My Best Regret 2: Atlet Gagal

Atlet Gagal

Sebelum menginjak jenjang kuliah, sebelum gagal menjadi dokter, gue juga menyimpan kegagalan dan memendam penyesalan yang tak kalah menyakitkan. Ini benar-benar menjadi penyesalan kedua yang terus menyayat hati jika gue kembali lagi ke masa lalu hanya untuk mengenangnya.

Gue terlahir ke dunia secara tidak biasa, dengan tidak normal. Tapi ini tidak seperti yang kamu bayangkan, gue tidak terlahir dengan sepasang mata menyala, dengan gigi dan lidah yang menjulur ke luar, kalian tidak bisa berpikir sepicik itu ke gue, gue tidak terlahir seperti jenglot yang ada di pikiran kalian.

Gue lahir dengan kondisi yang disebut prematur. Bayi pada umumnya lahir setelah sembilan lama dikandung badan oleh ibunya, sedangkan gue, belum sembilan bulan sudah keluar. Akhirnya berat badan gue tidak maksimal, kurang mantap, akselerasinya juga terasa kurang prima.

Selama mengenyam sekolah dasar, gue tergolong anak yang bertubuh mungil. Ibu gue khawatir kalau gue mengidap kretinisme, sebab tubuh gue sangat kecil jika dibandingkan dengan anak kecil di usia sepantaran. Gue seperti tanaman kangkung yang kurang diberi pupuk kompos. Gue bukan tipe anak kecil yang bisa makan banyak seperti anak-anak kelaparan pada umumnya. Gue nggak suka makan sayur, makan nasi pun sering nggak habis. Jalan-jalan sebentar pasti mabuk, bepergian naik mobil pasti muntah. Keluar-masuk rumah sakit adalah hal biasa yang memarnai kehidupan masa kecil gue.
Walau gue nggak suka makan sayur dan makannya sedikit, gue tergolong anak kecil yang rajin minum susu. Ya, gue lebih suka minum susu dan minum curcuma ketimbang makan makanan berat. Sehari bisa minum susu sampai 3-5 kali. Kebiasaan minum susu ini masih kuat terasa hingga gue menginjak bangku kuliah. Bahkan, kebiasaan minum susu ini juga gue bawa saat pacaran. Saat itu gue sadar bahwa gue nggak akan pernah bisa lepas dari susu. Yang berbeda hanya bentuk kemasan dan cita rasa susunya.

Lemah dalam kondisi dan fisik menyebabkan gue sangat inferior di pelajaran olahraga. Selama di sekolah dasar, gue selalu menjadi bahan tertawaan dan keisengan teman sekelas untuk pelajaran olahraga. Saat bermain bola, saat bermain kasti, saat bermain apapun yang mengharuskan gue berlari, melompat, dan berkeringat, gue selalu menjadi yang tersisih. Nggak ada yang mau milih gue untuk dijadikan rekan satu tim. Karena mereka tau, gue adalah beban dan akan membuat mereka kalah. Gue sering bermuram durja menatap teman-teman yang asik bermain bola dari pinggir lapangan, gue nggak pernah diajak main, gue sedih, harus bagaimana menjalani kehidupan yang dipenuhi fatamorgana ini Ya, Tuhan..

Dengan kemungilan yang gue punya saat itu, gue tetap berusaha optimis dalam menatap masa depan. Gue meneruskan ke jenjang SMP dengan percaya diri. Saat itu, di SMP gue kebetulan sedang demam-demamnya olahraga basket. Dan sekali lagi, ketika pelajaran olahraga dan ketika pulang sekolah, gue sebagai anak SMP kelas satu, cuma bisa melihat teman-teman gue men-dribble bola basket di sela-sela kaki mereka, melompat, dan melempar bola ke dalam keranjang.

Namun semua berubah ketika block yang dilakukan teman gue kepada lay up temannya, sukses menerbangkan bola basket ke muka gue. Kalimat,”Lo ngapain berdiri di deket ring, Don, main lah!” mengubah semuanya.

Ya, mengubah semuanya..

