I'm Friendzoned and I know it - chapter 9





Benih-benih kita disemai di ladang sajaknya, kelak cinta yang kan kita tuai sebagai jerihnya.




Hujan kemarin, di mana kami berdua  berlari menghindari hujan di bawah jaketku, juga rintik hujan yang menetes dari bibirnya kemudian jatuh di bibirku, memaksaku  kasmaran untuk kesekian kalinya. Ia seperti banyak di dalam aku. Satu di hati, sisanya berlari-larian di kepala.

Kemudian Malaikat datang, hendak menanyakan kabar. Ia bingung bagaimana menasehati aku yang tengah jatuh cinta. Baginya, satu-satunya hal paling sia-sia di muka bumi adalah menasehati orang yang tengah jatuh cinta. Lalu ia meninggalkanku, biar perih dan patah yang akan mengingatkanku. Begitu katanya.

Esoknya, ia menyuruh teman seperjuangannya, Malaikat Pencabut Nyawa, untuk datang menemuiku. Setelah menemuiku, Ia juga bingung harus bagaimana mencabut nyawa seseorang yang tengah kasmaran. Menurutnya, satu-satunya hal paling sia-sia di muka bumi ini adalah mencabut nyawa seseorang yang tengah kasmaran. Lalu ia meninggalkanku begitu saja, mengira aku akan mati kasmaran.

Bagiku, jika cinta tak harus memiliki, setidaknya aku sempat untuk mengakui. Pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban yang juga tak kalah besar, bertabrakan di kepalaku. Apakah ini waktu yang tepat untuk mengaku jika aku mencintainya di segala jerih dan payah, di tengah rasa perih juga rasa goyah?

Kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya? Setelah hujan ini reda karena minder melihat hujan yang turun dari matamu lebih deras dari segala hujan yang pernah ditumpahkan langit? Sebelum tanah menjadi gersang dan retak karena terlalu banyak dijanjikan harapan oleh langit? Saat matahari memilih untuk terbenam saat senja karena enggan bersaing dengan cahaya dari senyumanmu di malam harinya? Apa setelah kita saling kangen, sesaat setelah kita berpisah? Kenangan banyak mengajarkan padaku. Katanya, tiada waktu yang paling tepat selain hari ini.


“Halo Nia, kamu di mana sekarang?!”

“Di rumah Don, ada apa?”

“Keluarlah dari sana sekarang, ada aku di halaman, temui aku di sana.”

“Jam segini? Ada apa gerangan? Ini sudah larut, malam sudah pekat, kantuk sudah melekat.”

“Iya, beranjaklah dari tempatmu berbaring. Sambutlah aku.”

“Tu-tunggu, aku siap-siap dulu.”

“Siap-siap untuk apa? Siap-siap untuk memberikan jawaban termanis untukku?

Pintu rumahnya ia buka pelan. Ia melangkah begitu perlahan. Takut-takut ada yang terbangun dari tidur panjang dalam kenangan. Sembari berjalan ke arahku, ia menguncir rambutnya. Sayapnya pun ia rentangkan kembali. Kini, hanya ada aku dan dirinya dipisah jeruji pagar halaman. Aku mendekatkan diriku sedekat mungkin dengan jeruji pagar halamannya.

“Downy, apa yang membuatmu kemari? Ini sudah larut malam, lelah mereka telah larut dalam pelukan ranjangnya.”

“Nia, mendekatlah.”

Nia membuka gembok pagarnya, pelan. Takut-takut ada yang terbuka selain gembok pagarnya. Entah bajunya, entah hatinya.

“Apa, downy?”

Sudah tak ada lagi tembok penghalang yang menghalangi pandanganku ke tubuhnya, juga senyumnya.  Aku sedang berhadap-hadapan dengan kebahagiaan. Aku memegang kedua tangannya.


“Nia, ini saat yang tepat.  Jika kau terus aku pendam, hatiku yang akan remuk redam.”

Nia tertegun.

“Downy, tanganku ada di dalam tanganmu. Maksudnya apaa?”

“Nia, percayakah bahwa tak ada sesuatu yang tercipta kebetulan di dunia ini?”

“Hmm, mungkin.”

“Nia, percayakah bahwa pertemuan kita sore itu juga bukan kebetulan.”

“Hmm, sepertinya iya, bukan kebetulan.”

“Nia, percayakah bahwa senyum-senyum yang kita jual-belikan via tatapan juga bukan kebetulan?”

“Hmm, sepertinya bukan.”

“Nia, percayakah bahwa setelah kata “Goodbye” akan selalu ada kata “Hello” menyertainya?”

“Iya.”

“Nia, aku adalah ia yang bertemu denganmu sore itu, aku adalah ia yang bertukar senyum dan pandang denganmu, aku adalah kata “Hello” yang datang untuk menggantikan kata “Goodbye” untukmu.”


“Iya, itu kamu.”


“Nia, percayakah bahwa aku telah jatuh cinta padamu?



.....



“Nia..?”

“Nia..?”

“Niaa..??”




.....


“Don, ayo angkat dumble-nya, jangan melamun saja!”
Sani menepuk bahuku, keras. Membangunkanku dari lamunan panjang.

Sial.








To be continue.

From Don Juan







Share:

2 Komentar

  1. sial.. ternyata mimpi don? aku sudah larut dalam cerita padahal.. aku tunggu kelanjutannya, semoga segera

    BalasHapus
  2. Ini mana kelanjutan nya don nungguin lama banget

    BalasHapus