“Bol,
dia bawa cewek lagi tu. Nggak mau liat?”
“Ah,
yang benar kau Ndra? Mana-mana?” Jawab Bolu.
“Yoi
bro, seperti biasa, dia di depan pager kosan.”
======
“Aya,
aku sayang kamu. Kamu jadi pacarku sekarang. Deal?”
“What?! Kita baru kenal satu minggu!
Apaan deh..”
“Tapi
Ay, cinta kan nggak kenal durasi.”
“Aku
udah punya pacar. Kamu ngerti itu, kan?”
“Ta-tapi,
dia nggak sayang sama kamu, Ay.” Gue berusaha meyakinkan Aya.
“Kamu
tau apa emangnya soal dia!? Kamu nggak tau!!” Aya marah-marah.
“Aku
memahamimu, kamu malah memahaminya. Tapi kamu tak memahami jika dia tak pernah
memahamimu.”
“UDAH,
CUKUP!! CUKUP!! AKU MAU PULANG SEKARANG!!”
“Aya,
tunggu! Tunggu dulu!”
BRAK!!
Aya
membanting pintu mobilnya di depan pagar kosan gue. Beberapa detik kemudian,
mobil merahnya hilang di persimpangan. Begitulah lika-liku tentang mengutarakan
rasa. Nembak kecepetan, ditolak. Nembak kelamaan, friendzone. Intinya, ujung-ujungnya gue tetep ditolak. Udah nebeng
di mobilnya, udah nembak, dan.. ya tetep ditolak.
Lengkap
sudah kekampretan gue hari itu.
Untung
gue nggak nembak Aya di jalan, kalau iya, pasti gue udah disuruh turun di sana.
Salah satu teman gue, Sobirin, mengatakan, satu-satunya orang yang nggak akan
nurunin kita dari mobil kalau lagi berantem adalah supir angkot.
“Kalaupun
diturunin dari mobil, itu juga karena dioper, Don.” Kata-kata Sobirin, kembali
terlintas di kepala.
Tiba-tiba
dari dalam, Bolu dan Andra datang menghampiri.
“Kau
gila juga ya, dek?”
“Eh,
bang Bolu.” Bales gue.
“Sebulan
ini kau sudah nembak sembilan cewek, dek.”
“Dan
itu ditolak semua.” Andra ikut nimpalin.
“Kampret
lo, Ndra.” Gue ketus.
“Sabar,
dek. Cinta emang ndak memberikan kau banyak pilihan. Jika kau ndak bisa
memiliki dia seutuhnya, mungkin kau akan kehilangan dia separuhnya.” Kata Bolu
sambil memberikan gue puk-puk.
“Ah,
bang Boluu.” Gue terharu.
“Dan
kali ini lo nggak kehilangan separuh lagi namanya, lo udah kehilangan semuanya,
Don.” Andra nimpalin lagi.
“Sial
lo, ndra. Kasih gue semangat kek.” Gue emosi.
“Udah-udah,
kita naik ke atas dulu lah, dek. Cari angin segar.” Bang Bolu menimpali lagi.
Di
kosan gue ini, di lantai dua, ada beranda yang menghadap ke arah luar. Angin
sepoi-sepoi dan pemandangan sore udah gue anggap teman seperjuangan yang sering
menemani di kala pahit dan pahit kehidupan mahasiswa rantau. Jauh dari rumah,
dan tentu saja jauh dari kekasih. Sembari memandangi langit dan mengepuskan
asap rokoknya, bang Bolu kembali bertanya.
“Dek,
kau ngotot kali pengin punya pacar. Sampai segitunya?”
“Iya,
aku pengin punya pacar kayak bang Bolu.” Gue menatapnya nanar.
“Don,
lo cari pacar buat gaya-gayaan apa buat status? Lo nggak bisa kalau kek gini
caranya.”
“Ah,
betul itu apa kata Andra.” Tukas Bolu.
“Aku
capek sendiri terus di sini, Bang.” Gue menatap berkaca-kaca.
“Kau
nggak sendiri lah, dek. Ada abang ni, ada Andra juga.”
