My Best Regret: Dokter Gagal
Ada
satu hari di pertengahan Februari kemarin, yang menjadi momen krusial buat gue.
Ya, gue hadir di sebuah acara besar yang dihadiri banyak mahasiswa dan
mahasiswi, yang kompak memakai setelan hitam-hitam. Ya, setelan hitam-hitam
dengan topi khas orang wisuda yang apabila setelah selesai dipakai akan mereka
lempar tinggi-tinggi ke angkasa. Gue sudah siap dengan kamera yang telah
disiapkan seorang teman gue, ketika ia melompat dan melempar toganya ke
angkasa, bidikan kamera gue tepat membuatnya terlevitasi. Ya, dia adalah seorang teman gue yang telah diwisuda dari Fakultas Kedokteran.
Ya,
sudah entah ke berapa kali, gue menjadi tukang potret wisuda temen sendiri. Kepedihan
gue belum sampai di situ, gue juga bertemu dengan teman yang lain, dan kembali
diminta untuk memotretnya. Sayangnya, dia adalah junior gue di kampus. Dia satu
angkatan lebih muda.
Hati
ini remuk redam.
Buat
gue saat itu, acara wisuda yang memakai setelan hitam-hitam lebih mirip ke
acara pemakaman. Ketika acara pemakaman, semua orang pasti sedih atas kepergian
orang yang dicintai. Yang bisa mereka lakukan adalah mengikhlaskan dan
mendoakan agar sang almarhum bisa bahagia di afterlife.
Begitu
juga dengan gue saat itu, yang gue hanya bisa lakukan adalah mengucapkan
selamat serta mendoakan agar teman-teman gue bisa sukses di dunia yang
sebenarnya. Senyuman dan rasa bangga yang gue sematkan di tiap toga yang
dikenakan teman-teman gue itu, selalu diikuti dengan rasa sedih setelahnya.
Rasanya campur aduk, antara kapan gue menyusul mereka, dengan ketidakrelaan gue
ditinggal teman-teman seperjuangan.
Di
tengah-tengah euforia mereka, gue tertawa sambil menyembunyikan rasa sepi,
penyesalan-penyesalan gue di hari kemarin seperti terputar kembali satu per
satu. Kalimat, “Andai saja gue bisa kembali ke masa silam dan mengubah cerita.”
– sebuah kalimat yang sungguh delusional, kembali muncul dan membuat gue
terdiam sebentar.
=====
Dokter Gagal
Ibu
gue adalah seseorang yang bekerja di bidang medis. Karena di masa silam nenek
gue tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan ibu gue di sekolah kedokteran,
akhirnya ibu gue mendarat di sekolah kebidanan. Sejak SD, gue sudah suka dengan
yang namanya pelajaran IPA terutama Biologi. Dan semenjak itulah, ketika masuk
ke jenjang SMP, gue berniat mewujudkan keinginan terbesar ibu gue – dengan
menjadi dokter. Jika ibu gue saat itu nggak bisa menjadi dokter, maka gue yang
akan menggantikannya.
Semenjak
SMP, buku-buku kedokteran seperti tentang anatomi, fisiologi, dan kerangka
manusia menjadi hal yang biasa buat gue. Sobota adalah salah satunya. Karena
ibu gue belajar tentang kebidanan, Ginekologi dan organ-organ genitalia pun
menjadi hal yang akrab buat gue. Dari Tuba
falopii, sampai terjadinya proses kehamilan, menjadi makanan gue
sehari-hari.
Teori
sudah kuat, tinggal prakteknya.
#lho
Kebiasaan
membaca buku-buku kedokteran yang tebalnya bisa digunakan untuk membunuh seekor
dugong dengan sekali lemparan, membuat gue terlihat superior di hadapan
teman-teman sekolah saat pelajaran Biologi. Di saat gue ngomongin teknik ekstraksi cunam, nggak ada satupun temen gue yang ngerti. Karena ya
nggak mungkin ada cewek SMP di sekolah gue yang bakal melahirkan di pelajaran
Biologi saat itu. Waktu SMP, nilai biologi terjelek gue adalah 93. Itulah
momen-momen menyedihkan yang gue ingat saat belajar biologi di tingkat SMP.
