When The Girl Takes The Bill


Sore tadi gue abis ngopi-ngopi lucu di sebuah kafe bersama dua orang cewek. Iya, cakep. Tapi nggak bisa dipacarin karena, ya, mereka seorang sahabat. Sore itu kami ngobrol tentang hal sederhana, iya, siapa yang harus bayarin duluan saat kencan pertama.


Apa yang dipikirkan cowok saat kencan dan apa yang diharapkan cewek saat kencan.


Klise ya.

Mayoritas cewek akan berpendapat bahwa cowok akan selalu bayarin di awal. Beberapa yang lain dengan tegas menyatakan bahwa cewek bayarin nonton atau makan saat kencan pertama adalah mustahil. Prinsip mereka, cowok harus angkat pantat dari tempat duduk dan membuka dompetnya buat kencan malam itu.

Awalnya, prinsip cowok-ngangkat-pantat-duluan-terus-buka-dompet-lalu-bayarin-semua-atribut-kencan-malam-itu, gue iyain. Gue juga termasuk cowok mayoritas yang bakal keluarin uang duluan buat handle semuanya. Makanya, buat gue, kencan pertama sebelum pacaran merupakan sebuah  ritual yang udah mateng-mateng dan jauh-jauh hari gue rencanain. Rencanain duitnya, tepatnya. Ya, cowok emang suka gitu, buat ngejar yang nggak pasti aja rela ngeluarin duit.

Anin, langsung memotong pendapat gue.

“Nggak juga ah Don, aku pernah bayarin nonton sama makan waktu kencan pertama kok.”

“Serius lo, Nin?” bales gue sambil menyeruput Milk Shake coklat kedua.

Sambil melepas asap Black Mentolnya ke langit-langit, Aya ikut memotong. “Lah, gua waktu itu malah pernah buka botol buat gebetan, sejuta lagi harganya.”

“Serius?” bales gue.

“Iya, waktu itu aku emang ngarep dia bisa suka sama aku, makanya waktu itu sebelum nonton, tiket udah akubeli, dan pulangnya aku traktir makan. Dia seneng. Ya, besoknya kami telfon-telfonan.” Jawab Anin.

“Iya, cowok itu ganteng, mapan lagi, gue pengin dia interest sama gue di sana.” Jawab Aya, cewek gaul clubbing.

“Jadi, siapa yang paling berharap besar akan memiliki “kecenderungan” buat bayarin duluan?” Bales gue.

“Mungkin.” Jawab Anin sambil mengangkat bahunya.

Walau, nggak pasti benar, pendapat Anin dan Aya mengingatkan gue dengan beberapa kisah yang nyaris persis kayak mereka.

“Emang gimana cerita lo, Don?” Aya mencondongkan badannya ke arah gue.

“Jadi gini..”



STORY 1

Semua mahasiswa pasti udah tau, kalau KKN – Kuliah Kerja Nyata adalah ajang pen-cinlokan terbesar dalam sejarah perkuliahan. Dari yang jomblo sampai punya pacar, dari yang punya pacar sampai punya pacar lagi, dan juga dari yang pacarannya jarak jauh menjadi pacaran jarak deket, semua disponsori oleh KKN ini.

Semester enam, gue sebagai mahasiswa di universitas tersebut juga harus mengikuti KKN sebagai salah satu syarat kelulusan. Sebelum diterjunkan ke daerah, para mahasiswa harus membentuk kelompok untuk dapat mengikuti KKN. Berbekal ajakan teman dan iming-iming ada cewek cakep, akhirnya gue memutuskan untuk bergabung pada salah satu unit yang akan melakukan KKN di Bali.

Nyaris setiap minggu diadakan rapat untuk membenahi persiapan-persiapan sebelum unit ini diterjunkan ke lapangan. Dan setiap minggu itu juga, gue berpapasan dan bertatap-tatapan dengan dia, Anisha.

Kebetulannya lagi, gue ditunjuk sebagai salah satu kru penggalang dana bersama Anisha dan teman-teman lainnya. Awalnya gue menganggap Anisha biasa aja sampai dia sering tersenyum dan tertawa bersama gue di setiap kesempatan.

Entah kenapa, siang itu menjadi berbeda ketika Anisha sambil tersenyum memegang pundak gue dan berkata, “Seneng yaa deket-deket kamu, pengin ketawa terus rasanya..”

Siang itu juga, pelan-pelan Anisha mengisi kekosongan ruang di hati yang LDR ciptakan.