“Tapi
kalian punya pacar, aku nggak.” Bales gue dengan tatapan kosong.
“Don,
lo cowok macem apa ditolak sembilan kali aja udah nge-down.” Andra nimpalin untuk kesekian kalinya.
“Apaan
sih ndra, lo dari tadi ngapain juga manggil gue Don?!”
“Bol,
teman kita ini Don Juan, lihat aja apa yang dia udah lakuin selama ini. Yakan?”
“Ah,
betul! Pergi pagi dan pulang menjelang pagi demi mengejar cinta! Don Juan kali
kau, dek!!” Teriak Bolu antusias.”
.....
“KAMPRETTT
LO, NDRAA!!! GUE BUKAN GERMO!!” Teriak gue histeris.
....
Kemudian
ada hening yang panjang di antara percakapan kami barusan. Gue yang wawasannya
tergolong selangkah lebih di belakang, mengira bahwa Don Juan adalah semacam
germo yang beroperasi di daerah Spanyol dan sekitarnya. Kerjaannya
menjual-belikan perempuan kepada lelaki-lelaki yang sedang trial and error dalam urusan bertanggung jawab, kemudian hasil penjualannya digunakan untuk membayar
SPP, dan sisanya disedekahkan untuk orang-orang yang membutuhkan. Biar germo,
tapi tetap amanah..
Keren
ya.
Gara-gara
mereka, banyak orang juga ikut-ikutan memanggil gue dengan sapaan germo Spanyol
yang tetap amanah itu. Teman di kosan, di kampus, abang-abang burjo, uda-uda warung
nasi padang, semuanya manggil gue dengan itu. Gue cuma bisa pasrah ketika dimintai
keterangan atas musibah berkepanjangan yang melanda hidup gue ini. Pernah
ketika di lorong kampus, gue papasan sama adik angkatan. Cewek, lumayan cakep
sih.
“Kak
Don, kosnya di mana? Nanti sore aku mau balikin buku.”
“APAHH!?!
DON KATAMU?!? AKU BUKAN GERRR.. ah sudahlah. Oh, gapapa, balikin besok aja
boleh kok.”
“Kakak
keren ya, dipanggil Don Juan gitu pasti karena tau banget cara memperlakukan
wanita, ya?”
“GIMANA
NGGAK JAGO SOAL WANITA, LHA MEREKA AJA GUE JUAL-BELIKAN. GUE KAN GERMO.” Gue
ngebatin.
“Ah,
nggak kok. Kamu tau dari mana soal itu?” Gue kembali bertanya padanya.
“Google.”
“Emang
Don Juan itu apa?” Tanya gue lagi.
“Dia
itu semacem cowok yang mati-matian gitu deh memperjuangkan cintanya ke
perempuan yang disukai. Biasanya sih ganteng,.” Jawabnya sembari merapikan poni.
“APAHH?
COBA ULANGI LAGI KALIMAT TERAKHIRNYA?!!” Gue memotong dengan antusias.
“Biasanya
sih ganteng.” Dia sekali lagi mengulangnya.
“APAHHHH?!?
MASA?!" Gue menatapnya antusias.
“Iya,
makanya aku heran, kakak kan nggak ganteng, kok dipanggil Don Juan ya?”
Gue
menatapnya tidak percaya, “UDAH, SEKARANG KAMU PULANG!! AMBIL BUKU AKU
SEKARANG. IYA SEKARANG!!”
=====
Mungkin
bagi sebagian orang, masalah cinta adalah masalah kehidupan. Tapi nggak gitu
jadinya buat gue. Buat gue masalah cinta adalah masalah jati diri. Waktu gue
kecil sampe menuju besar, kisah gue cuma bisa kandas di persimpangan jalan.
Sebagai cowok, gue resah. Apa jangan-jangan kisah ini akan berlanjut sampe gue
gede?
Buat
gue, cowok itu harus mengejar hasratnya, tujuan hidupnya, dan jika memang
harus, juga mengejar jodohnya. Kata mas Eross Chandra, yang menuliskan lirik
lagu ‘Untuk Perempuan’, di situ ada bait yang bikin gue selalu
terngiang-ngiang,
Jangan mengejarku
dan jangan mencariku
Aku yang kan menemukanmu
Kau mekar di hatiku,
di hari yang tepat..