Kelebihan
gue dalam pelajaran Biologi pun semakin meningkat di jenjang SMA. Selain
mewakili sekolah gue untuk OSN (Olimpiade Sains Nasional) Biologi se-Jakarta,
yang pada akhirnya kalah karena gue bangun kesiangan dan nggak ngerjain
beberapa soal mudah, damn it, gue
juga menjadi satu-satunya siswa jurusan IPA di sekolah gue yang berhasil
mendaratkan angka 97 di raport untuk pelajaran Biologi.
Setelah
sukses merajai pelajaran biologi tiga tahun berturut-turut, dengan rambut tegak
berdiri menantang, tatapan tegas, dan kepercayaan diri yang tiada cela, gue mantap
melangkahkan kaki ke SNMPTN. Dan seperti yang sudah kalian duga, gue bakal
milih jurusan Fisipol.
Ya,
nggaklah.
Gimana sih..
Ya,
gue mantap untuk menuju fakultas kedokteran di salah satu dari tiga besar
perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Di tahun itu, gue mengikuti 5 macam seringan
masuk di PTN. Kalau tidak diterima di nomor satu PTN terbaik Indonesia,
setidaknya gue masih bisa mendarat di nomor dua dan tiga.
Prinsip
gue hanya satu, yaitu menjadi dokter adalah harga mati. Lebih baik menjadi
dokter daripada menyerah pada kemunafikan. Gue tak mampu membayangkan bagaimana
caranya menjalani masa muda tanpa sekolah di kedokteran, pasti sangat menyedihkan
sekali. Jika tidak diterima di kedokteran, kemungkinan paling besar, gue hanya
akan menjadi cowok ganteng pada umumnya.
Ini
tidak boleh terjadi.
Tidak
boleh..
Tiga
dari lima saringan masuk yang gue ikuti sudah memberikan hasil. Ada yang
diumumkan lewat harian pagi di koran, ada yang lewat situs universitas, dan ada
yang langsung di-SMS ke hape peserta ujian. Kebetulan, hasil USM (Ujian
Saringan Masuk) di univ A sudah keluar, kepastian gue diterima atau nggak
diumumkan lewat SMS tepat pukul 7 pagi.
Setelah
minum susu dan curcuma plus, gue beranikan membuka SMS yang masuk itu. Nomor di
pesan itu terlihat sangat asing, seperti di-sms melalui komputer atau sistem,
bukan nomor-nomor provider pada umumnya,
Gue
klik pesan tersebut, degup jantung yang cepat mulai membahana di seisi ruangan
kepala gue.
SELAMAT,
Sebuah
kata yang sangat mengharukan, sebuah kata yang sangat tepat untuk menjawab
sebuah pengharapan dan penantian.
Gue
coba turunkan lagi pesan itu ke arah bawah untuk melihat isi keseluruhan SMS,
SELAMAT,
SELAMAT MENCOBA LAGI DI KESEMPATAN
BERIKUTNYA,
JALAN MASIH PANJANG
JANGAN MENYERAH,
TERIMA KASIH TELAH MENGIKUTI USM
UNIVERSITAS A.
Gue
terdiam sebentar, tak lama kemudian gue terjerembab ke lantai. Menatap ke
langit-langit kamar, bertanya-tanya di kepala, mengapa gue tidak terlahir
dengan otak yang pandai.
Akhirnya,
di pengumuman hasil ujian masuk universitas lainnya, gue juga ditolak masuk
kedokteran. Nilai ujian gue nggak pernah nyentuh passing grade Fakultas Kedokteran di tiga besar PTN di Indonesia.
Gue sadar, untuk bisa kuliah di kedokteran haruslah pintar. Tidak hanya sekedar
pintar Biologi dan Kimia. Tapi juga harus pintar Matematika dan Fisika.
Kedokteran
yang erat dengan basic Biologi dan Kimia, di mana dua bidang itu sangat gue
kuasai, namun kenyataannya gue malah gagal karena kurangnya kemampuan gue di bidang Matematika dan Fisika. Jadi, gue nggak bisa jadi dokter karena nggak
jago Matematik dan Fisika. Walau gue gagal di ujian masuk, sampai sekarang gue
masih percaya kalau gue akan sangat kompeten ketika sudah kuliah di sana.
