Don Juan dan Durian

Durian yang berbentuk hati, hati-hatilah pada durian, terkadang makan hati.



Akhirnya gue bisa nge-blog lagi setelah hampir tiga minggu absen menulis di blog yang paling tidak dinanti orang-orang ini. Alasannya sungguh sederhana, malam itu, sekitar pukul delapan, gue turut serta mengikuti acara syukuran salah satu kakak senior gue di kampus selepas sidang skripsinya.

Oke-oke, kalimat di atas akan gue sederhanakan menjadi, “Gue ikut pesta mendem durian kakak senior gue selepas sidang skripsinya.”

Terus apa hubungannya dengan sakit yang gue alami ?

Pagi hari, setelah malamnya puas menyantap buah yang katanya dari surga namun laknat – durian, gue dilarikan ke pihak yang berwajib. Ah bukan, gue dilarikan ke rumah sakit. Ya, gue divonis mengidap demam yang gue rasa sudah dapat dikategorikan ke dalam demam yang paling kontroversial.

Demam karena makan durian..

Gara-gara kebanyakan makan durian, trombosit gue turun, kepala gue kliyengan, badan gue lemas tak berdaya, IPK gue turun, Line gue nggak dibales, BBM ditarik dari app store, proposal skripsi gue kena revisi lagi, dan gue disangka selebtwit. Gejala-gejala yang terjadi pada gue barusan, sukses membuat gue diopname selama empat hari.

Dasar durian tak tahu diuntung.

Belum selesai sampai di situ, selepas pulang, gue masih belum dapat kembali ke performa terbaik. Gue masih belum dapat diturunkan pada laga derby . Setelah diperbolehkan pulang siang harinya, malamnya gue kembali bermasalah. Gue mual-mual, padahal kan gue udah main safety. Ah bukan, gue mual-mual dan muntah.

Esok paginya, gue kembali dilarikan ke rumah sakit. Gue harus menjalani serangkaian tes kesehatan. Dimulai dari tes darah, tes urin, tes feces, dan tes keperawanan. Untuk tes yang terakhir, gue dikabarkan tidak lulus. Saat itu juga gue merasa kotor. Harusnya gue nurut sama Felix Siau. Tapi sayang, takdir berkata lain.

Ah, becanda.

Dokter dengan tegas dan juga tega, menyimpulkan kalau gue terkena muntaber. Sebelum meneruskan diagnosanya, gue dengan cepat mengangkat tangan dan bertanya, “Dok, muntaber itu singkatan dari muntah berdua? Atau muntah berdikari? Semacam muntah yang mengenai kaki sendiri gitu, dok? Tolong penjelasannya.”

Dokter tidak menjawab.

Walau gue berhasil selamat dari ancaman infus untuk kali kedua, gue tetap nggak pulang dengan tangan kosong. Gue kembali pulang dengan membawa resep dokter yang harus ditebus di apotik terdekat kesayangan kita semua.

Stop eating durian for a better future..



====

Butuh tiga minggu untuk bisa kembali berlari kesana-kemari, riang, terampil, dan gembira pasca opname. Selain membekas di saldo ATM, kejadian sakit ini juga mengingatkanku pada kisah cinta di masa lalu.

Ya, pada Monica.

Dari segala yang pernah aku jatuhi cinta, dia adalah perempuan kedua yang aku cintai dengan sebegitu gilanya, setelah ibuku.

Jika hidup ini adalah kesedihan, maka ia adalah sesuatu yang menunda kesedihan dengan kebahagiaan. Saat itu, aku bangga sekali dengan cara kerja Tuhan dalam membahagiakan umat-Nya, aku. Ia tak menjawab semua doaku, Ia cuma mengantarkamu ke depanku. Saat itu aku sadar, bahwa Ia berbicara padaku dalam bentuk kamu.

Di saat yang bersamaan, aku jadi mengerti makna cinta buta. Ya, sebuah bentuk jatuh cinta dengan cara melihat yang kita tidak pahami. Ya, aku memandangnya dengan cara melihat yang tidak aku pahami. Saking butanya, semua yang aku lakukan, aku berikan, tak pernah sampai di hatinya. Dan hebatnya, aku tidak kecewa. Karena itu semua kulakukan dengan buta.