Cowok
yang kayak gitu termasuk ke dalam spesies gentle.
Ya, masuk akal memang, cewek yang berani mengungkap perasaannya duluan itu bisa
dihitung jari. Namun, prinsip itu mulai goyah ketika gue ngeliat beberapa temen
gue begitu mudahnya digandrungi oleh lawan jenisnya. Jika dengan begitu
mudahnya ia digandrungi wanita, perihal mengejar jodoh pastilah bakal jauh
lebih mudah. Hal ini nggak lantas mengubah prinsip awal gue tentang mengejar
jodoh, tapi memperluas prinsip.
Makin
ke sini gue makin menyadari kalau gue harus bangkit. Kisah-kisah gue di masa
lalu harus tutup buku. Harus buka lembaran baru. Jika gue selalu kesulitan
untuk mendapatkan sesuatu yang gue inginkan, gue nggak bisa terus menyalahkan
keadaan. Yang bisa gue lakukan sekarang adalah mengubah sudut pandang gue
terhadap sesuatu.
Kalau gue yang nulis, pasti judulnya jadi: "The Lost Girlfriend of Don Juan". |
Setelah
membaca postingan dan sedikit menonton cuplikan film Don Juan yang diperankan oleh Johny Depp, gue agak-agak
minder juga. Sapaan sarcastic Don Juan yang sudah terlanjur melekat di gue, berbeda jauh
dengan Don Juan yang ada di film dan di postingan-postingan. Gue liat-liat, Don
Juan ini memang digandrungi banyak perempuan. Sapaan teman-teman kosan gue itu
seperti terdegar sarkasme jika
dibandingkan dengan gue yang mohon maaf,
nggak punya pacar.
Don
Juan termasuk ke dalam famili cowok yang menyakiti,
namun berbeda genus dengan playboy. Bedanya, playboy adalah cowok yang hobi
gonta-ganti pacar, mendua adalah spesialisasinya. Sedangkan Don Juan adalah
yang handal menaklukan perempuan, entah untuk apa tujuannya, pokoknya dia harus
mendapatkan perempuan itu. Nah, menaklukan perempuan. Itu keywords-nya.
Ngomong-ngomong
tentang menaklukan, gue jadi
flashback masa silam, tentang bagaimana menaklukan hati perempuan, dan berusaha
untuk memacarinya.
Pertama.
Dulu
gue pernah kenal sama cewek yang sebut saja Yosephine. Begitu melihatnya, hati
gue langsung dirundung kekalutan. Bagaimana tidak, cewek macem dia bisa duduk
sendiri tanpa kepastian di bawah pohon seperti ini. Nampaknya dia sedang
duduk-duduk menikmati kerindangan pohon. Tanpa berpikir panjang kali lebar kali
tinggi dan tanpa disengaja gue telah menjabarkan rumus luas balok, gue langsung
mendekatinya.
“Emm,
permisi, kamu lagi duduk di bawah pohon ya?”
“Iya,
habisnya cuacanya panas banget, berteduh disini agak sejuk jadinya. Emangnya
kenapa?”
“Emm,
kalau pohonnya bisa ngomong, pohonnya juga mau berteduh loh.”
“Loh,
kok gitu??” Dia menatap gue sambil mengernyitkan dahinya.
“Dia
mau berteduh di hatimu, terik matahari masih kalah panas ketimbang senyu.....”
Belum
selesai gue nerusin pujian ini, dia udah nggak ada di depan gue. Entahlah, dia
mungkin keturunan Hokage keempat yang bisa teleport
secepat itu.
Rasanya
sepi, kayak dugong terdampar di tepi pantai.
Kedua.
Dulu
waktu SMA, gue sempet les bimbel. Maklum, nilai-nilai yang udah gue raih tak
kunjung memberikan kepastian untuk bisa meneruskan ke jenjang berikutnya. Satu
kelas isinya cuma sembilan orang, ini bener-bener private party. Dari Sembilan orang itu ada satu cewek yang namanya
gue samarkan menjadi Shandy. Dia ini pinter banget pelajaran matematika. Saking
pinternya, gue sempat mengira dia guru matematika yang menyamar menjadi siswi
SMA yang imut dan menggemaskan. What a
disguise!