Ini
persis kayak nasib seorang lelaki yang mau bekerja keras, mau belajar untuk
merancang masa depan yang mapan, namun ia ditolak dan dibuang oleh perempuan yang
dicintainya karena satu hal: ia belum mapan di awal. Perempuan itu hanya ingin
menerima lelaki itu dengan kesempurnaan sejak dari awal. Perempuan itu nggak menilai kemauan
lelaki itu untuk bekerja keras membangun masa depan yang cerahh.
Persis
kayak Fakultas Kedokteran yang membuang gue cuma karena gue nggak begitu jago
Matematika dan Fisika. Fakultas Kedokteran nggak melihat kemampuan Biologi dan
Kimia yang gue punya.
Akhirnya,
sekarang gue kuliah di jurusan yang nggak gue suka, yang gue pilih sebagai
pelarian. Kalau gue nggak bisa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas terbaik
di Indonesia, gue akan milih jurusan lain. Yang penting masih di Universitas
itu. Sekarang, gue sadar, keputusan gue salah besar.
Jangankan
jadi dokter, mengambil keputusan aja gue gagal..
=====
Butuh
waktu yang tidak sebentar untuk mengobati luka di hati ini. Sampai semester
tiga, gue masih nggak rela kuliah di jurusan selain kedokteran. Tapi di sudut
pandang yang lain, gue mengakui ketidakmampuan gue. Gue sadar dan menerima,
sebab menerima adalah pekerjaan besar, karena harus berhadapan dengan ilmu
tertinggi di hidup ini, ikhlas.
Mungkin
benar, gagal hanyalah caraku menamai apa yang sesuai dengan kehendak-Nya, namun
tak sesuai dengan kehendakku.
Tags:
The Playboy Stories
5 Komentar
Setelah baca baca tulisan kamu, gak perlu jadiin gagal jadi dokter jadi penyesalan yang bikin nge-down ya, Don. Mimpi jadi dokter gak kewujud, itu berarti saatnya mewujudkan mimpi kamu yang lainnya! Selamat bermimpi ini itu dan mewujudkannya, Don.
BalasHapusCerita nya mirip sama ane. Gagal masuk FK,jadinya masuk jurusan lain. Bahkan setelah tamat S1 ane nyoba lagi tes di univ swasta, tp gagal jg gak nyampe passing grade. Nyesel si, coba pas awal2 jd maba dulu ikut tes lagi karna kan masih fresh pelajaran SMA nya. Tp gimana lagi, harus ikhlas. Mungkin bukan jalan yg terbaik masuk FK, temen ane sempet bilang "ya uda, nanti anak lo aja yg jd dokter".
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspersis seperti yang saya rasakan dan saya alami...
BalasHapusGw kebalik bro,
BalasHapusPas SMA gw masih bingung ama passion gw, tapi karena arahan dari orang tua, maka masuklah gw di kedokteran.
Setelah gw semester 4 di kedokteran, gw baru nyadar bahwa kedokteran bukan passion gw. Nilai gw ancur karena udah gak ada semangat lagi buat kuliah kedokteran. Rasanya pengen banget gw keluar dari kedokteran waktu itu.
Tapi ya mau gimana lagi, gw udah terlanjur basah, mau keluar kayanya bukan solusi yang tepat. Akhirnya mau gak mau gw lanjutin sekolah kedokteran gw sampe lulus.
Sekarang gw udah lulus jadi dokter. Gw malahan ngiri sama temen temen gw yang nggak kuliah di kedokteran. Gw umur 26 tahun baru bisa lulus jadi dokter, sedangkan temen temen gw, umur 26 tahun mereka udah pada lulus S2, udah ada yang bisa beli mobil, udah bisa biayain hidup mereka sendiri, dll.
Kayaknya pepatah "Rumput tetangga kelihatan lebih hijau" itu emang bener sih. Orang orang kebanyakan cuman melihat profesi dokter itu dari luarnya aja, tapi sebenernya gak seindah ala yang orang kira
Trust me