Atlet Gagal
Sebelum
menginjak jenjang kuliah, sebelum gagal menjadi dokter, gue juga menyimpan
kegagalan dan memendam penyesalan yang tak kalah menyakitkan. Ini benar-benar
menjadi penyesalan kedua yang terus menyayat hati jika gue kembali lagi ke masa
lalu hanya untuk mengenangnya.
Gue
terlahir ke dunia secara tidak biasa, dengan tidak normal. Tapi ini tidak
seperti yang kamu bayangkan, gue tidak terlahir dengan sepasang mata menyala,
dengan gigi dan lidah yang menjulur ke luar, kalian tidak bisa berpikir sepicik
itu ke gue, gue tidak terlahir seperti jenglot yang ada di pikiran kalian.
Gue
lahir dengan kondisi yang disebut prematur. Bayi pada umumnya lahir setelah
sembilan lama dikandung badan oleh ibunya, sedangkan gue, belum sembilan bulan
sudah keluar. Akhirnya berat badan gue tidak maksimal, kurang mantap,
akselerasinya juga terasa kurang prima.
Selama
mengenyam sekolah dasar, gue tergolong anak yang bertubuh mungil. Ibu gue
khawatir kalau gue mengidap kretinisme,
sebab tubuh gue sangat kecil jika dibandingkan dengan anak kecil di usia
sepantaran. Gue seperti tanaman kangkung yang kurang diberi pupuk kompos. Gue
bukan tipe anak kecil yang bisa makan banyak seperti anak-anak kelaparan pada
umumnya. Gue nggak suka makan sayur, makan nasi pun sering nggak habis.
Jalan-jalan sebentar pasti mabuk, bepergian naik mobil pasti muntah.
Keluar-masuk rumah sakit adalah hal biasa yang memarnai kehidupan masa kecil
gue.
Walau
gue nggak suka makan sayur dan makannya sedikit, gue tergolong anak kecil yang
rajin minum susu. Ya, gue lebih suka minum susu dan minum curcuma ketimbang
makan makanan berat. Sehari bisa minum susu sampai 3-5 kali. Kebiasaan minum
susu ini masih kuat terasa hingga gue menginjak bangku kuliah. Bahkan,
kebiasaan minum susu ini juga gue bawa saat pacaran. Saat itu gue sadar bahwa gue
nggak akan pernah bisa lepas dari susu. Yang berbeda hanya bentuk kemasan dan
cita rasa susunya.
Lemah
dalam kondisi dan fisik menyebabkan gue sangat inferior di pelajaran olahraga.
Selama di sekolah dasar, gue selalu menjadi bahan tertawaan dan keisengan teman
sekelas untuk pelajaran olahraga. Saat bermain bola, saat bermain kasti, saat
bermain apapun yang mengharuskan gue berlari, melompat, dan berkeringat, gue
selalu menjadi yang tersisih. Nggak ada yang mau milih gue untuk dijadikan
rekan satu tim. Karena mereka tau, gue adalah beban dan akan membuat mereka
kalah. Gue sering bermuram durja menatap teman-teman yang asik bermain bola
dari pinggir lapangan, gue nggak pernah diajak main, gue sedih, harus bagaimana
menjalani kehidupan yang dipenuhi fatamorgana ini Ya, Tuhan..
Dengan
kemungilan yang gue punya saat itu, gue tetap berusaha optimis dalam menatap
masa depan. Gue meneruskan ke jenjang SMP dengan percaya diri. Saat itu, di SMP
gue kebetulan sedang demam-demamnya olahraga basket. Dan sekali lagi, ketika
pelajaran olahraga dan ketika pulang sekolah, gue sebagai anak SMP kelas satu, cuma
bisa melihat teman-teman gue men-dribble bola basket di sela-sela kaki mereka,
melompat, dan melempar bola ke dalam keranjang.
Namun
semua berubah ketika block yang
dilakukan teman gue kepada lay up
temannya, sukses menerbangkan bola basket ke muka gue. Kalimat,”Lo ngapain
berdiri di deket ring, Don, main lah!” mengubah semuanya.
Ya,
mengubah semuanya..