Salah satu kelemahan LDR ya ini.. LDR nggak ngerti bahwa kebersamaan yang muncul dari saling menatap, berbeda dengan kebersamaan yang muncul dari canda tawa via telfon.

Ada satu hal yang nggak bisa diganti, ya itu.

Mengaku dekat dan mengaku bersama di tempat yang jauh, lama kelamaan, kalau gitu-gitu aja, seperti merasa ada yang kosong walau tidak ada yang hilang.

                                                                        =====

Semenjak hari itu, Anisha sering BBM gue, SMS gue, bahkan telpon gue, untuk hal yang tidak penting.

“Donihhhhh, bangunn, kuliahnya pagi kan??”

Gue diam.

“Haloo, udah bangun kan?”

Gue masih diam.

“Hayooo belum bangun yaaa, bangunn yuukk nanti kesiangan loh.”

Bukannya gue sok cool atau jual mahal, tapi karena dia nelfonnya jam 5 sore.

Selain itu, dia juga mulai SMS hal-hal yang membuat gue harus memutar otak untuk membalasnya.

“Don, jangan lupa sarapan ya.”

Padahal, gue baru aja nganter dia pulang dari makan siang.

Rentetan-rentetan kejadian absurd yang menimpa hari-hari gue ini justru malah membuat gue makin gemes sama dia (ya selain pipinya yang emang udah ngegemesin sih). Belakangan gue sadari, gemes adalah wujud lain cinta saat singgah di hati para umatnya.

Di sela-sela break dari kesibukan persiapan KKN di Bali, gue sempetin untuk mengenal dia lebih jauh. Toh, dia perhatian. Saat itu, rasa diperhatikan dan dibutuhkan adalah barang langka bagi para pengguna LDR. Langkah mengenalnya lebih jauh gue wujudkan dalam episode nonton berdua di bioskop.
Di depan mbak-mbak embem, gue hendak membeli tiket.

“Mbak, tiket TED-nya dua.”

Dari belakang, ada yang memegang pundak gue.

“Kamu ngapain?”

“Beli tiket? Lho, katanya kamu mau ke toilet?”

“Iya, udah kok.” Jawab dia sambil memamerkan dua tiket film.

“Lah, kamu kapan belinya?”

“Ada dehh..”

Gue mengernyit di depannya. Menatap tidak percaya.

Sore itu menjadi hal yang aneh buat cowok macem gue, yang kalau ke bioskop pasti beliin tiket buat gebetan.

Dua jam kemudian, “Waaa film-nya bagus yaa.”

“Iya bagus yaa.” Bales gue.

“Kamu laper nggak?” Tanya Anisha.

“Hmm, nggak.”

“Tapi kok  tadi popcorn aku kamu habisin juga di dalem?”

“Ngg.. oh itu? Tadi di dalem aku hilang ingatan. Hah?! Popcorn itu apa?! Aku di mana?! Kamu siapa?!”

Anisha tidak menjawab.

Begitu ingatan gue kembali, gue udah di suatu tempat, tempat makan favorit Anisha.

“Kamu pasti suka makanan di sini deh, Don.”

“Aku di manaaaa???! Tidaaakkkk??!!” Ingatan gue hilang lagi.

Anisha memegang pipi gue dengan kedua tangannya, “Doniihh, ini aku, Anisha. Kamu kenapa? Sadar dong ih.”

Gue memegang kedua telapak tangan Anisha, “Di dekatmu, aku selalu kehilangan kesadaran, Anisha..”

Perkataan barusan diakhiri dengan adegan pipi gue ditiyom-tiyom Anisha.

Oke, becanda. Sampai di mana tadi?

=====

“Wokh, enak yaa mie ramennya..”

“Iya enak kan?” Bales Anisha.

“Eh, pulang yuk, udah malem, nggak enak sama ibu kosan kamu.”

Anisha ngeliat jam tangan di tangan kirinya, “Iyaa, yuk udah malem.”

Naluri cowok mayoritas gue pun mencuat kembali. Gue mengangkat pantat dari kursi dan berjalan menuju kasir. Dompet gue buka, dan..

“Meja nomor 7 berapa, mas?” Anisha mendahului perkataan yang akan gue keluarkan di depan kasir.

Kasir pun menghitung menu makanan dan minuman yang kami pesan, “Enam puluh tiga ribu, mbak.”

“Tapi Nis?”

“Anggep aja ini karena kamu udah mau nemenin aku seharian.” Bales Anisha sambil tersenyum.

Gue peluk Anisha dan mau gue bawa pulang ke kamar kosan. Tapi gue urungkan.