Aku tahu, di mata orang lain ini hanyalah sebuah drama dan menye karena mataku tidak ada pada mereka. Aku selalu melihat dirinya dengan sudut pandang yang sempurna, walau aku tak pernah terlihat sempurna pada karakter lelaki impiannya. Bahkan, aku menjadikannya sebagai figur terbaik dalam novelku, walau penulisnya hanyalah figuran bagi karakter dalam novelnya.

*Dia manis sekali, cantik sekali, dan memabukkan. Dia seperti durian yang aku jadikan menu utama pada pesta malam itu. Pesta malam itu diibaratkan euforia betapa bahagianya aku dipertemukan dengannya. Walau di akhir cerita kusadari bahwa ternyata, aku hanya berpesta dengan kehilangan.

*Buah dari surga itu, tidaklah mudah untuk dimakan. Durian diselimuti kulit yang tidak ramah. Semua pemain bola tahu, tak ada yang mau menendang buah durian dengan kaki telanjang. Aku dan temanku malam itu harus berjuang untuk mengupas kulitnya terlebih dahulu karena kami memang membawa durian itu lengkap dengan kulit-kulitnya.

Perjuanganku untuk membuka kulit durian, mirip sekali seperti perjuanganku membuka hatinya. Segala cara kulakukan untuk sampai pada inti dirinya. Aku yang belum punya pengalaman membelah durian, hari itu belajar suka-dukanya membelah durian. Aku yang hanya tahu jatuh cinta, hari itu tahu bahwa tidak semua perjuangan akan berlabuh pada sebuah keberhasilan. 

Kalimatnya yang berbunyi,

“Kamu itu baik, kamu itu lucu, akan banyak perempuan yang bisa jatuh hati padamu, tapi maaf, itu bukan aku.”

Menegaskan bahwa jatuh cinta adalah tentang berlayar. Tidak semua kapal akan berlabuh pada dermaga, sebab Tuhan menciptakan ombak untuk mengajarkan pelaut bahwa kapal mereka bisa karam di tengah lautan.
Monica adalah lautan, sedang aku adalah perahu sekoci yang karam, tenggelam, dan tak terselamatkan.

*Setelah puas berpesta malamnya, esok paginya aku jatuh sakit. Jika diibaratkan uang satu milyar, kesehatan adalah angka 1. Satu milyar tanpa angka 1 hanyalah sekumpulan angka 0 yang kesepian. Hari itu aku bertanya kenapa banyak orang yang tidak peduli pada kesehatan seperti tidak peduli pada uang satu milyar.

Jatuh sakitnya aku dan diopname, mengingatkan aku pada rasa sakit setelah kalimat bercetak miring di atas yang selalu kuingat. Bahkan nada pengucapannya, cara berhenti di tiap pengucapannya, dan caraku menahan nafas ketika mendengarnya, semuanya masih terekam di dalam kepala.

*Biaya berobat dan masa pemulihan yang lama, mirip sekali seperti yang aku harus menerima kenyataan setelah mendengar keputusannya. Hati yang patah, rasa ingin menyerah, dan rasa bersalah adalah sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan move on. Aku juga akhirnya sadar, ditolak itu tidaklah menyakitkan. Yang menyakitkan adalah ketika sudah ditolak, tapi masih cinta. Menghapus dirinya itu mudah, menghapus apa yang telah aku lakukan untuknya dan dia tersenyum, itu yang entah.

Yang cantik, yang seksi, bahkan yang luar biasa, kadang bukan yang terbaik. Mempertahankan apa yang dianggap mampu menyenangkan, walau akhirnya malah menyakitkan, tidaklah dapat disebut cinta. Begitu juga yang terjadi di antara Don Juan dengan Durian. Ketika bersama durian orang lain mencicip surga, yang kurasa adalah durjana.

Akhir dari cerita, Don Juan dan Durian adalah wujud sederhana dari apa yang Gibran tuliskan, “Jatuh cinta dan keraguan tak akan berjalan beriringan.”

Don Juan dan Durian, tak akan lagi sejalan.

Terimakasih Durian, terimakasih Kenangan.

Selamat jalan.



Share:

1 Komentar

  1. Don, kyknya sih, ini kyknya loh, inget, kayaknya.. kayaknya kalo lu bikin cerita kyk cerita legendnya SFTH kaskus, bakalan banyak yg suka.. apalagi diselingin becandaan khas lu..

    BalasHapus