=====
Waktu
terus bergulir, tiga tahun kemudian, gue bukan lagi anak mungil yang akan
selalu menengadah ketika menatap dan berbicara dengan orang lain. Di kelas tiga
SMP, gue sangat eye-catching ketika
berdiri di antara teman-teman sekelas. Hanya ada beberapa teman lelaki di kelas
yang mampu menatap gue sejajar tanpa harus menengadah. Ya, mereka adalah
rival-rival abadi gue di lapangan, mereka yang akan menghentikan gue saat
memasukan ke ring, mereka yang akan menghentikan gue saat me-rebound bola yang
terpantul di ring. Ya, mereka adalah teman-teman ekskul basket gue yang
mengharumkan nama sekolah di kompetisi-kompetisi basket antar SMP.
Kegemaran
bermain basket yang gue punya membuat pertumbuhan tinggi badan gue melonjak
secara drastis. Tiga tahun bermain basket, membuat tinggi badan gue yang
tadinya sangat mungil, mungkin hanya 160, menjadi 178 cm. Dan gue tau, gue
masih bisa tumbuh lebih tinggi lagi karena gue belum menghabisi masa
pertumbuhan di tingkat SMA. Pertumbuhan tinggi badan gue yang tidak wajar saat
itu, lagi-lagi membuat ibu gue khawatir. Ibu gue mengira gue mengidap penyakit gigantisme. Dari anak kecil yang
bertubuh pendek dan kurus, menjadi tinggi dan besar. Jari-jari tangan gue pun
mampu menggenggam bola basket tanpa terlepas dengan sekali genggaman. Yang
lebih mengkhawatirkan adalah, saat SMA, sepatu gue sudah mencapai di size 45.
Teman-teman sekolah gue dan warga sekitar sering memandangi kaki gue dengan
tatapan penuh prasangka yang tidak-tidak, mungkin mereka berpikir kalau gue
adalah manusia setengah Kaiju, atau Makhluk Tuhan Paling Godzilla.
Dengan
kondisi fisik dan kemampuan bermain basket yang gue punya, gue akhirnya
diterima menjadi center di skuad
basket utama SMA gue. Semenjak itu, kerjaan gue hanya bermain basket dan
bermain basket. Gue ke sekolah selalu membawa baju dobel, ya karena gue bermain
basket pagi hari sebelum bel masuk, dan siang hari setelah bel pulang sekolah. Dari
sana gue mulai meyakini, jika tidak jadi dokter, gue akan menjadi atlet basket
professional.
Di
kelas sebelas, tim basket SMA gue akan mengikuti Hexos Cup – sebuah kompetisi
basket yang melibatkan SMA-SMA di Jakarta selatan. Dua bulan sebelum kompetisi,
latihan pun menjadi semakin intense, semakin ketat. Gue bahkan sering pulang
malam. Sampai di rumah sudah terlalu letih untuk belajar. Mungkin, kelas
sebelas SMA adalah titik terendah nilai-nilai pelajaran gue di sekolah. Ya,
karena memang jarang belajar. Tiap hari hanya main basket.
Tapi
itu tidak bertahan lama, tiga minggu sebelum kompetisi dimulai, lagi-lagi
terjadi suatu insiden yang mengubah hidup gue. Badan gue yang tinggi dan berat,
membuat punggung dan pinggang gue tidak
cukup kuat untuk meredam lompatan-lompatan beserta manuver cepat yang
seringkali gue lakukan di tiap latihan. Awalnya gue kira cuma encok – walau gue
sering bertanya, mengapa anak muda seganteng dan sebelia ini bisa-bisanya kena
encok.
Sialnya
dugaan gue meleset, cedera yang gue alami tidaklah sesederhana encok atau
cedera otot biasa. Tiga hari setelah insiden itu, rasa sakit di pinggang kiri
gue mulai parah. Rasanya kesemutan hingga perih. Rasa sakitnya pun menjalar ke
paha dan ke semua tungkai kaki kiri. Gue pun nyaris tidak mampu untuk berjalan
secara normal, rasa kesemutan dan perih di sekujur kaki kiri membuat gue hampir
menangis.