“Yuk pulang.” Anisha mengajak pulang.

Gue masih terpaku di depan kasir. Apa yang terjadi barusan?

Setelah mengantarnya pulang, gue juga pulang. Ritual mencuci kaki, menanam jagung, dan menggosok gigi pun gue lakukan. Belum selesai mengeringkan muka dan rambut yang basah dengan handuk,  Anisha menelfon.

“Doniy, makasih ya buat hari ini.”

“Ummh, ini yang harusnya terimakasih kan aku.”

“Hehe, met malem yaa, bobok yaa. Daahh..”

“Tunggu Nish, tu..”

Tut. Tut. Tut.

Perempuan memang sulit dimengerti.



STORY 2

Gue kembali berangkat ke masa lalu. Ini adalah sebuah kisah yang memang sengaja nggak gue ceritain di “Kelas Kakap on Facebook”. Ya, ini tentang Hila.

Di perjalanan menggapai cinta via Facebook itu, diceritakan bahwa gue terlibat cinta segitiga antara Gaby dengan Hila, di mana Gaby dan Hila berdomisili di kota yang sama. Walau sulit memutuskan, akhirnya gue memilih Gaby. Hebatnya, pilihan itu gue ungkapkan via telepon. Hila yang berada di depan gagang telepon, menjawab gue dengan lirih namun merelakan.

Saat itu gue merasa bersalah banget.

Gue pun bergegas menuju kota cinta tersebut untuk menemui Gaby. Iya, tapi sebelum nemuin Gaby, gue berusaha ngajak ketemuan Hila. Gue tau, ajakan gue akan sangat mungkin ditolaknya.

Tapi tidak dengan Hila, dia menjawab iya.

Hila tau kalau gue nggak ngerti tempat di mana dia tinggal.  Hila pun meminta gue untuk ketemu langsung aja di suatu kafe, di mana anak Jakarta pasti akan mengerti. Daerah Kemang.

Hari ketemuan pun tiba, sore itu Hila udah datang duluan. Gue langsung bergegas ke sebuah meja, tempat dia sedang menatap layar hapenya. Sendirian.

“Hila?”

Hila menengok ke kanan, melihat seseorang yang sudah pernah melukainya. Mungkin.

“Downyy?”

“Iya, apa kabar? Udah lama ya?”

“Ohh, nggak kok, baru datang kok.”

Gue pun duduk, berhadap-hadapan dengan rasa bersalah.

“Hila.”

“Ya?”

“Jadi gini, maksud kedatanganku..”

“Eh, pisang bakar coklat kejunya udah datang, Don.” Hila memotong.

“Ini pesananmu?” gue mengklarifikasi.

“Bukan, ini buat kamu.”

“Aku kan belum mesen?”

“Iya, tapi dulu di telfon kan suka cerita kalau kamu punya obsesi menyimpang dengan pisang bakar.”

Gue diam.

“Kamu nggak inget, Don?” Tanya Hila lagi.

Gue masih diam dan meratapi pisang bakar tersebut.

“Don, kamu kenapa?” Hila memotong ratapan gue terhadap pisang bakar itu.

Gue mengangkat tatapan, “Kamu masih inget sama percakapan kita di telfon waktu itu?”

Hila mengangguk.

“Selain itu, kamu juga suka posesif sama Milk Shake coklat kan?” Hila menimpali.

“Tapi kan, waktu itu..”

“Eh, Milk Shake-nya udah datang, makasih ya mas.” Waiter datang dan meletakkan Milk shake coklat itu tepat di depan pisang bakar.

“Ini buat aku juga?” Gue mengernyit.

“Iyah. Hehe.”

Gue diam dan menunduk.

“Hila.. kamu nggak lagi pengin bikin aku galau kan?”

“Galau kenapa?”

“Bukannya ini semua tentang percakapan kita di telfon malam itu, saat  kamu nyamperin aku ke kota aku kuliah, lalu aku akan ngajak kamu ke suatu kafe, dan aku akan memesan pisang bakar coklat keju dan milk shake coklat.”

Hila diam.

“Tapi ini versi berbeda, kamu yang ajak aku ke kafe di kotamu, dan kamu akan memesan pisang bakar coklat keju dan milk shake coklat.” Gue meneruskan.

“Tapi kan tetep buat kamu.” Hila menjawab pelan.

Gue menatap Hila.

Hila membalasnya dengan senyuman.

“Hila, andai aku nggak pernah ketemu kamu, mungkin nggak akan sesakit ini.”

Hila tetap diam dengan senyumannya.

