Secangkir kopi yang mencari rasa pahitnya sendiri
“Mbak, saya pesan kopi, pisahkan pahitnya ya”,
pintaku pada pelayan ini.
“Hidup, tak boleh memilih rasa nyeri”, jawabnya,
menjauh pergi.
“Baiklah, satu cangkir saja, kopi tanpa gula,
agar pahitnya membuat luka makin dewasa”, jawabku, sambil menatap daftar
menu.
“Pesan saja kopi yang kamu mau, siapa tahu,
pada teguk terakhir kopimu; luka menemukan takdir yang ia mau”, pelayan
cafe itu menceramahiku.
“Seperti apa kau tahu tentang rasa sakitku,
apakah sebaik pengetahuanmu tentang rasa pahit kopiku?”, kataku, sambil
menghisap rokok kretekku.
“Minum saja kopimu, jangan kau habiskan
waktumu dengan bertanya padaku. Rasa pahit, dan juga rasa sakit, memiliki
deadline sendiri-sendiri”, katanya, malu-malu sambil menatapku.
“Terima kasih, Mbak, telah memberi rasa pahit
pada kopiku. Boleh minta nomor teleponmu, nanti kutelepon kalau aku sudah bisa
melupakan rasa sakitku”, pintaku, ragu-ragu.
“Tak perlu menghubungiku. Sebab, saat kau telah
melupakan rasa sakitmu, aku tak lagi menjadi pelayan di cafe ini”, jawabnya,
sendu.
Kutinggalkan cafe itu pelan-pelan, ada yang
menetes perlahan-lahan; mungkin rasa pahit, mungkin kesedihan. Kubaca sebuah
pesan pada bon yang baru saja aku bayarkan: “Selain Kopi, Tak Ada Lagi kekasih
yang Tak Menyakiti”.
Disadur from Bemz_Q
Tepuk tangan.
Tags:
Puisi Kacang
0 Komentar