=====


Waktu terus bergulir, tiga tahun kemudian, gue bukan lagi anak mungil yang akan selalu menengadah ketika menatap dan berbicara dengan orang lain. Di kelas tiga SMP, gue sangat eye-catching ketika berdiri di antara teman-teman sekelas. Hanya ada beberapa teman lelaki di kelas yang mampu menatap gue sejajar tanpa harus menengadah. Ya, mereka adalah rival-rival abadi gue di lapangan, mereka yang akan menghentikan gue saat memasukan ke ring, mereka yang akan menghentikan gue saat me-rebound bola yang terpantul di ring. Ya, mereka adalah teman-teman ekskul basket gue yang mengharumkan nama sekolah di kompetisi-kompetisi basket antar SMP.

Kegemaran bermain basket yang gue punya membuat pertumbuhan tinggi badan gue melonjak secara drastis. Tiga tahun bermain basket, membuat tinggi badan gue yang tadinya sangat mungil, mungkin hanya 160, menjadi 178 cm. Dan gue tau, gue masih bisa tumbuh lebih tinggi lagi karena gue belum menghabisi masa pertumbuhan di tingkat SMA. Pertumbuhan tinggi badan gue yang tidak wajar saat itu, lagi-lagi membuat ibu gue khawatir. Ibu gue mengira gue mengidap penyakit gigantisme. Dari anak kecil yang bertubuh pendek dan kurus, menjadi tinggi dan besar. Jari-jari tangan gue pun mampu menggenggam bola basket tanpa terlepas dengan sekali genggaman. Yang lebih mengkhawatirkan adalah, saat SMA, sepatu gue sudah mencapai di size 45. Teman-teman sekolah gue dan warga sekitar sering memandangi kaki gue dengan tatapan penuh prasangka yang tidak-tidak, mungkin mereka berpikir kalau gue adalah manusia setengah Kaiju, atau Makhluk Tuhan Paling Godzilla.

Dengan kondisi fisik dan kemampuan bermain basket yang gue punya, gue akhirnya diterima menjadi center di skuad basket utama SMA gue. Semenjak itu, kerjaan gue hanya bermain basket dan bermain basket. Gue ke sekolah selalu membawa baju dobel, ya karena gue bermain basket pagi hari sebelum bel masuk, dan siang hari setelah bel pulang sekolah. Dari sana gue mulai meyakini, jika tidak jadi dokter, gue akan menjadi atlet basket professional.

Di kelas sebelas, tim basket SMA gue akan mengikuti Hexos Cup – sebuah kompetisi basket yang melibatkan SMA-SMA di Jakarta selatan. Dua bulan sebelum kompetisi, latihan pun menjadi semakin intense, semakin ketat. Gue bahkan sering pulang malam. Sampai di rumah sudah terlalu letih untuk belajar. Mungkin, kelas sebelas SMA adalah titik terendah nilai-nilai pelajaran gue di sekolah. Ya, karena memang jarang belajar. Tiap hari hanya main basket.

Tapi itu tidak bertahan lama, tiga minggu sebelum kompetisi dimulai, lagi-lagi terjadi suatu insiden yang mengubah hidup gue. Badan gue yang tinggi dan berat, membuat punggung  dan pinggang gue tidak cukup kuat untuk meredam lompatan-lompatan beserta manuver cepat yang seringkali gue lakukan di tiap latihan. Awalnya gue kira cuma encok – walau gue sering bertanya, mengapa anak muda seganteng dan sebelia ini bisa-bisanya kena encok.

Sialnya dugaan gue meleset, cedera yang gue alami tidaklah sesederhana encok atau cedera otot biasa. Tiga hari setelah insiden itu, rasa sakit di pinggang kiri gue mulai parah. Rasanya kesemutan hingga perih. Rasa sakitnya pun menjalar ke paha dan ke semua tungkai kaki kiri. Gue pun nyaris tidak mampu untuk berjalan secara normal, rasa kesemutan dan perih di sekujur kaki kiri membuat gue hampir menangis.

