?”
“Sama
kamu aja deh!”
“Katanya
mau jalan sama temen…”
“Enggak,
kan udah ada kamu disini.. hehehe. Kok bisa kesini sih?” nadanya seperti masih
tidak percaya.
Gue
cuman senyum. Dia juga senyum. Speechless
sekali..
Dari bau parfumnya, cara bicaranya,
sampai baju kuning dari bali dan celana panjang putihnya masih gue inget sampai
sekarang. Kenapa gue inget? Ya karena gue nyimpen fotonya.
Yang warna biru itu bukan gue, itu tiang. Gue yang lagi duduk. Bukan, bukan yang ada kacanya, itu helm. |
Ini salah satu taman yang ada di
Paser, tamannya sejuk. Pas buat pacaran. Banyak semak-semaknya, paling enak
kalau pacaran malam-malam nih. Maaf ya kalau gue sedikit tak berperikeasmaraan.
Berawal dari pertemuan sore itu, malamnya kami
meneruskan untuk jalan berdua. Apa yang nggak bisa gue rasakan di gagang
telfon, kini gue alami. Sesekali melihat wajahnya, ingin sekali kutulis sesuatu
di bibirnya.
Pukul
tujuh malam, kurung buka titik dua, singkat kata aku bahagia.
from @Irfannyhanif feat. Don Juan
Tags:
The Playboy Stories
0 Komentar