Minggu
berikutnya, gue dilarikan ke rumah sakit. Ronsen dari sinar X biasa tidak mampu
melihat apa yang terjadi di tulang punggung gue. Akhirnya, gue dicek
menggunakan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Gue masuk di sebuah tabung besar dan mesin di dalam tabung itu
memperlihatkan semua organ dalam beserta kerangka tubuh gue. Setelah hasilnya
dianilisis, dokter memvonis gue menderita Herniated
Nucleus Pulposus (HNP) – yang sederhananya adalah syaraf kejepit. Ya, ada
syaraf gue kejepit di antara lumbal
sacrum 4 dan 5 – ruas keempat dan kelima tulang pinggang bawah. Syarafnya
berada di dalam bantalan atau spons antar ruas tulang punggung. Atau yang biasa
disebut atlet luar negeri dengan, slipped
disc – suatu kejadian di mana dua ruas tulang punggung saling bergesekan
dan membuat bantalan antar tulang jadi mencuat keluar (hernia).
Rasanya
kayak di penghujung kematian.
Seseorang
yang tadinya bergerak sangat dinamis dan aktif, tiba-tiba nggak bisa gerak. Itu
juga persis kayak orang yang lagi sayang-sayangnya sama pacar, terus diputusin
tiba-tiba entah alasannya apa.
======
Gue
pun hanya bisa pasrah ketika dokter melarang gue sementara untuk kembali ke
lapangan basket. Gue harus melupakan basket dan kompetisi yang akan segera
digelar. Begitu gue tanya solusinya, dokter menyarankan agar gue dioperasi.
Tapi operasi yang ditawarkan pun akhirnya cuma dua, gue kembali ke lapangan
basket, atau gue nggak akan pernah bisa kembali ke sana. Ibu gue nggak mau
ambil resiko yang sangat besar, akhirnya gue dibawa ke chiropractic dan pengobatan alternatif.
Gue
sempet nggak sekolah hampir sebulan lebih karena memang udah hampir nggak bisa
menahan rasa sakit ketika kaki gue menapak dan mencoba menopang tubuh. Gue
hanya bisa mengerjakan tugas dan ujian di rumah. Itupun dengan persetujuan dari
pihak sekolah. Berbulan-bulan gue menjalani terapi dan pengobatan alternatif,
dari yang herbal sampai yang mempunyai unsur magis.
Sampai
di pertengahan kelas dua belas, setelah nyaris setahun gue bergelut dengan rasa
sakit, gue akhirnya bisa beraktivitas
secara normal. Udah nggak ada rasa perih di sekujur kaki kiri. Itu pun tetap
tidak mendapat restu bermain basket dari dokter.
Yang
tadinya berangkat dari pinggir lapangan, akhirnya kembali ke pinggir lapangan.
Gue hanya bisa menyaksikan teman-teman gue dari pinggir lapangan untuk kali
yang kesekian. Sakit rasanya ketika melihat mereka bermain tanpa gue, sedang
mereka selalu bermain bersama-sama dengan gue di dalam kepala.
Ya,
lamunan panjang gue tentang euforia bermain bersama mereka di kejuaraan bergengsi,
sekaligus menutup keinginan gue untuk kembali ke lapangan..
Di
saat menjelang Ujian Akhir Nasional kelas tiga, salah satu teman basket gue di tim
sekolah menepuk bahu gue dan berkata, ”Tenang Don, untuk bisa berprestasi lo
nggak harus jadi atlet baskek kok, lo masih bisa jadi atlet yang lain, bahkan
bisa lebih jago dari kemampuan bermain basket lo hari ini. So just keep your head held high, bro.”
Amazingly touch my heart. |
=====
Saat
sudah di bangku kuliah, gue sebenarnya masih menyimpan asa untuk kembali ke
lapangan. Itu gue buktikan ketika ikut Basketball Cup yang digelar oleh
Fakultas lain. Gue mewakili kampus gue untuk berlaga di sana. Namun, setelah
satu pertandingan bermain, malamnya, pinggang gue kembali pegal-pegal. Jika gue
teruskan, pasti akan bikin kaki gue perih dan kesemutan lagi. Nampaknya, badan
gue masih terlalu berat untuk ditopang oleh pinggang dan punggung gue untuk
olahraga ini.
Jadi
dokter udah gagal.
Jadi
atlet basket pun, gagal.
Tapi
tak mengapa, mungkin gue masih bisa kembali bermain basket di kehidupan
selanjutnya.
Mungkin..
Wrote by Don Juan