Berkebalikan
dari dia, gue bener-bener nggak ngerti pelajaran matematika. Saking nggak
ngertinya, gue pernah dicurigai sebagai siswa SMA biasa yang menyamar menjadi
siswa SMA peserta bimbel.
Oke,
itu nggak ngaruh.
Katanya, cinta itu mengangkat yang berkekurangan dan meninggikan yang
sudah berlebih. Semenjak kenal sama Shandy, gue merasa terangkat derajatnya.
Bagaimana tidak, setiap gue nggak ngerti matematika, dia selalu mau ngajarin.
Dan hebatnya, gue selalu nggak ngerti. Ini seperti simbiosis friendzonisme. Yang satu minta diajarin
matematika karena ada modus tertentu, yang satu lagi ngajarin matematika karena
merasa teman dan tentunya dilandasi rasa kasihan.
Makin
hari gue makin akrab dengannya. Ternyata, keterbelakangan mental matematika gue
dan keberlimpahan ilmu matematikanya membawa kami ke sebuah cerita..
Cerita
yang mengenaskan.
Di
akhir pertemuan dia bilang kayak gini,
“Don, kamu membangun rumus matematika gampang
kayak gini aja kesulitan, apalagi membangun hubungan cinta sama aku!!”
“Aku
emang nggak bisa mati-matika cinta! Aku bisanya mati-matian cinta kamu!”
Namun,
kalimat penuh harapan yang barusan gue lontarkan belum mampu mengubah alur
cerita. Belum selesai gue berusaha menyelamatkan kekalutan hubungan ini, dia
udah hilang dari pandangan gue.
Rasanya
sepi, kayak gajah laut terdampar di bibir pantai.
Ketiga.
Nah,
di kelas tiga SMA, gue dipertemukan dengan cewek yang juga tidak kalah membuat
tatapan ini menjadi berkaca-kaca. Sibakan rambut panjangnya, dua lesung
pipinya, bulir keringat di dahinya, dan saat dia menyekanya ketika pelajaran
penjaskes, begitu meneduhkan hati yang kian gersang disiram terik matahari.
Setelah
bermeditasi, gue sepakat untuk menyamarkan namanya. Sebut saja Diah. Dia adalah
cewek yang riang dan cepat akrab, nggak sulit untuk mendekatinya. Kami pun dari
hari ke hari semakin dekat. Bahkan, ketika bumi berputar, genggaman kami tak
terlepaskan. Bahkan ketika guru diharuskan kencing berdiri, lalu muridnya
dihukum gara-gara ketahuan kencing berlari, dan walau semua ini nampaknya tak
akan mungkin terjadi, juga tetap tak mampu mempengaruhi hubungan kami.
Dan
bahkan ketika akhirnya gue sadari kalau dia menganggap gue garing dan terlalu
optimis untuk bisa bisa memacarinya.
Belum
gue sempat melontarkan sepatah dua patah kata, dia udah ngilang dari pandangan
gue.
OKE,
NGILANG AJA TERUS. NGILANG AJA. HIH.
Rasanya
sepi, kayak dugong dan gajah laut bersama-sama memutuskan untuk terdampar di
pesisir pantai.
Ternyata,
jangankan untuk menaklukan, baru sampai di level mendekati saja, gue udah nggak
qualified.
=====
Setelah
flashback beberapa recent history, gue sadar bahwa cinta
tak sekedar menaklukan, tapi juga bagaimana cara memenangkan hati ini,
bersama-sama. Sore itu, semenjak Bolu dan Andra melakukan panggikan sarcastic Don Juan ke gue, gue yakin,
bahwa kegagalan-kegagalan di hari kemarin, terselip sebuah jawaban untuk menjawab ujian di hari ini.
Seribu
mil jauhnya perjalanan akan tetap jauh jika tidak membuat satu langkah kecil di
halaman berikutnya..
Wrote by Don Juan