“Hila, kenapa juga kamu nanggepin aku chatting di facebook itu? Kenapa juga kamu accept friend request dari aku? Kenapa?!”

Hila tetap diam dengan senyumannya.

“Kenapa kamu suka pisang bakar coklat dan Milk Shake coklat, Don?” Hila menjawab.

Gue mengerutkan dahi, “Hmm.. Ngg.. Iya suka aja.”

“Tapi kan menu ini udah ada rasa coklatnya. Pisangnya berbalur coklat. Milk Shake-nya juga susu coklat. Kenapa masih suka walau ada dua rasa yang sama di satu mulut? Kenapa?!” Suara Hila makin tinggi.

“I-iya nggak tau, suka aja.”

“Sama kalau gitu.”

“Sama apanya?” Gue balik bertanya.

“Aku juga suka kamu; kangen dan sayang di hati yang cuma satu ini."

“Ke-kenapa bisa begitu?” gue heran.

“Ya nggak tau, suka aja.”

Sore itu gue makin menyesal kenapa gue harus ngajak ketemu Hila. Kejujuran memang menyakitkan. Beberapa kejujuran yang lain, bahkan sama sekali tidak ingin didengar. Kejujuran Hila adalah salah satu yang nggak ingin gue dengar.

Tidak ingin berlarut-larut pada kegalauan, gue mngalihkan topik dan membicarakan hal-hal sederhana dan ringan seperti IPK, misalnya. Hila yang berstatus mahasiswi-tsakeup-namun-disia-siakan-oleh-teman-chatting-facebook, pun juga ikut ketawa.

Setidaknya, mampu menyelamatkan sore itu.

“Don, nggak kerasa ya udah empat jam kita ngobrol di sini.”

“Iya, ya.”

“Kamu sama, nggak di facebook, nggak di dunia maya, kamu nyenengin.”

Gue pura-pura budeg.

“Yuk, pulang.” Gue mengalihkan pembicaraan.

Gue pun bergegas ke kasir, “Mbak meja yang ada cewek pakai baju biru, berapa?”

“Oh yang itu, mas? Udah dibayar sama mbak itu diawal.” Kata mamang-mamang kasir.

Gue langsung menengok ke belakang, melihat Hila.

Hila tersenyum, “Hehe, yuk pulang.”


Perempuan memang sulit dimengerti.


=====

“Anjrit, lu keren juga Don! Bisa bikin cewek sampai kayak gitu dengan tampang kayak gini?!” Aya kaget dan menyandarkan kembali badannya ke sofa.

“Hehe.” Gue cengengesan.

“Sumpah ya Don, itu cewek-cewek sayang sama kamu. Beneran.” Anin ikut menimpali.

“Gue malah nggak ngerti saat itu, Nin.”

“Terus, masih gantung itu si Anisha. Gimana akhirnya, jadian sama lo?” Tanya Aya.

“Nah itu dia, KKN-nya kan ke Bali, dan waktu itu gue juga lagi LDR-an juga.”

Anin minum Milk shake gue, “Ya terus? Yang LDR itu kamu putusin?”

Sambil merelakan Milk Shake gue ikut diminum Anin, “Lah, pacar gue kan di Bali dan gue KKN-nya juga  ke Bali. Sewaktu di Bali, dia nyamperin gue ke daerah KKN.”

“Oh, you were totally wasted, bro.” Aya geleng-geleng.

“Terus, Anisha ngeliat cewekmu nyamperin ke daerah KKN, dan dia cemburu?”

“Nggak ngerti juga sih, tapi KKN itu jadi kali terakhir pertemuan gue dengan Anisha, Nin.”

Anin minum Milk Shake gue lagi sampai habis.

“Kayaknya, si Anisha dan Hila itu memang sayang sama kamu saat pedekate di awal. Jadi waktu first date, mereka udah ngarep banyak sama kamu.” Lanjut Anin.

Gue yang sedih karena Milk Shake kedua dihabisin Anin, “Mungkin itu alasan kenapa sampai ada cewek yang mau bayarin cowok waktu kencan pertama kali ya?”

Anin mengangguk.

Aya melepas asap rokoknya kembali, “Jadi ada 2 alasan kenapa cewek mau bayarin cowok waktu kencan pertama kali: 1) Dia udah ngarep banyak sama lo. 2) Dia adalah tante-tante kaya, dan lo disewa sebagai cowok brondong.”


Tawa keras yang terjadi di tengah kami, jadi akhir obrolan absurd di kafe sore itu.




Share:

0 Komentar