Minggu berikutnya, gue dilarikan ke rumah sakit. Ronsen dari sinar X biasa tidak mampu melihat apa yang terjadi di tulang punggung gue. Akhirnya, gue dicek menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Gue masuk di sebuah tabung besar dan mesin di dalam tabung itu memperlihatkan semua organ dalam beserta kerangka tubuh gue. Setelah hasilnya dianilisis, dokter memvonis gue menderita Herniated Nucleus Pulposus (HNP) – yang sederhananya adalah syaraf kejepit. Ya, ada syaraf gue kejepit di antara lumbal sacrum 4 dan 5 – ruas keempat dan kelima tulang pinggang bawah. Syarafnya berada di dalam bantalan atau spons antar ruas tulang punggung. Atau yang biasa disebut atlet luar negeri dengan, slipped disc – suatu kejadian di mana dua ruas tulang punggung saling bergesekan dan membuat bantalan antar tulang jadi mencuat keluar (hernia).

Rasanya kayak di penghujung kematian.

Seseorang yang tadinya bergerak sangat dinamis dan aktif, tiba-tiba nggak bisa gerak. Itu juga persis kayak orang yang lagi sayang-sayangnya sama pacar, terus diputusin tiba-tiba entah alasannya apa.

======

Gue pun hanya bisa pasrah ketika dokter melarang gue sementara untuk kembali ke lapangan basket. Gue harus melupakan basket dan kompetisi yang akan segera digelar. Begitu gue tanya solusinya, dokter menyarankan agar gue dioperasi. Tapi operasi yang ditawarkan pun akhirnya cuma dua, gue kembali ke lapangan basket, atau gue nggak akan pernah bisa kembali ke sana. Ibu gue nggak mau ambil resiko yang sangat besar, akhirnya gue dibawa ke chiropractic dan pengobatan alternatif.

Gue sempet nggak sekolah hampir sebulan lebih karena memang udah hampir nggak bisa menahan rasa sakit ketika kaki gue menapak dan mencoba menopang tubuh. Gue hanya bisa mengerjakan tugas dan ujian di rumah. Itupun dengan persetujuan dari pihak sekolah. Berbulan-bulan gue menjalani terapi dan pengobatan alternatif, dari yang herbal sampai yang mempunyai unsur magis.

Sampai di pertengahan kelas dua belas, setelah nyaris setahun gue bergelut dengan rasa sakit,  gue akhirnya bisa beraktivitas secara normal. Udah nggak ada rasa perih di sekujur kaki kiri. Itu pun tetap tidak mendapat restu bermain basket dari dokter.

Yang tadinya berangkat dari pinggir lapangan, akhirnya kembali ke pinggir lapangan. Gue hanya bisa menyaksikan teman-teman gue dari pinggir lapangan untuk kali yang kesekian. Sakit rasanya ketika melihat mereka bermain tanpa gue, sedang mereka selalu bermain bersama-sama dengan gue di dalam kepala.

Ya, lamunan panjang gue tentang euforia bermain bersama mereka di kejuaraan bergengsi, sekaligus menutup keinginan gue untuk kembali ke lapangan..

Di saat menjelang Ujian Akhir Nasional kelas tiga, salah satu teman basket gue di tim sekolah menepuk bahu gue dan berkata, ”Tenang Don, untuk bisa berprestasi lo nggak harus jadi atlet baskek kok, lo masih bisa jadi atlet yang lain, bahkan bisa lebih jago dari kemampuan bermain basket lo hari ini. So just keep your head held high, bro.”

Amazingly touch my heart.


=====

Saat sudah di bangku kuliah, gue sebenarnya masih menyimpan asa untuk kembali ke lapangan. Itu gue buktikan ketika ikut Basketball Cup yang digelar oleh Fakultas lain. Gue mewakili kampus gue untuk berlaga di sana. Namun, setelah satu pertandingan bermain, malamnya, pinggang gue kembali pegal-pegal. Jika gue teruskan, pasti akan bikin kaki gue perih dan kesemutan lagi. Nampaknya, badan gue masih terlalu berat untuk ditopang oleh pinggang dan punggung gue untuk olahraga ini.

Jadi dokter udah gagal.

Jadi atlet basket pun, gagal.

Tapi tak mengapa, mungkin gue masih bisa kembali bermain basket di kehidupan selanjutnya.

Mungkin..



Share:

1 Komentar